Yesa bergegas keluar dari lift begitu pintunya terbuka, dia melihat mobil BMW putih masih terparkir di tempatnya, dia juga bisa melihat Yuna yang berada didalam mobil sedang menundukkan kepala ke setir mobil sambil tangannya memegang ponsel di telinga.
Yesa bisa merasakan betapa kecewanya Yuna hanya dari ekspresinya. Tatapan mata yang tajam saat bertemu dengan Jesse, sudah berubah ketika dia masuk ke dalam mobilnya, semua benar-benar berbeda.
Yesa merasa begitu beruntung ketika dia bisa menjadi orang yang pernah melihat seluruh ekspresi Yuna. Tatapan dia yang dingin begitu dia dikalahkan oleh Yesa saat ujian umum di sekolah, tatapan sedihnya ketika Yesa tidak sengaja melihatnya menangis ketika peringatan meninggal kedua orang tuanya atau tatapan manis dengan senyuman yang tersirat sampai ke matanya dan tidak sengaja memeluk Yesa ketika mereka bisa masuk di kampus yang sama.
Rasa bergejolak yang meliputi dirinya membuat tidak bisa lagi bertahan dengan kakinya sendiri, dia begitu ingin berlari dan langsung memeluk perempuan itu, tapi sayangnya, sifat Yuna yang begitu keras kepala dan juga tidak mau kalah terkadang menyulitkan hubungan mereka.
Yesa berjanji dalam hatinya bahwa dia tidak akan lagi melepaskan Yuna lagi, tidak lagi.
Yesa melepaskan jasnya lalu berjalan menuju mobil BMW itu. Tok… tok…
Perempuan itu akhirnya membuka pintu sambil berusaha menghapus air matanya. “Siapa ya?” tanya dia mencoba mengenali Yesa.
Yesa tidak menjawab pertanyaan itu dia tetap berdiri di depan Yuna, berharap perempuan itu segera mengenali-nya dan tersenyum melihat dirinya yang ada di depannya. Namun ternyata—Yuna mengubah ekspresinya menjadi terkejut, benar-benar syok seakan dia melihat hantu, Yesa bisa merasakan suasana hari itu sangat dingin dan tidak bisa dia gambarkan selain, Yuna tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Yuna langsung bergegas berbalik dan ingin membuka pintu, namun Yesa langsung menahan pintu mobilnya agar tidak terbuka dan membalik tubuh Yuna agar dia bisa menatap matanya.
Mata bulat itu terlihat begitu ketakutan, bukan kerinduan namun matanya begitu takut melihat kehadiran Yesa. Yesa mendekatkan wajahnya berusaha mengunci pergerakan Yuna yang mulai meronta mencari jalan untuk kabur darinya.
“Na, ini aku, kamu kenapa panik?” ucap Yesa dengan lembut.
Yuna terdiam, dia perlahan menyandarkan tubuhnya ke pintu mobil, dia melihat Yesa yang ada di depannya, tatapannya kali ini, Yesa tidak bisa mengenali tatapan apa itu, Yesa bisa melihat bahwa Yuna sedang mengatur nafasnya, kepanikan-nya sudah mulai mereda, dan kali ini tatapannya berubah.
Yuna menurunkan tatapannya, dia menaikan bola matanyanya seakan melihat Yesa dengan tatapan yang sangat membencinya.
“Satu-satunya orang yang gak pengen gue liat sekarang itu lo, Yesa—jadi please, pergi dari hadapan gue karena gue harus balik ke kantor.”
“Ini udah berapa tahun? Aku gak pernah ngerti Na, kenapa kamu selalu menghindar dari aku? Untuk apa kenapa? Kamu menghilang gitu aja, aku pikir kamu pindah kampus tapi ternyata enggak, tapi susah banget nyari kamu.”
“Gue emang gak punya urusan sama lo, Yesa.”
“Gak ada urusan? Gimana bisa kamu ngomong begitu Na? Na, ini aku Yesa, bukan orang lain.”