I've Got You

ARU
Chapter #7

Chapter 7. Bisikan

Glenn berbelok masuk ke pelataran rumah bercat putih dengan aksen kayu jati. Dia memarkir mobilnya di sebelah mobil sedan berwarna hitam. Matahari sudah terbenam sejak dua jam lalu digantikan dengan bulan separuh yang menggantung di langit.

Setelah menjejakkan kakinya di luar mobil, hal pertama yang Glenn lakukan adalah meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Ia melihat lampu berpendar putih kekuningan menyala dan membuat dinding putih rumahnya tampak hangat. Samar-samar ia bisa mencium aroma masakan menguar dari dalam sana, dan mendadak ia merasa lapar.

Setelah memastikan mobilnya terkunci ia melenggang masuk ke dalam rumah.

“Aku pulang.” kata Glenn bersamaan dengan pintu yang ia buka.

Tak lama kemudian seorang wanita mengintip dan seringaian muncul di wajahnya. “Kamu telat empat puluh tujuh menit, tuan tepat waktu.” kata wanita itu. Garis wajah dan matanya mirip dengan Glenn.

“Macet tahu.” Jawab Glenn ketus. Dia meletakkan tasnya di ruang tamu lalu mengikuti langkah wanita yang sempat menjulurkan lidahnya untuk mengejek Glenn.

“Kayak anak umur lima tahun saja?” Glenn mengernyitkan alis.

Wanita itu tergelak. “Kamu ‘tuh adikku, tapi orang-orang mikir kamu lebih tua dariku gara-gara sikapmu.”

“Gladis, jangan bikin wajah Glenn tambah masam.” suara seorang wanita paruh baya menghentikan salam antara kakak beradik yang selalu terjadi setiap mereka bertemu, ia adalah ibu Glenn, Ratih.

Glenn menghampiri ibunya lalu merunduk dan mengecup kedua pipinya. Tinggi Ibu Glenn hanya seratus lima puluh senti, ia harus sedikit berjinjit untuk meraih Glenn. 

“Ayah mana, bu?” tanya lelaki itu. 

Wajah sumringah dan binar di sepasang mata yang mirip dengan Glenn adalah sambutan yang selalu ia terima saat pulang ke rumah. 

“Ayah beli camilan. Pas sekali makanannya sebentar lagi matang. Glenn mandi saja dulu.” Suara Bu Ratih terdengar teduh. Ia mengusap tangan ke celemek, lalu meraih tangan Glenn. Meski tangan itu tampak sedikit keriput, tapi ia terasa kuat. 

Glenn mengangguk lalu berbalik pergi. Sayup-sayup terdengar percakapan kecil Gladis, Kakak dan saudara semata wayangnya bersama dengan ibunya. Glenn pulang rutin sekali dalam sebulan untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya. Dan agenda rutin mereka adalah makan malam bersama di hari jumat.


==oo0oo==

Glenn baru saja menandaskan potongan ketiga ikan yang dimasak oleh ibunya. Dia tahu masakan ibunya selalu enak tapi menu baru kali ini menjadi favoritnya. 

“Kakap asam manado? Aku baru dengar.” Glenn bersiap mengambil potongan ketiganya. 

“Aku yang ngasih resep ini ke ibu.” kata Gladis dengan nada bangga. “Enak ‘kan?” kini ia menggerakkan sepasang alisnya. Memaksa persetujuan pendapat adiknya.

Glenn mengernyit. “Biasa aja.” jawab Glenn seketika. 

“Kamu ngabisin tiga potong dan bilang rasanya biasa aja?” 

“Ibu yang memasak.” Glenn menyeringai.

“Astaga. Berhenti dan makan dengan benar.” Tegur Bu Ratih. Sementara ayah mereka-Pak Nugroho- hanya menggelengkan kepala. Meski begitu keduanya tahu, Glenn dan Gladis tidak benar-benar berkelahi, ini adalah cara mereka menunjukkan kasih sayang pada satu sama lain. 

Mereka menutup kegiatan rutin malam itu dengan segelas es kelapa muda yang tadi dibeli oleh Pak Nugroho. 

“Bulan depan,” Gladis membuka pembicaraan baru. Suaranya agak sedikit ragu dan dia melihat ke arah semua orang sebelum melanjutkan. “aku ingin mengenalkan seseorang.” 

Gladis menghirup napas panjang setelah mengatakan itu, seolah dia baru ingat kalau oksigen itu ada.

Glenn menghentikan aktivitasnya --menyendok jelly dari gelasnya-- dan menatap ke arah Gladis. Begitu pula dengan kedua orang tuanya. Mereka menatap lurus ke arah Gladis yang kini sedikit menunduk memainkan gelasnya yang masih separuh terisi.

Ketiganya tahu betul apa yang dimaksud Gladis dengan mengenalkan seseorang. Orang tua Glenn bukanlah seseorang yang sangat kaku dalam menilai seseorang yang pantas untuk anak-anaknya. Mereka tidak akan memberikan segudang syarat untuk siapapun yang dipilih anak-anaknya. Tapi Gladis berbeda. 

“Ekhm.” kali ini giliran Pak Nugroho yang memecah keheningan sesaat. “Jadi, kita akan menyiapkan seporsi ekstra makan malam?” suaranya terdengar kikuk tapi lembut.

Gladis yang mendengar itu menoleh ke arah ayahnya dan mendapati seulas senyum hangat. Kelegaan terpancar di wajahnya. Sepercik semangat muncul di sepasang mata wanita itu bersama dengan senyum kelegaan.

“Aku akan bantu menyiapkannya.” Ucap Gladis bersemangat.

“Pastikan dia bisa main catur.” Tambah Nugroho. 

Bu Ratih meraih tangan Gladis. Ia bisa merasakan ujung jemari putrinya sedikit dingin. Ia tahu Gladis ingin menyampaikan sesuatu dan menunggu putrinya mengucapkan itu sendiri. “Selama kamu siap, kami bersamamu nak. Kamu lebih tahu apa yang terbaik untukmu.”

Sekilas, Glenn bisa melihat air mata yang hampir tumpah di mata Gladis, tapi kakaknya menahan mati-matian agar air mata itu tak tumpah.

Glenn kembali teringat kondisi kakaknya yang hancur dua tahun lalu, ketika ia membuka pintu dan mendapati Gladis berdiri di sana dengan luka lebam di wajah, bekas plester juga perban di tangan dan jemarinya, tas kecil dan isak tangis yang ia tahan sepanjang jalan, pecah begitu ia melihat Glenn. 

Lihat selengkapnya