Beberapa hari berlalu, akhirnya keadaan Daisy sudah menjadi lebih baik. Dia ingin sekali bekerja, namun dia masih mengingat wajah Alex yang menghalanginya, walau arah matanya tidak menentu, Daisy bisa melihat tatapan tajamnya, Alex juga mengelengkan kepalanya dan menolak tegas keinginan Daisy dengan alasan Daisy belum pulih sepenuhnya.
Itu memang benar.
Edgar juga setuju dengan Alex yang tidak memperbolehkan Daisy untuk bekerja. Daisy sendiri masih merasakan pusing, walau dia bisa menahannya. Tapi tetap saja Alex menghalanginya, Edgar, Lidya, bahkan Aliando juga. Daisy akhirnya hanya bisa pasrah.
“Daisy. Sekarang bagaimana perasaanmu?” tanya Edgar sambil merapikan alat kedokterannya.
Daisy tersenyum. “Sudah lebih baik. Terima kasih Edgar, kau rela pergi ke rumahku terus untuk melihatku, aku jadi tidak enak. Semua karenaku yang tidak mau ke rumah sakit,” ucap Daisy sambil tersenyum, dalam hati merasa tidak enak.
Edgar tersenyum. “Tidak masalah, aku tahu kau tidak suka ke rumah sakit. Yang penting sekarang kau sudah pulih, tapi perlu istirahat yang cukup untuk pulih maksimal. Kau mengerti?”
Daisy menghela napas pelan, itu arti yang jelas kalau dia tidak boleh bekerja, Edgar menekankan kata ‘istirahat’ agar dia mengerti, anggap saja sebagai peringatan halus. Daisy menjawab dengan wajah cemberut. “Ya, aku tahu. Aku akan selalu di rumah, tidur, makan, minum, hingga tubuhku seperti badak nanti.”
Semua orang disana terkekeh mendengar ucapan Daisy. “Mau bagaimana lagi, itu untuk kebaikanmu. Jangan kesal terus, nanti kau tua, baru tahu rasa,” ucap Edgar.
‘Heh! Aku tidak kesal dan marah-marah seperti katamu ya, kurang ajar!” marah Daisy, nadanya meninggi. “Kau kira aku tidak punya tenaga, aku bisa menghajarmu sama seperti SMA! Kesini kau!”
Wajah Edgar seketika tegang, menatap Daisy yang mengebu-ngebu, dia buru-buru tersenyum kaku. Dia salah menyulut Daisy, Daisy itu memang kesal sekali jika ada yang mengatainya gendut, tua, atau apapun. Edgar mengaruk belakang kepalanya yang tak gatal.
“Iya, maafkan aku. Kau marah sampai kapanpun, akan selalu cantik.”
Daisy mendecih. “Selalu saja kau begitu.”
Alex yang mendengar percakapan mereka, mengembangkan senyum. Terkadang aneh ketika memikirkan Daisy yang segalak itu, tidak pernah marah atau menaikkan nada bicara kepadanya. Dia ingin sekali melihat wajah Daisy ketika marah atau apapun, pasti akan sangat menyenangkan.
“Sudahlah.” Alex menengahi dan mengembangkan senyumnya. “Daisy, kau sellau cantik, bagaimanapun keadannya, jadi jangan terlalu memikirkan perkataan Edgar, dia hanya bercanda denganmu saja.”
Daisy tertegun mendengar ucapan Alex, jangankan Daisy, semua orang juga terkejut mendengarnya. Jantung Daisy berdebar tak karuan, terlebih senyuman Alex itu. Astaga.. Rasanya dia benar-benar gila. Daisy membuang muka, mengalihkan pandangan dari Alex, dia merasakan pipinya memanas.
“Memangnya kau tahu darimana? Kau tidak bisa melihatku.” Daisy berucap sambil memejamkan mata.
Biasanya Daisy tidak akan mengungkit apapun yang berhubungan dengan mata Alex, tapi sekarang dia membahasnya, tapi dia tidak sadar ketika melakukannya.
Alex tersenyum. “Yah.. Aku memang buta dan tidak bisa melihat.”
Daisy membuka mata dan menoleh ke arah Alex, dia merutuki dirinya sendiri. Dia menyadari jika tadi dia mengungkit mengenai mata Alex. Daisy menepuk jidat sambil merutuki dirinya sendiri, dia memandang Alex lagi.
“Alex.. Maafkan aku, aku tidak bermaksud---“