Tahun 1810.
Suara pedang yang saling menyentuh dan bertabrakan satu sama lain. Suara daging segar yang terbelah oleh tajamnya pedang. Suara berisik teriakan banyak prajurit yang siap mati, prajurit yang kesakitan dan prajurit yang berharap pada kemenangan terdengar di kedua telinga Hyang(1) Yuda(2). Pemandangan yang sama dan suara yang sama sudah dilihat dan didengar Hyang Yuda selama kurang lebih lima ratus tahun lamanya. Dari puncak gunung di dekat tempat terjadinya perang, Hyang Yuda hanya duduk diam sembari memperhatikan bagaimana jalannya perang yang sedang terjadi.
(1)Hyang dalam bahasa sansekerta memiliki arti Dewa.
(2)Yuda dalam bahasa sansekerta memiliki arti Perang.
Di sampingnya, duduk Hyang Marana(3) dan Hyang Tarangga(4) yang sedang mencatat jumlah kematian yang datang dan takdir manusia yang akan bertahap hidup. Hyang Marana menghitung jumlah manusia yang satu persatu mati sejak dimulainya perang dan kini hitungannya sudah mencapai angka 500 atma(5). Sedangkan Hyang Tarangga sedang membaca buku besar miliknya dan dengan cepat menandai nama – nama manusia yang memiliki takdir mati di dalam perang dan hidup setelah perang berakhir.
(3)Marana dalam bahasa sansekerta memiliki arti mati.
(4)Tarangga dalam bahasa sansekerta memiliki arti Bintang.
(5) Atma dalam bahasa sasnsekerta memiliki arti jiwa.
Hyang Yuda hanya bisa mendesah panjang ke langit melihat dua rekan kerjanya yang sejak tadi sibuk bekerja sementara dirinya hanya duduk, diam dan melihat jalannya perang.
“Hyang Tarangga, Hyang Marana. . .” panggil Hyang Yuda ketika melirik dua rekannya yang sibuk dengan tugas – tugasnya.
“Ehm. . .” jawab Hyang Tarangga.
“Ya?” jawab Hyang Marana.
Dua rekannya itu menjawab tanpa melihat ke arah Hyang Yuda sedikit pun.
“Menurut kalian pihak siapa yang akan menang dalam perang ini?” tanya Hyang Yuda.
Hyang Tarangga menggelengkan kepalanya dan memberikan jawabannya tanpa melihat sedikit pun ke arah Hyang Yuda yang duduk di sampingnya. “Kenapa kamu ingin tahu Hyang Yuda?”
Hyang Marana menganggukkan kepalanya mendengar jawaban Hyang Tarangga.