Hyang Tarangga yang baru saja kembali dari tanah Girilaya kini berdiri di depan Hyang Amarabhawana di aula Amaraloka. Dengan menggunakan saluran komunikasi pribadi, Hyang Amarabhawana meminta Hyang Tarangga untuk segera menemuinya ketika tiba di Amaraloka. Dengan menahan rasa mualnya yang belum hilang sejak melihat kondisi Girilaya yang menjadi tempat pesta makan besar Nagendra, Hyang Tarangga menguatkan dirinya berdiri menghadap Hyang Amarabhawana.
“Hyang Tarangga. . .” panggil Hyang Amarabhawana ketika melihat kedatangan Hyang Tarangga.
“Ya, saya di sini, Hyang Amarabhawana.”
“Maafkan ketidaksabaranku karena meminta Hyang Tarangga segera datang menemuiku setelah pekerjaan Hyang Tarangga yang berat pagi ini.”
“Tidak, Hyang Amarabhawana. Sudah menjadi tugas saya mencatat semua atma dan manusia di Janaloka,” jawab Hyang Tarangga dengan sopan dan merendah.
“Aku meminta Hyang Tarangga datang kemari karena ada sesuatu yang ingin aku diskusikan dengan Hyang Tarangga.”
Hyang Tarangga berusaha menyembunyikan rasa mualnya dan dengan sopan bertanya kepada Hyang Amarabhawana, “Apa yang ingin Hyang Amarabhawana diskusikan dengan saya?”
“Pagi ini sekembalinya dari Janaloka, aku meminta Hyang Yuda untuk menemuiku dan memberikan laporan mengenai rincian kejadian Nagendra. Sesuatu yang mengejutkan kudengar dari laporan yang disampaikan oleh Hyang Yuda pagi ini. . .”
Raut wajah Hyang Tarangga yang tadinya berusaha keras menahan rasa mualnya kini menghilang dan berubah menjadi raut penasaran karena mendengar ucapan Hyang Amarabhawana. Meski begitu, Hyang Tarangga berusaha keras menyembunyikan rasa penasarannya dan bertanya dengan wajah tenang, “Kiranya apa yang dikatakan Hyang Yuda dalam laporannya pagi ini hingga membuat Hyang Amarabhawana terkejut ketika mendengarnya?”
“Nagendra yang ditangkap oleh Hyang Yuda mengatakan bahwa Girilaya yang ditemukannya berasal dari ucapan Mahamara. . .” jawab Hyang Amarabhawana.
“Mahamara?”
Mendengar kata itu, Hyang Tarangga tidak lagi bisa menyembunyikan rasa penasarannya di depan Hyang Amarabhawana.
“Benar sekali. . .”
Raut wajah Hyang Tarangga dalam sekejap berubah menjadi cemas, “Lalu bagaimana dengan Hyang Yuda? Apa yang Hyang Amarabhawana katakan pada Hyang Yuda?”
Hyang Amarabhawana dengan tenang memberi jawaban kepada Hyang Tarangga, “Untuk sementara, aku meminta Hyang Yuda untuk menyimpan masalah ini rapat – rapat. Semua Hyang di Amaraloka tahu bahwa Mahamara selalu membuat masalah di Janaloka dan selalu menyusahkan Hyang di Amaraloka.”
“Semua Hyang tahu kecuali Hyang Yuda. . .” kata Hyang Tarangga menambahkan.
“Benar sekali. . . karena di antara para Hyang, Hyang Yudalah yang berusia paling muda.”
“Lalu apa yang akan Hyang Amarabhawana lakukan mengenai masalah ini?” tanya Hyang Tarangga masih dengan raut cemas di wajahnya.
“Aku ingin memberika Hyang Tarangga tugas khusus untuk melacak Mahamara bersama dengan Hyang Madyapada dan rahasiakan tugas ini dari Hyang Yuda untuk sementara waktu sampai kita benar – benar menemukan bukti bahwa masalah Nagendra ini adalah benar ulah Mahamara,” jelas Hyang Amarabhawana.
“Saya mengerti. . .” jawab Hyang Tarangga, “sebelum itu, bisakah saya bertanya, Hyang Amarbhawana?”
“Katakan.”
“Manurut Hyang Amarabhawana, apa tujuan kemunculan Mahamara kali ini?”
Hyang Amarabhawana menatap dalam ke arah Hyang Tarangga dan kemudian menggelengkan kepalanya merasa ragu. “Hanya Mahamara yang tahu. . . hanya saja aku berharap kemunculannya kali ini tidak berhubungan dengan kita para Hyang dan juga tidak membawa masalah bagi Janaloka dan Amaraloka.”
Setelah percakapan antara dirinya dan Hyang Amarabhawana selesai, Hyang Tarangga kembali ke ruang kerjanya yang berisi banyak kitab – kitab dan buku – buku besar yang berisi takdir manusia di Janaloka. Hyang Tarangga duduk sebentar di kursi di depan meja kerjanya sembari memikirkan sesuatu. Sesuatu tiba – tiba terlintas dalam pikirannya dan membuatnya segera bangkit dari duduknya. Hyang Tarangga berdiri ke tengah – tengah ruang kerjanya dan berteriak memberi perintah kepada semua kitab – kitab dan buku – buku miliknya.
“Temukan Pawestri Manohara. . .”
Semua buku – buku dan kitab – kitab milik Hyang Tarangga berterbangan di udara dan membuka setiap halaman di dalamnya mencari dua kata yang diucapkan oleh Hyang Tarangga. Dari jutaan buku dan kitab yang ada, beberapa buku kemudian turun ke hadapan Hyang Tarangga dan membuka halaman tertentu.
Hyang Tarangga kemudian maju selangkah dan mulai membaca empat buku yang ada di hadapannya. Satu persatu buku dibacanya mengenai Pawestri Manohara dan mata Hyang Tarangga kemudian terhenti pada buku terakhir di depannya yang berisi kehidupan Pawestri Manohara. Matanya Hyang Tarangga membesar karena tidak bisa percaya dengan apa yang sedang dibacanya saat ini. Begitu selesai membacanya, Hyang Tarangga kemudian menerbangkan semua bukunya dan memberi perintah kembali kepada semua buku dan kitab yang dimilikinya.
Dengan sedikit lemas, Hyang Tarangga kembali ke kursinya dan merenung dengan kedua tangan yang menyangga dagu dan wajahnya.
Ini kehidupan terakhir Pawestri Manohara dalam menjalani hukuman tiga kesengsaraan hidup. Sudah lima ratus tahun lamanya dan kini Mahamara muncul lagi di kehidupan terakhir Manohara. Apakah ini hanya kebetulan semata? Atau sesuatu yang aku takutkan mungkin akan terjadi pada masa terakhir hukuman Manohara?
# # #