Tersesat di Tengah Hutan
HARI sudah semakin sore, saat anak-anak pramuka masih sibuk mengurusi tenda mereka. Seperti tidak mengenal waktu, padahal hari sudah mulai gelap. Iklim pun sudah mulai berubah dari yang tadi menghangat menjadi mendingin, namun dinginnya cuaca ini tidaklah sama dengan kehidupan sehari-hari di keramaian desa atau kota. Seperti ada sesuatu yang beda. Nuansa yang ditimbulkan pun sangatlah tidak nyaman. Suara jangkrik terdengar begitu jelas dan suara burung hantu sudah terdengar sejak jam 5 sore. Padahal dalam keadaan umum burung hantu hanya bersuara bila malam hari. Sebagian ada yang merinding sebagian lagi tidak terpengaruh sama sekali.
Pohon-pohon mulai membuat bayangan sendiri di tanah, seperti sosok yang menakutkan sehingga akan tumbul dugaan-dugaan di pikiran mereka. Apalagi saat senja hari, biasanya para makhluk halus akan ke luar. Senja bukan hanya pergantian hari, tetapi juga pergantian alam. Biasanya pada saat azan berkumandang, mereka akan berlarian mencari tempat perlindungan. Hanya manusialah tempat yang cocok menjadi wadah berlindung dari panasnya suara azan.
"Ini sudah mulai gelap sebaiknya kita istirahat dulu," nasihat Anton pada Adel yang sedang sibuk mengajari putri pramuka memersiapkan dapur darurat.
Adel tidak menjawab. Ia mendongak ke langit, kemudian memandang sekelilingnya. Adel mengusap lengannya, merasakan dinginnya sore itu. Adel bertepuk tangan dua kali sebagai isyarat. Mereka yang sedang sibuk langsung berhenti dan memerhatikan Adel. "Adik-adik sekalian, hari sudah petang. Kita istirahat dulu, kita teruskan besok pagi saja.Adel berbicara cukup lantang, sehingga mereka dapat mendengarnya. Mereka menggangguk setuju dan berhamburan mencari tempat istirahat. Sebagian ada yang merenggangkan otot lengannya yang pegal dan adapula yang langsung mengambil minuman dan duduk di atas rumput.
"Nggak kerasa capeknya! Fiuhh," ucap Pita seraya sesekali menghela napas.
"Eh, nasimu nggak kamu makan? Entar basi loh," singgung Pita. Ia bertanya kepada Anjas yang sedang duduk di tanah.
Anjas beberapa kali menyeka keringat di dahi sambil mengambil botol minuman dalam tasnya. "Aku lupa." Anjas meneguk minuman itu.
"Kamu taruh di mana nasimu?" Pita mengambil botol minuman dari tangan Anjas lalu meminumnya.
"Di bus. Mungkin udah basi," jawab Anjas enteng.
Pita yang berdiri kini duduk bersisihan dengannya sambil menaruh botol minuman itu di Samping Ajas.
"Padahal aku mulai lapar. " Anjas bergumam.
Pita tertawa pelan mendengar gumaman yang nyaris tak terdengar olehnya. Pita menggelengkan kepalanya. "Makanya tadi disuruh makan bilangnya nanti-nanti. Sekarang lapar, kan. Ini hutan loh," singgungnya.
"Percaya sama yang gituan." Anjas meremehkan. Pemuda itu memeluk lututnya sedangkan Pita bersila.
"Ye, nggak percaya. Saudaraku pernah hilang di hutan, umurnya lima tahun. Namanya Lira."
Anjas berpaling pada Pita, meragukan perkataannya. "Bohong ya?" Anjas tersenyum mengejek.
"Andai saja itu bohong sekarang sudah pasti dia sebesar aku dan bermain bersama ...." Pita memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya di sana. Ada pergerakan naik turun di bahunya.
Anjas tahu saat ini Pita sedang menangis, diusapnya bahu gadis itu untuk menenangkannya. Helaan napas Anjas terdengar di sela-sela isakan tangis Pita yang nyaris terdengar sayup-sayup. Udara makin dingin, malam mulai larut. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Anjas berinisiatif menutupi tubuh Pita dengan jaket yang tadi ia kenakan.
"Aku minta maaf." Anjas berucap sungguh-sungguh.
Pita menaikkan kepalanya, menghapus air matanya lalu tersenyum. "Biasa aja, nggak apa-apa kok."
"Benar, enggak apa-apa?"
"Hem."
Anton datang menghampiri mereka berdua. "Wah, asyik, nih dijaketin. Mau dong." Anton menggoda Pita dan Anjas. Anton mengambil tempat duduk di dekat Anjas.
"Lagi cerita apa nih? Seru kayaknya."
"Enggak ada, Kak. Cuma cerita yang seram-seram." Anjas mencoba bercanda, tetapi Anton dan Pita malah menghadiahi dia dengan tatapan sinis.
"Jangan ngomongin itu kalau lagi di hutan Kalimantan. Kena sial kamu nanti." Anton menasehati.
"Emangnya kenapa?" Anjas mulai tertarik.
"Banyak yang tersesat di sini dan tidak pernah kembali. Sekalipun kembali rohnya sudah tertukar dengan roh orang mati atau dia akan kembali saat semua orang sudah melupakannya." Anton mengusap pergelangan tangannya.
Pita tidak ikut bicara, dia dengan manis mendengarkan dua Lelaki di sebelahnya bercerita.