Bahkan ketika di ujung kematian datang, seorang ibu masih sempat memikirkan bagaimana cara untuk menyelamatkan bayinya. - I'll Never Believe I'm Alone -
Wadha melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 3 pagi. Di luar sedang hujan deras. Terbangun, setelah mendengar ketukan pintu. Tumben sekali, tidak seperti biasanya ada seorang tamu datang. Sembari mengikat rambut, Wadha menuruni tangga menghampiri jendela, untuk mengintip siapa gerangan yang datang. Kala melihat dan menemukan bagaimana Rifa Dairah-temannya dengan kondisi buruk, segera tanpa pikir panjang, Wadha membuka pintu.
Rifa merupakan teman sekolah yang akrab dengan Wadha sampai mereka sama-sama sudah menikah. Tidak pernah sekalipun terlintas di pikiran Wadha Tihani bahwa ia harus mendapati seorang Rifa dalam kondisi terburuknya. Penampilan berantakan, disertai tangan gemetar menggendong bayi bergumpalan kain lembap. Wajah pucat berkeringat itu berhasil membuat Wadha tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Tangisan Rifa tak terbendung, air mata menetes tiada berhenti sampai membuat bayi dalam gendongannya menangis keras. Farand selaku suami Wadha menyusul setelah menyadari ketiadaan istrinya. Bersama mata membengkak tanpa terhentinya tangisan, Rifa berucap sendu.
"Na-Namanya Nicholas Zhief, anakku tersayang, umurnya masih 1 bulan." Meski terbata-bata, wanita 30-an itu tetap melanjutkan kalimatnya. "Wadha, hanya satu permintaan yang aku pinta, aku mohon," isakkan keibuannya membuat siapapun akan luluh melihat hal tersebut. "Tolong rawatlah anakku Niko sementara ini."
"Tapi kenapa?" Akhirnya pertanyan itu terucap juga dari mulut Wadha yang tak bisa membendung rasa penasarannya. Kedua tangan spontan menyambut bayi laki-laki berkalung huruf N itu, dari tangan Rifa yang masih saja tidak berhenti gemetar.
Hawa dingin sayup-sayup menggerogoti kulit, menimbulkan efek menggigil. Rifa menarik napas mencoba menjelaskan. "Ada ... ada sesuatu yang nggak beres, aku terlibat dengan masalah mengerikan." Kelembapan karena berkeringat, sehingga menimbulkan rambut Rifa terlihat lepek dan tak terurus.
Wadha menoleh ke arah Farand-suaminya, yang juga menatap Wadha tidak mengerti. Jiwa penolong Wadha memanggil mengiyakan, seolah firasat wanita itu berkata, apa yang dikatakan Rifa bukanlah kebohongan maupun bualan semata. Wadha mengenal Rifa dengan baik, pun suaminya Mateo. Wadha tidak akan lupa bagaimana mereka juga yang selalu membantu Wadha di saat dirinya sedang mengalami kesulitan, bahkan sebelum bertemu Farand. Jika hanya dengan menjadikan Niko sebagai anak angkatnya bisa membantu Rifa, Wadha siap melakukan sebisanya.
"Aku berjanji akan datang lagi setelah masalah ini selesai." Jemari keputihan itu, mengusap air mata berjatuhan. Rifa memfokuskan pandangan pada kedua teman tepercayannya. "Seandainya aku tidak pernah datang setelah tahun-tahun berikutnya, bolehkah aku meminta padamu untuk jadikan anakku sebagai anak angkatmu?"
Wadha menelan saliva gelisah. Firasatnya mulai membunyikan hal-hal ganjal. "Baiklah." Ah benar juga, Wadha melupakan bagaimana tiba-tiba hilangnya kabar Mateo padahal seharusnya pria itu membantu istrinya dalam proses persalinan. Wadha mengutuk ketiadaan Mateo. Bagaimana bisa pria itu tiba-tiba hilang tanpa jejak? Atau ada hal lain yang tidak diketahui Wadha tentang keduanya?