"Kenapa kamu diam aja?" Tanya Arga, menatap Kinan dari balik kaca spion belakang motornya.
Kinan yang duduk di belakang motor Arga, mencoba mengalihkan pandangannya ke jalan yang mereka lalui. Angin sore pertanda hujan menerpa wajahnya, membawa serta keraguan yang sejak tadi membelenggu pikirannya. "Emangnya aku harus ngobrol apa sama kamu, sekarang? Aku gak suka ngobrol sambil jalan."
Arga mendesis. Kemudian, ia menepikan motornya di bahu jalan. Tepat, di depan taman kota yang nampak sepi, hanya diterangi lampu jalan yang temaram. Arga mematikan mesin motor, melepas helm, lalu menoleh perlahan ke arah gadis yang nampak malang, kotor dan sedikit bau oleh baju seragamnya yang masih basah.
"Kenapa berhenti?" Protes Kinan.
"Kamu kan bilang, gak suka ngobrol sambil jalan." Jawab Arga . "Maksud aku, kenapa kamu diam aja pas itu cewek serang kamu tadi? Gak berani?"
Kinan bergeming. Mungkin yang Arga maksud, Cheryl. Kinan menunduk, pandangannya kosong menatap bayangan sepatu di bawah cahaya lampu taman. Jari-jarinya menggenggam helm makin erat, seolah sedang menahan sesuatu yang ingin pecah.
Bukan tidak berani, tapi Kinan lebih memilih cara lain. Cara yang lebih diam, lebih dalam, dan lebih menyakitkan untuk dirinya sendiri. Ia tahu betul, Cheryl tidak datang untuk adu argumen yang sehat. Gadis itu datang dengan amarah, dendam, dan mungkin rasa memiliki yang belum selesai. Menanggapi orang seperti itu bukan keberanian, batin Kinan, tapi kebodohan.
"Karena dia Kakak kamu?" Lanjut Arga, membuat gadis itu mengangkat wajah dan meliriknya. "Diam itu gak selamanya baik." Katanya memandang Kinan lurus. Sesaat, mata mereka beradu dalam keheningan.
Kinan merasa sesak, semilir angin kencang perlahan menebarkan aroma parfum Arga yang tercium jelas. Aroma yang nampak hangat dan menenangkan. Sesaat, waktu seolah berhenti. Memberi ruang berpikir apakah seseorang yang kini tengah bersama dirinya adalah tempat untuk ia menumpahkan segala yang selama ini ia simpan sendirian.
"Terkadang kita perlu jahat, untuk menjaga diri kita dari orang yang jahat sama kita." Sambung Arga sambil menarik senyum tipis ke atas. "Kamu itu terlalu baik."
Kinan terkesiap dengan kata-kata Arga, entah itu sebuah pujian atau sindiran. Namun, mendengar pernyataan itu Kinan seperti merasa di tampar.
"Kalau jadi orang juga jangan terlalu baik." Arga mengenakan lagi helmnya. "Rumah kamu dimana? Biar aku antar!"