I am No King

Ren Igad
Chapter #114

Arc 4 Ch 7 - Kesempatan, Seharusnya

Cahaya matahari memaksa masuk ke mataku yang masih ingin tertutup. Dengan berat hati, aku pun membuka mata dan membiarkannya masuk.

Ah, sudah pagi lagi ya.

Aku tidak langsung duduk atau bahkan bangkit. Entah kenapa, aku masih ingin merebahkan badan di tempat ini, di samping Tasha. Dan, tempat ini adalah satu-satunya tempat dimana aku bisa tidur dengan nyenyak tanpa perlu mengkhawatirkan serangan.

Agak lama, setelah seluruh kesadaran terkumpul, aku baru menyadari ada dua orang di dekatku. Lebih tepatnya di samping kiri, di seberang makam Tasha. Tanpa duduk atau bangkit dari atas kasur tanah, aku membuka mulut.

"Emir, Inanna, sejak kapan kalian di sini?"

"...mungkin hampir satu jam."

Emir tidak langsung menjawab. Ada sedikit jeda di awal.

"Mari?"

"Ya, Mari."

"Berapa banyak yang dia ceritakan?"

"Semua yang kamu alami."

"Begitu ya...."

Di lain pihak, Inanna tidak memberi jawaban.

"Sebenarnya," Emir melanjutkan. "Yang memaksa ingin ke sini adalah Inanna."

"Inanna?"

Emir tidak memberikan respon lanjutan. Aku juga sama. Mengetahui kami menanti responsnya, Inanna pun memberi jawaban.

"Maaf, Gin. Aku, aku hanya ingin berada di sisimu ketika kamu sedang bersedih. Namun, tampaknya..."

Inanna tidak menyelesaikan ucapannya. Emir pun tidak melanjutkan ucapan Emir seperti biasa.

Aku paham apa yang ada di pikiran mereka. Seperti ucapan Inanna, mereka berdua pasti berharap aku datang, mencari pelukan dan kenyamanan mereka ketika sedang bersedih.

Namun, sayangnya tidak. Aku tidak datang mencari ketenangan dari mereka. Yang kulakukan justru pergi dan menghabiskan malam di makam seseorang. Dengan kata lain, yang ada di pikiran dan hatiku masih Tasha, bukan Emir atau Inanna.

Saat ini, bukan melebih-lebihkan kalau aku tampak seperti sedang selingkuh. Satu-satunya hal yang membuat Emir dan Inanna tidak langsung marah atau menangis adalah karena Tasha sudah tiada. Ya, benar. Karena dia sudah tiada. Mereka tidak bisa benar-benar marah karena masih memikirkan perasaanku.

"Gin, mungkin kami sudah pernah menyatakan kalau kami sudah siap untuk tidak menjadi yang nomor satu di hatimu. Tapi, maaf, tampaknya, aku tidak bisa memenuhinya. Dadaku terasa begitu sesak ketika melihatmu tertidur di sini dengan damai." Emir berhenti sejenak. "Inanna, ada yang ingin kamu sampaikan?"

"Maafkan aku Lugalgin. Tapi, kelihatannya aku juga sama dengan Emir. Aku tidak bisa menerima semua ini begitu saja."

Tapi kalian tidak masalah kalau satu sama lain? Sebenarnya, aku ingin menanyakan hal itu. Namun, aku bukanlah orang tanpa perasaan dan tidak sensitif. Aku tidak akan menanyakannya.

Emir dan Inanna bisa saling menerima karena mereka memiliki latar belakang sama, orang yang tidak cocok di keluarga kerajaan. Waktu mereka menjadi calon istriku juga tidak berselang terlalu jauh, mungkin 1 atau 2 bulan. Jadi, mereka memiliki kesempatan untuk bisa mengenal satu sama lain sambil mencoba menjadi istriku.

Di lain pihak, Tasha sudah berada di hidupku sejak lama. Selisihnya dengan mereka mungkin sudah satu dekade. Entahlah, aku tidak yakin juga. Dan, yang terpenting, mereka tidak mengenal Tasha. Karena tidak mengenalnya, sulit bagi mereka untuk bisa memaklumi Tasha. Menurutku, hal ini juga lah yang membuat mereka marah saat tahu aku sudah tidur dengan Lacuna. Karena mereka tidak mengenal Lacuna.

Di saat ini, hanya satu hal yang bisa aku lakukan.

"Maafkan aku, Emir. Maafkan aku, Inanna. Aku benar-benar minta maaf."

***

"Halo, ibu?"

[Ya, ada apa Inanna? Tidak biasanya kamu menelepon pagi-bagi begini. Oh, ada Emir juga. Ada apa ini?]

Tadi pagi, suasana meja makan begitu sunyi. Tidak seorang pun membuka mulut. Kami hanya makan bersama. Setelah selesai, Lugalgin langsung mencuci piring dan masuk ke kamar. Saat akan naik ke lantai dua untuk ganti baju, saat aku dan Emir masih makan, Lugalgin membuka mulut sejenak, tampak ingin mengatakan sesuatu. Namun, dia mengurungkan niatnya dan pergi ke lantai dua tanpa mengatakan apapun.

Sebenarnya, aku sangat ingin membantu dan meringankan beban pikiran Lugalgin. Namun, jujur, aku sama sekali tidak memiliki pengalaman dengan laki-laki. Aku bahkan tidak yakin dengan perasaanku. Oleh karena itu, aku berpikir untuk menelepon ibu. Di sampingku juga ada Emir. Kami berdua melakukan panggilan video.

Aku meletakkan smartphone di meja samping kamar dan membiarkan proyeksi ibu muncul di dinding.

[Aku tidak melihat Lugalgin dimana pun. Ada apa? Kalian bertengkar?]

"Aku tidak yakin bisa mengatakan ini sebuah pertengkaran. Sebenarnya...."

Lihat selengkapnya