Suasana di ruangan Justin mendadak menjadi tegang. Justin tampak masih terkejut sekaligus heran darimana Sophia mengetahui hal yang sudah dia berusaha keras sembunyikan. Sophia yang terdiam, perlahan mengetahui Justin yang bingung, bagaimana dirinya bisa tahu mengenai hal ini. Sophia mengambil ponsel Justin, membuka pin itu dengan mudah.
Justin memang sudah memberitahukan pin di ponselnya yaitu tanggal ulang tahun Sophia. 200499. 20 tanggal kahirnya, 04 bulannya, dan 99 adalah 1999 tahun Sophia lahir. Selain itu Sophia juga sudah memberitahu Justin pin ponselnya, yaitu 140697 jadi mereka memang saling terbuka dan tidak menyembunyikan apapun, kecuali satu ini.
“Sayang, apa yang—“
Justin terdiam beberapa saat ketika Sophia memperlihatkan status teleponnya, dimana dia melihat June, teman James, yang menghubunginya. Dalam hati Justin merutuk, dia yakin dia sudah mengatakan semuanya karena dia pasti tidak tahu jika dia sedang menyembunyikan ini dari Sophia dan pasti mengira Sophia temannya.
“June, teman James memberitahu kalau dalam pencarian tempat dimana Kak Alex berada sulit ditemukan, kesulitannya bertambah karena Alex amnesia jadi tidak bisa berkomunikasi dengan orang yang dekat dengannya. Dia bertanya, apakah kau setidaknya berhasil menemukan tanda-tanda kehadiran Alex. Jadi artinya kau sudah tahu keberadaan Kak Alex sebelum ini?” tebak Sophia dan sangat tepat.
Justin terdiam, karena dia tahu dirinya sudah tidak ada pembelaan. Semua ini salah June! Sial! Rasanya Justin ingin mencabik-cabiknya, mungkin ini juga salahnya karena tidak memberitahu kepada June. Tapi biasanya, James yang akan menelepon dan mengabari perkembangannya, bukan June.
Sophia yang melihat Justin hanya menunduk dan tak bisa berkutik, geleng-geleng kepala. Dia tahu jelas bagaimana Justin, ketika Justin hanya diam seperti ini sudah pasti artinya benar. Berbagai emosi bercampur dalam diri Sophia.
“Kenapa? Kenapa kau menyembunyikannya?!” Sophia menaikkan nada bicaranya karena berbagai emosi. “Kau tahu aku mencari Kakak dan sangat mengkhawatirkannya. Apa kau akan selalu membuatku berpikir, Kak Alex tidak ada, huh?!” pekiknya membuat Justin terkejut.
Pasalnya, ini pertama kali Sophia begitu marah seperti ini, menaikkan nada bicaranya, terlebih kepada Justin. Justin bisa melihat Sophia yang tampak marah membuatnya cemas sendiri. Dia tidak menyangka kalau Sophia bisa marah seperti ini.
Mungkin karena Justin pertama kali menyembunyikan sesuatu darinya dan Sophia juga sangat ingin mendengarkan kabar baik mengenai Alex.
“Sophia..” Justin maju untuk mendekati Sophia, namun Sophia malah melangkah mundur, tidak mau dekat dengan Justin. “Aku akan menjelaskannya kepadamu.”
“Aku hanya mau mendengar kenapa kau menyembunyikannya dariku?! Padahal aku sangat merindukan Kak Alex, aku mau mendengar kabarnya yang masih hidup. Kau juga menyembunyikan sesuatu dariku!”
“Iya, aku tahu, aku salah karena menyembunyikan semuanya darimu, oke? Tapi aku melakukan ini agar kau tidak khawatir atau mencemaskan Alex.”
“Lalu?! Kau kira dengan aku mengetahuinya sendiri, aku tidak akan sedih?! Lagipula dia Kakakku, aku setidaknya bisa membantu menemukan Kak Alex!”
“Aku hanya tidak mau kau sedih ketika tahu Alex amnesia, karena artinya dia melupakanmu, dia tidak mengingatmu sebagai Adiknya, kau hanya orang asing di matanya!”
“Tapi aku pasti bisa melewatinya, kau tidak percaya kepadaku?! Kau selalu membicarakan Ayah! Padahal kau sama seperti dirinya, kau menganggap diriku orang lemah dan tidak bisa melakukan apapun. Selalu begtu, memangnya aku benar-benar tidak bisa diandalkan?!” Sophia membiarkan air matanya jatuh, kepalanya benar-benar pening rasanya.
Justin menggekeng kuat. “Bukan Sophia, aku—Sophia!” Ucapan lembut Justin berubah menjadi pekikan di akhir ketika tubuh Sophia tiba-tiba terjatuh ke lantai. Justin langsung menghampiri Sophia dengan panik. “Sophia! Sophia! Kau kenapa?! Sophia!” Justin menepuk pipi basah Sophia berkali-kali, namun tetap tidak ada respon.
Dia lekas berteriak memanggil satpam yang dia perintahkan untuk menyiapkan mobil, kemudian membawa Sophia ke rumah sakit.
***
Jam kerja Daisy dan Alex sudah berakhir.
Mereka lekas menuju ke rumah untuk mengistirahatkan diri. Semenjak mereka menyatakan perasaan masing-masing, keduanya menjadi begitu dekat, dan itu membuat Aliando sebal karena dirinya menjadi terasa diabaikan disana. Mereka beromantisan dan dia hanya melihat keduanya sambil mendengus sebal.
“Daisy, kau lapar?” tanya Alex seraya memegang tangan Daisy erat.
Daisy memggeleng. “Tidak, nanti makan malam bersama saja.”