PROLOG —Aku, 30 tahun WAJAH-WAJAH ITU, AKU TAK akan melupakannya.
Mereka berdiri di hadapanku. Ekspresi-ekspresi yang membuatku mual. Aku berusaha mendekat, tetapi kaki ini telanjur lemas. Di dalam kepala, ada gasing berputar- putar. Putarannya terlalu kencang. Membentur sisi pe- lipis kanan, lalu ke kiri, begitu saja seterusnya. Obat-obatan itu menggerogotiku dari dalam. Mem- buatku mengantuk. Mereka bilang, setelah ini aku tak akan sulit tidur lagi. Tidurku akan senyenyak bayi. Namun, aku malah makin gelisah. Mereka ber- bohong. Bayi mudah terbangun. Terlalu sering mena- ngis. Pikirmu, aku tak tahu apa-apa tentang bayi? Aku ini seorang ibu. Lagi pula, kalau aku tertidur terlalu lama, terlalu nyenyak, mungkin aku tak akan bisa lagi keluar dari sini.Aku menoleh cepat ke sekeliling. Sudah berapa lama aku di sini? Berkali-kali aku membasahi bibir, tetapi percuma.
Sepertinya bibir ini terlalu kering. Retak-retaknya sedikit terasa perih. Terlebih, kalau aku mulai mengelupasnya.
Sesekali aku melakukannya untuk mengisi waktu. Tak bisa berhenti sampai kurasakan bacin darah.
Wajah-wajah itu menatapku iba. Aku menggeleng.
Aku tak perlu kalian kasihani. Memangnya kalian tak lihat aku baik-baik saja? Satu dari wajah-wajah itu mendekat. Seorang lelaki. Dia menatapku tenang. Namun, dari caranya menghela napas dan mengusap pipiku, aku tahu dia cemas. Dia mengecup dahiku lama sekali. Seakan-akan tak ingin melepaskanku. Matanya mulai basah. “Aku merindukanmu, Ruby,” begitu bisiknya.
Tangannya meremas jari-jariku. “Kau harus berjuang untuk sembuh.” Tapi, aku tidak sakit apa-apa.
Dia memelukku. Sedikit terlalu erat, membuatku mengernyit. Lalu dia bangkit, bergegas membalikkan badan. Jarinya sedikit menyusut air mata yang nyaris keluar. Yang berikutnya, sesosok perempuan dengan gu- rat-gurat ketegangan. Keriput di dahi dan garis senyum
3 Anggun Prameswari begitu jelas setiap kali bibirnya mengerucut. Seperti itu- lah caranya memandangku. Setengah jijik, selebihnya puas. Rambutnya pendek ikal, dengan bando di atas kepala. Kali ini warnanya cokelat dengan ak sen glitter emas. Dia memaksakan sebuah senyuman singkat ke arahku. Kemudian, dia merangkul lelaki itu. Menepuk- nepuk bahunya. Mengucapkan sesuatu dengan terlalu pelan. Aku memicingkan mata berusaha membaca gerak bibirnya.