Namanya Taufan, bertubuh jangkung dan kurus. Dia salah satu pegawai baru yang baru dua bulan ini masuk sebagai purchasing. Ini adalah pengalaman kerja pertamanya sejak dia menyelesaikan studinya dua bulan lalu. Lelaki berkulit sawo matang yang rambutnya sedikit panjang itu kini tampak gugup. Setidaknya sudah lebih dari lima kali dia menghela napas panjang lalu kembali berpikir.
“Kayaknya, aku benar-benar tamat.”
“Jangan putus asa gitu. Pasti ada jalan keluarnya.” Lani memijit pelipisnya. Berusaha mendinginkan matanya yang lelah karena melihat PC sepanjang hari. Tatapannya beralih ke arah Taufan yang duduk di kursi seberang meja Kaira. “Tuh, Kaira datang.”
Tatapan penuh harap dan bingung jelas tampak di wajah Taufan. Kaira yang melihatnya mengernyitkan alis. “Ada apa?” tanyanya sambil duduk.
“Dia merasa akan tamat.” Lani menjawab.
“Tentang rangkaian promosi produk baru kita,” Taufan membuka suara.
“Hm?”
“Aku bertanggung jawab buat ngurus merchandisenya.”
“He em, terus?”
“Aku mengacaukannya.” Suara lelaki itu terdengar putus asa. “Aku nggak periksa ulang tanggal deadlinenya, dan ternyata masih tertulis tanggal yang lama. Itu satu bulan setelah rilis. Kita harus dapetin merchandise itu sebelum perilisan.”
Kaira mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja. Berpikir. “Sudah coba hubungi vendornya?”
Taufan mengangguk. “Mereka nggak bisa. Mereka ngerjain pesanan sesuai dengan urutan waiting list. Paling cepat dua minggu setelah rilis.”
Kaira tampak berpikir. Mereka tidak bisa menggunakan stok merchandise yang sudah ada karena ini produk baru dan merchandise untuk produk ini khusus. Ini masalah besar karena merchandise memegang peranan besar untuk acara promosi ini.
Setelah keheningan yang cukup lama, Kaira membuka Suara. “Coba nego untuk membagi pengiriman jadi beberapa termin, biaya kirimnya bakalan nambah tapi itu lebih baik. Aku coba hubungi cabang lain untuk mengirimkan stok merchandise.”
Wajah Taufan sedikit berbinar. “Aku coba dulu.”
“Tapi,”
“Ya?”
“Kamu tetap harus bilang ke Pak Glenn soal ini.”
Secercah harapan di wajah lelaki itu hilang. Di kepalanya sudah terbayang kemungkinan buruk yang akan terjadi seperti teriakan Glenn, makian atau bahkan dia akan dipecat.
“Aku bisa bantu kamu ngehubungin cabang lain, semua tindakan ini harus dapat izin Pak Glenn. Itu sudah prosedur.” Terang Kaira.
Kaira meraih gagang telepon di mejanya. Masih dengan keprihatinannya dia menelepon seseorang yang dikenalnya di salah satu cabang. Beruntung mereka mau mengirimkan merchandise sebelum stok Taufan datang. Tapi lelaki itu tak merasa lega.