Hari itu adalah hari Sabtu, pukul 10 pagi menjelang siang. Niko selaku kakak tertua lebih satu tahun, mengujarkan permohonan pada Wadha. "Mama, bolehkah aku dan Arum pinjam sepeda punya Jaka dan bermain di taman?" Niko memejamkan mata siap akan dimarahi karena 99% sudah pasti tidak diizinkan, mengingat sikapnya yang sering jatuh ke tanah. Yah, siapa suruh Jaka bermain sepeda kelihatan seru sekali? Alhasil rasa ingin menaiki sepeda juga timbul di dalam diri Niko, untuk memutari lapangan taman.
"Memangnya kamu sudah lancar mengendari sepeda Niko?" balas Wadha sembari menaruh bahan dapur yang sudah dibeli di pasar ke dalam lemari pendingin. Belum sempat menoleh. Wadha sedang menata ikan dan daging ayam, agar tidak cepat membusuk, yang disusul sayur-sayuran.
"Uh," Niko menunduk merapatkan bibir ragu, sedetik kemudian, mengangkat kepala dengan pendirian teguh. "Bisa!" lantangnya sampai membuat Wadha menahan tawa kecil. "Sa... satu sepeda saja terus aku juga mau bonceng Arum."
"Gimana kalau kalian jatuh nanti?" Kini Wadha dengan masih mengenakan apron, sudah sepenuhnya menatap dua mata bulat Niko di mana tangan mungil itu menggandeng erat Arum di sampingnya. Menggemaskan sekali, sih. Wadha jadi ingin memeluk kencang keduanya dan mencubitnya keras-keras.
"Nggak akan! Sumpah deh!" yakin Niko berapi-api, tangan mengepal ke udara seolah siap berperang. Dia adalah lelaki sejati yang memegang teguh kata-katanya--pikirnya seperti kata-kata yang sering terlontar dari aktor film yang kebetulan ia tonton bersama Wadha.
Wadha menyerah, ia tersenyum lebar. "Oke Mama izinin tapi Mama pantau ya?"
"Nggak boleh!" Spontanitas itu timbul karena Niko takut dimarahi, yah lebih baik berjaga-jaga, jujur saja, Niko tidak yakin ia tidak akan jatuh.
"Loh kok nggak boleh?"
Niko mengerutkan kening ragu, "Yaudah deh boleh," ujarnya kemudian menunjukkan sikap labil. Ketimbang tidak diizinkan lebih baik menurut saja.
Sesampainya di taman. Niko terus saja bercerita banyak hal pada Arum. Mereka berhasil menaiki sepeda beroda tiga milik Jaka, posisi Arum berada di belakang memeluk Niko, mendengarkan segala hal yang diceritakan Niko dan menanggapinya dengan serius. Berbeda dengan mereka berdua, Jaka lebih asyik bermain perosotan berulang-kali bersama teman-teman yang lain.
Jalur yang melewati hanyalah memutar taman saja. Sedangkan Wadha duduk memperhatikan di ujung taman. Tempat tersebut memang ditujukan untuk para orantua menunggu anaknya bermain. Tidak hanya Wadha, di samping kiri dan kanan wanita tersebut, juga, diisi oleh ibu dan nenek-nenek.
30 menit sudah berlalu, Niko bersikeras melaju meski ada batu berukuran besar di depannya. Semakin kesal sebab beban terasa semakin berat. Saat itulah sepeda mereka terjatuh dan kulit jemari Niko terkelupas berdarah di antara pasir dan batu kecil taman. Arum yang hanya mendapatkan luka lecet, terkejut khawatir. "Udah aku bilang lewat jalan lain ajha!" omelnya sedikit tidak lancar.
"Uh tangan aku sakit," keluh Niko memelas.
"Katanya kalau dijilat bisa cepat sembuh." Tanpa pikir panjang, Arum mengambil paksa tangan Niko untuk ia jilat lukanya, yang malah detik berikutnya ia sesali. "Huek nggak enak ada pasirnya!"