Beberapa hari berlalu semenjak kejadian itu, Justin semakin memikirkannya dan berusaha bekerja sama sebaik mungkin dengan kepolisian untuk melacak keberadaan Alex. Dia berusaha melakukan semuanya tanpa sepengatahuan Sophia, walau Sophia sudah sering menanyakan kehadirannya yang jarang bersama Sophia sekarang.
Justin harus membuat berbagai macam alasan untuk itu.
Sedangkan Alex dan Daisy, mereka sangat menikmati hari-hari setelah mereka saling menyatakan perasaan mereka. Mereka benar-benar seperti pasangan suami-istri bukan karena awalnya, dimana mereka terpaksa menikah untuk sekedar meminta maaf dan menjaga Alex awalnya. Sekarang semua sangat bahagia.
Jika terlihat oleh mata.
Namun sebenarnya Daisy tidak sepenuhnya bahagia, dia sangat bahagia bersama Alex. Namun ketakutan akan tunangan Alex masih berputar di kepalanya, melekat. Daisy jengah sendiri karena dia hampir tidak bisa tidur memikirkan semua itu, dia selalu memikirkan hal itu.
Malam ini, Daisy bahkan tidur jam 00.00. Tapi selang beberapa jam, Daisy yang tertidur tenang, perlahan dahinya mengeryit, disusul dengan keringat dingin yang membasahi keningnya, keringat dingin. Dia tampak cemas dan ketakutan, dia tidak bisa diam sehingga dia terus bergerak ke kanan dan ke kiri.
"Ayah.. Ibu!"
"Kalian kenapa berbaring? Banyak sekali alat tidak jelas ini! Ayo bangun!"
"Sayang.. Berjanjilah untuk tetap kuat, Ibu dan Ayah akan melihatmu, mengawasimu dari atas. Ibu dan Ayah mencintaimu."
"Ibu! Kenapa kau menutup mata?! Ibu?!"
"AYAH, IBU!!"
Teriakan Daisy menggema di ruangan itu. Napas Daisy tidak beraturan dengan keringat yang membasahi tubuhnya. Daisy memejamkan matanya, menjambak kecil rambutnya sendiri karena cemas yang dia rasakan tidak kunjung hilang. Daisy takut sekaligus merindukan orang tuanya. Daisy heran, kenapa dia kembali bermimpi hal itu setelah sekian lama?
Tapi Daisy menepis pikiran itu. Yang ada di pikirannya hanya berusaha menghilangkan rasa cemas ini. Daisy akhirnya menangis karena rasa rindu dan sedih yang membuncah, kemudian menenggelamkan kepalanya di kedua kakinya yang ditekuk, melampiaskan tangisannya disana
"Daisy!"
Namun Daisy perlahan mengangkat kepala mendengar teriakan itu dan dia menemukan Alex berlari ke arahnya dengan raut wajah cemas. Daisy yakin, tadi Alex mendengar teriakannya karena kamar mereka bersebelahan. Mereka memang belum tidur satu kamar, masih berpisah kamar untuk saat ini.
"Daisy, kau kenapa? Aku mendengar teriakanmu tadi, dan kau menangis?" Alex tampak cemas sekaligus heran melihat Daisy menangis.
Daisy mengembangkan senyumnya dan menggeleng, kemudian menghapus air matanya yang ada di pelupuk matanya dan pipinya, dia memandang Alex dengan senyumannya yang tentu saja dipaksakan.
"Aku tidak apa-apa, tidak usah khawatir. Maaf, tampaknya tadi teriakanku terlalu keras sampai kau terbangun," ucap Daisy merasa bersalah.
Alex menghembuskan napasnya. "Astaga.. Di saat seperti ini, kau masih mementingkan hal itu? Aku tadi memang tidak tidur, aku sedang melihat pemandangan kota lewat balkon." "
"Be-Benarkah?"
Alex mengangguk, kemudian dia mengambil tissue dengan panik, mulai membersihkan keringat dingin yang mengucur di wajah Daisy. "Aku tahu kau berbohong kalau tak ada apa-apa, kau sampai berteriak dan menangis, kau juga berkeringat dingin. Sebenarnya kenapa? Kau mimpi buruk?" tanya Alex setelah selesai mengelap keringat Daisy.
Daisy tertegun beberapa saat, dia menghela napasnya, berusaha mengusir berbagai emosi yang mulai muncul. Dia memejamkan matanya sebentar, kemudian membukanya, menatap Alex yang khawatir. Daisy perlahan menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Alex.
"Sudah kusangka," ucap Alex. Kemudian dia memeluk Daisy erat, berusaha menenangkan Daisy yang ketakutan karena mimpi buruknya. "Tenanglah, itu semua hanya mimpi. Jangan takut, oke?"