Pencahayaan datang dari lampu, memantul ke retina. Sosok yang pertama kali ditemukan Niko adalah ibunya, Wadha. Pupilnya bergerak melirik ke arah jarum jam yang menunjukkan pukul 8 malam. Tangan Niko terulur mengusap rambut ibunya, yang segera dibalas oleh keterkejutan. Tatapan Niko meredup instan, bayangan Arum terlingkari darah terbayang seakan menyiksa diri Niko. "Maaf Mama, gimana caranya aku nolong Arum? Haruskah aku ganti luka Arum pakai darahku saja?" Spontanitas itu terdengar putus asa oleh rasa bersalah.
Biasanya senyuman hangat Wadha selalu melegakan, tetapi, meski Niko sudah melihatnya, rasa kecemasan tetap memenuhi perasaannya. Wadha menciumi jemari putera sulung angkatnya, tertawa kecil dengan kepolosan Niko, "Nggak nak, kalian nggak sedarah, kamu juga masih kecil." Bibir dingin itu menyentuh kulit tangan Niko, membuat Niko diam-diam bertanya-tanya sudah berapa lama Wadha mengawasinya di rumah sakit? Meski bocah 4 SD itu penasaran, Niko tidak berniat untuk mengajukan pertanyaan.
"Kamu nggak perlu khawatir, Arum baik-baik saja karena nggak ada luka yang serius. Kecelakaan itu sama sekali nggak memakan korban. Semuanya selamat hanya berakhir luka-luka saja. Kamu nggak perlu khawatir lagi sayang," lanjut Wadha yang kali ini benar-benar menciptakan kelegaan.
Niko bangun dari posisi berbaringnya, duduk bersandar pada ranjang rumah sakit. Ia menoleh meminta persetujuan, "Aku mau jenguk Arum," ujarnya yang langsung disetujui Wadha. Sebelum ke ruangan Arum, Wadha memberitahu bila, anak perempuan itu sedang ditunggui oleh Farand.
Ketika sudah benar berada di ruangan yang sama, melihat Arum yang masih dengan kedua mata tertutup. Tubuhnya terbalut perban tertutupi pakaian rumah sakit, Niko menduga bahwa perban itu untuk mengobati luka di punggung, yang sama sepertinya meski tidak separah Arum. Tatapan Niko menurun ke bagian wajah sampai leher Arum yang terhias goresan dan baretan luka kering, bibirnya putih kepucatan. Alasan itu juga, Niko mulai mengenali perasaan emosional baru seperti takut, cemas, kekhawatiran, dan kesedihan. Perasaan bercampur-aduk yang muncul setelah menyaksikan bagaimana ia tidak berdaya di tengah ketidaksadaran Arum dan bencana kecelakaan yang terjadi begitu cepat. Menyorot utuh sebagaimana Arum terbaring di rumah sakit, meremas perasaan Niko, seolah-olah, Niko berharap agar ia bisa mengganti posisi Arum, sehingga Arum tidak perlu merasa kesakitan lagi.
Besok paginya, Niko mengangkat kepala tercekat, setelah melihat Arum mengusap rambutnya-persis ketika Niko pertama kali siuman dan menemukan Wadha tertidur di samping ranjang karena terjaga semalaman. Napas Niko memburu lega dengan jantung bergemuruh kencang setelah mendapatkan Arum sepenuhnya sudah sadar dari tidurnya. Senyuman Niko mengkurva manis, doa-doanya mulai terkabul dan Niko bahagia. Arum sudah berhasil siuman serta sembuh dengan cepat. Segalanya berangsur membaik sejak Niko masih bisa menatap kedua iris coklat kehidupan milik Arum.
Tidak menunggu waktu lama. Setelah perawatan yang memakan waktu lima sampai sepuluh hari. Arum dan Niko bisa pulang ke rumah. Kembali beraktivitas seperti sedia kala, diikuti teman-teman, guru, bahkan supir bis maupun pemilik mobil sedan juga telah sembuh dari luka kecelakaan tak mengenakan tersebut. Meskipun karena kejadian itu juga, menjadikan Farand dan Wadha memutuskan agar bila mereka memiliki waktu luang lebih, untuk menjemput Arum dan Niko dibandingkan menaiki bis sekolah.
* * *