1 —Aku, 12 tahun TANGANKU GEMETAR. HAWA KAMAR mandi te- rasa dingin. Di luar, seseorang menggedor pintu ber- ulang kali. Getarannya membuatku gentar. Berulang kali namaku dipanggil. Bukan dengan nada lembut, melainkan lantang membentak. Gayung di genggaman ikut bergetar. Air di dalamnya tepercik mengenai se- ragam yang kukenakan, membentuk bulatan basah besar. Kalau sekadar noda basah, bukan masalah. Yang ada di tanganku masalah besar. Noda merah di rok seragam dan celana dalam, bagaimana meng hilang- kannya? Kucek. Kucek. Kucek. Rasa perih membakar sisi-sisi kepalan tanganku. Kenapa masih saja ada be- kasnya?Kenapa aku berdarah sebanyak ini? Aku terus saja menyiramkan air. Cairan darah meng alir luntur ke saluran pembuangan. Baunya amis mirip logam berkarat. Tanpa sadar, hidungku mengerut.
Luka terkena pisau saja tidak sampai begini. Aku ini kenapa? Bola mataku ikut-ikutan basah. Seakan takut air di bak tidak cukup membasuh semuanya. Tatapanku cepat beralih. Saluran pembuangan. Rok di tangan.
Pintu yang digedor. Saluran pembuangan. Pintu. Sa- luran. Rok. “Buka!” Satu langkah. Dua. Tiga. Hanya tiga langkah jarak bak dan pintu kamar mandi. Aku merinding. Gagang pintunya seperti es. Aku jadi tidak berani memegangnya. “Kenapa lama sekali di dalam?” Kenapa ada darah sebanyak ini? “Bocah sialan! Buka atau kutendang pintunya!” Tubuhku mengkeret mendengarnya. Gerakan pun terasa lambat. Aku memejamkan mata. Derit pintu kamar mandi membuatku makin ngeri. “Apa ini?” Mata perempuan itu menyusuri tubuhku. Rok basah yang masih kugenggam. Warna merah. Aku yang sembap, menangis ketakutan. Tangannya menyentak rok dari tanganku. Begitu keras, sampai-sampai aku
9 Anggun Prameswari membeliak. Perempuan itu memeriksa rokku. Mengen- dusnya. Mengerutkan hidungnya. “Maaf, Bu.” Aku memejamkan mata lagi, meng- ucap kannya terlalu pelan. Perempuan itu malah tertawa terpingkal-pingkal.
Gelambir di perut dan pinggulnya bergoyang-goyang. “Oalah, Gusti, kukira kamu bunuh diri tadi.” “Ibu, aku kenapa?” “Minggir!” Ibu menarik tanganku keluar dari kamar mandi. “Perutku mulas.” Pintu kamar mandi berdebam, kembali ditutup.
Aku menggigit bibir kuat-kuat. Namun, aku tidak be- rani bergerak. Selama Ibu di dalam, selama itulah aku bergeming menunggu. Aku takut. Kalau aku berani bergeser satu langkah saja, aku harus menyikat lantai seluruh rumah. Lantai merah banjir darah. “Lho, masih di sini?” tanya Ibu mengusap-usap perutnya dengan lega. Bau manis fermentasi menguar dari mulutnya. Barulah aku berani membuka mata.
Langkah Ibu sedikit oleng. Tangannya meraih sesuatu di kotak obat. “Pakai ini. Ini namanya pembalut.” Bungkusan berwarna jingga cerah itu hanya ku bo- lak-balik. Aku mendongak, menatap Ibu tak menger ti. “Kamu itu mens, tolol! Belajar apa kamu di se- kolah, heh?”
10 Hush Little Baby Ibu melangkah, makin terhuyung-huyung ke arah ruang televisi. Seorang pembaca berita samar-samar mengabarkan sesuatu. Kaki Ibu terantuk botol kosong yang tergeletak di lantai. Nyaris Ibu limbung. Untung tangannya cepat memegang dinding. Racauan sengit meluncur dari bibirnya. Aku masih belum membuka bungkusan itu. “Ibu, ini pakainya bagaimana?” Menstruasi.Aku merenung. Baru kali ini aku duduk dengan tidak nyaman. Rasanya seperti berak di celana. Aku bayi besar dengan popok di antara kedua paha. Bebe- rapa kali aku mengubah posisi duduk. Berpikir ba- gaimana duduk enak tanpa mengotori sofa kain Ibu.