“Berhenti mengejar kami!” malam hari, seperti biasa terjadi pengejaran anggota The Phantom yang dilakukan oleh The Hunter. Hampir saja seorang wanita yang baru pulang bekerja jadi korban kalau saja si pemburu tidak datang tepat waktu.
“Bodoh, harusnya korban kita yang teriak seperti itu,” mereka terus berlarian di tengah jalan yang sudah sangat sepi.
Setengah jam berlalu, dua anggota The Phantom mulai kehabisan stamina. Kelincahan mereka semakin menurun, si pemburu sedari tadi hanya berlari mengejar tanpa ada niat menghentikan sama sekali. Saat Gerakan dua penculik itu mulai melambat, saat mereka hendak menyeberangi pertigaan, The Hunter berhenti berlari, dengan cepat ia mengeluarkan pipa kecil seperti rokok. Dengan jarak yang hanya terpaut 3 meter, ia meniup pipa itu dua kali membidik tepat kearah masing–masing leher si penculik.
Keberadaan The Phantom semakin menjadi ancaman untuk kota. Petugas keamanan yang berjaga pun diperketat, patroli malam tanpa celah di setiap jalan. Seorang petugas dengan rokok di tangan sibuk mencaci maki atasan yang seenaknya memberikan tugas. Seorang rekan yang berpangkat dibawahnya memilih abai dan fokus dengan keadaan sekitar. Pertigaan area toko sangat rawan kriminalitas, ia harus waspada. Mereka berjalan melewati pertigaan toko.
“Hey, kau dengar pak tua ini sedang curhat tidak-!” seseorang menabrak si ketua, lebih tepatnya jatuh di atas ketua. Salah seorang lagi tergeletak tepat di sampingnya. Beberapa meter di belakang dua orang yang jatuh itu, terdapat seorang pria dengan hoodie dan masker yang menutupi wajah.
Anak buah si petugas segera mengambil senjata dan menodongkannya ke arah orang itu. The Hunter, yang secara tidak sengaja bertemu dengan petugas keamanan mengangkat kedua tangannya. Tangan kanannya masih memegang pipa kecil, dengan perlahan tanpa menimbulkan kecurigaan ia memutar sedikit bagian ujung pipa lalu melemparnya.
“Apa yang ?! - ” sebuah ledakan cahaya yang cukup menyilaukan keluar dari pipa kecil itu, membuat kedua petugas refleks menutup mata mereka.
“Sial!” cahaya mulai hilang bersama dengan The Hunter yang keberadaanya juga lenyap. “Kita dipermainkan!” si ketua memberi info kepada petugas lain melalui intercom.
“Tapi, ketua. Request mu terwujud,” si ketua menatap anak buahnya meminta penjelasan.
Ia menunjuk dua orang yang terkapar dengan dagunya. “Kali ini ia tidak menggunakan tali besi,” pernyataan itu membuat ketunya semakin kesal, lagi–lagi kalah dari si pemburu.
--
Pagi hari yang cerah, di pinggir taman kota seorang pria dengan jaket abu abu dan headphone hitam yang menutup telinganya tengah berjalan dengan santai. Sesekali dirinya melakukan tarian–tarian kecil dan berputar.
“Pria dengan headphone di sana, berhenti sebentar !” perintah penjaga kemanan, yang di teriaki abai dan terus bergerak dalam ritmenya.
“Hoi! Ku bilang tunggu-!” rekan si petugas menepuk pundak ketuanya pelan.
“Dia tidak akan dengar, pak tua,” si petugas segera berjalan menghampiri pria berjaket abu – abu dan menghentikan langkahnya.
“Tanda pengenal !” pinta petugas. Pria itu melepas headphone yang sedari tadi menghangatkan telinga. Ia menggeleng dengan acuh.
Petugas yang sebelumnya meneriaki berdecak. “Anak berandalan tanpa identitas rupanya.”
Yang disindir menyerngit tidak terima. “Kartu pengenal ku tertinggal di rumah.”
“Bodoh ! Kau tidak tau itu benda penting yang harus selalu dibawa ?!” geram ketua. Rekannya yang dari tadi hanya memperhatikan kini menenangkan.