“Kau lapar sekali ya? Kau tidak makan berapa lama?” tanya Daisy sambil memperhatikan laki-laki yang tadi datang ke rumahnya.
Walau laki-laki ini berniat mencuri, namun dia benar-benar tidak berniat melakukannya. Ketika dia membawa ayam, dia bisa melihat wajah laki-laki ini yang terlihat sangat lapar, dia terus memandang ayam itu sehingga Daisy segera memberikan kepadanya. Setelah diberikan, dia benar-benar makan dengan sangat lahap, bahkan terkesan terburu-buru.
Laki-laki itu menelan makanannya, memadnang keduanya yang menatapnya heran. “Maaf, aku baru makan kemarin malam. Aku mendapatakannya dari hasil mencuri, hehe.”
“Dasar! Itu tidak bagus untukmu, harus sekali mencuri?”
Laki-laki itu mengangguk. “Jika tidak, aku mungkin sudah tidak ada disini.”
Daisy merasa kasihan mendengarnya Dia tidak menyangka kalau anak remaja seperti ini, sudah harus mencuri, untuk kebutuhan hidupnya sendiri. Dia tidak berbohong, dia benar-benar kurus, dia makan dengan sangat lahap. Dia benar-benar kelaparan.
“Kasihan sekali, siapa namamu? Aku tidak tahu.”
“Aliando.”
“Aliando? Itu nama yang diberikan orang tuamu.”
Laki-laki yang bernama ‘Aliando’ itu menggeleng. Dia seakan kehilangan nafsu makannya, dia meletakkan ayam yang tadi ada di tangannya, dia melamun sebentar ke depan. Dia mengembangkan senyumnya, namun itu malah terlihat miris.
“Aku semenjak kecil sudah ada di panti asuhan, keluargaku membuangku, mungkin karena aku anak diluar nikah atau yang lainnya. Aku mendapatkan nama ini dariku sendiri, aku pernah mendengar saat aku disuruh membeli sesuatu di pasar, ada yang mengorol dengan anaknya, memanggilnya dengan nama Aliando. Aku menamai diriku sendiri dengan nama Aliando. Keren kan?”
Walau Daisy sedih mendengar kisah Aliando, dia tetap berusaha tersenyum, menghargai Aliando. Dia mengangguk. “Keren, aku benar-benar tidak menyangka kau bisa kreatif seperti itu.”
Aliando terkekeh. “Aku memang pintar, tapi orang tuaku dan pihak panti asuhan itu tidak menyadarinya.” Keduanya tertawa kecil, Daisy tidak menyangka, Aliando masih bisa tersenyum seperti itu, tampak tidak terjadi apapun didalam hidupnya. Kalau itu terjadi kepada Daisy, dia tidak akan bisa seceria itu.
“Oh ya, nama Kakak siapa?”
“Kakak?” Daisy terkekeh. Aliando menepuk jidat karena dia tadi kelepasan memanggil Daisy ‘Kakak’. DDaisy menghentikan tawanya. “Sudah, tidak apa-apa. Itu bagus, kau memang harus memanggilku ‘Kakak’. Bagaimanapu aku lebih tua darimu, kau saja sudah jarak berapa umur denganku. Terlebih Alex, dia lebih tua satu tahun dariku. Umurnya 23 tahun.”
“Benarkah? Oh ya, aku tadi ingin bertanya siapa dia, tapi aku selalu lupa. Hai.. Nama Kakak Alex kan?”
Alex mengangguk. “Ya, namaku Alex. Hai Aliando.”
“I-Iya Kak,” jawab Aliando, seperti heran.
Dia menatap mata Alex dengan kening berkerut. Bagaimana tidak? Selama dia mengobrol dengan Alex atau Daisy, mata Alex bergerak terus, tidak memandangnya. Aliando bergantian memandang Daisy. Dia berharap Daisy mengetahui apa yang mau dia tanyakan dan dapat menjawab. Dia ingin bertanya pada Alex, namun takut menyakiti hati Alex nantinya.
Daisy yang mengerti, menghela napas. Dia mengangkat tangannya sebagai tanda untuk menunggu sebentar. “Alex, kau mau---“