Suara logam bertabrakan dan hancur terus terdengar, menambah variasi suara medan perang di malam ini. Saat ini, aku dan Weidner bertarung di atas tanah, di taman rumah sakit, menghancurkan semua yang ada di pandangan.
Suara dentingan logam terhenti sejenak, senjata raksasa kami saling mengunci.
"Pengguna senjata raksasa dari Agade. Jadi, kau adalah Mari, ya?"
Aku tidak memberi jawaban, membiarkan Weidner menerka-nerka. Karena menggunakan topeng badut dan jubah hitam, dia tidak bisa melihat wajahku. Walaupun melihat wajah ini, aku ragu dia bisa mengenaliku, mengingat kami tidak pernah bertemu sejak dijual oleh kerajaan ini.
Aku mengendalikan dua pesawat yang terbang dan meluncurkan misil ke arah Weidner. Namun, dia tidak menerima misil itu tanpa perlawanan. Tanpa melihat ke belakang, Weidner membuat dinding logam melayang, menghalangi misil.
Pengendalian utamaku adalah besi, dan pengendalian utama Weidner adalah Nikel. Jadi, tidak satu pun dari kami yang merasakan tekanan pengendalian lawan. Namun, aku berani bertaruh, niat membunuh dan aura haus darah kami saling menyerang. Kalau ada orang normal datang ke tempat ini, besar kemungkinan mereka tidak akan bisa bernafas dan mati dalam waktu singkat.
Senjata kami terlepas dari posisi saling mengunci. Di saat itu, aku dan Weidner sama-sama mengayunkan pedang raksasa kami, mencoba membunuh lawan.
"Secara pribadi, aku merasa tidak pernah berurusan dengan Agade. Namun, dari caramu menyerang, kau seperti memiliki dendam pribadi padaku. Katakan, apa yang membuatmu menaruh dendam padaku."
Sejak dulu, aku selalu membenci kelakuan Weidner yang seperti ini. Dia selalu menganggap semua hal enteng, tidak pernah serius.
Tiba-tiba saja, aku ingin mencoba sesuatu.
"Apa kau mengingat perempuan bernama Lili?"
"Lili?"
Weidner sempat terhenti untuk sejenak, kaku. Berhentinya Weidner memberi kesempatan. Aku langsung mengayunkan pedang sekuat tenaga, berusaha membelah tubuh Weidner. Namun, sayangnya, Weidner jauh lebih responsif dari yang aku inginkan.
Weidner mengubah bentuk pedang panjangnya menjadi perisai, menerima seranganku secara penuh. Karena hantaman dari pedangku, Weidner dan perisainya terlempar ke udara.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan, aku menerbangkan tiga pesawat lain yang ada di atas gedung dan melepaskan semua misil.
Sebelumnya, misil yang meledak akan menghancurkan perisai atau dinding yang dibuat oleh Weidner. Namun, karena Weidner selalu memberi jarak antara dirinya dan perisai, dia tidak pernah khawatir akan terluka. Sayangnya, kondisi saat ini berbeda.
Perisai yang dipegang oleh Weidner menempel di tubuh. Jarak antara Weidner dan dinding di belakangnya pun semakin dekat. Meskipun Weidner menahan misil yang kutembakkan dengan perisai atau dinding, dia tidak akan lolos dari semua ledakan yang memburunya.
"MATI KAU!"
Bola dan bunga api bermunculan di udara, menandakan misil yang kuluncurkan dari pesawat telah menyentuh perisai atau benda apapun yang dipegang oleh Weidner. Perlahan, tampak bunga dan ledakan api semakin rendah hingga akhirnya menyentuh tanah, mengobarkan taman. Taman yang sebelumnya hanya mendapat sinar dari gedung rumah sakit, kini memiliki sumber cahaya sendiri, kobaran api membara.
Serangan tidak berhenti di situ. Aku membuat lima pesawat jet itu melayang dan melepaskan tembakan dari gatling, menghujani Weidner dengan 3.000 peluru per menit. Setelah putaran peluru habis, aku melepas kotak senjata yang ada di atas dan bawah masing-masing pesawat, mengubah semuanya menjadi tombak sepanjang 3 meter.
Setelah hujan peluru, rasakan hujan tombak ini!
Aku harus melakukan semua ini. Kalau tidak, akan ada bagian tubuh yang tersisa dari laki-laki ini. Aku tidak mau ada sisa dari pengkhianat i-Eh?
Instingku berontak dan aku melompat ke samping kiri. Tepat saat itu pula, beberapa benda mendarat dari langit.
"Aakkkkhhh......"
Aku ingin berteriak kesakitan, tapi aku harus menahannya. Aku melompat dan berlari, menghindari apa pun yang berusaha mencapaiku. Akhirnya, setelah berlari beberapa puluh meter, instingku mulai tenang.
Namun, aku tidak bisa tenang begitu saja. Rasa sakit menjalar dari tangan kanan. Aku mendaratkan semua pesawat di atas atap dan mengambil satu gatling gun, membuatnya melayang, perlahan turun ke tanah. Begitu tiba, aku langsung menempelkan ujung tangan kanan ke laras gatling yang masih panas.
Dalam serangan tadi, tangan kananku kena. Benda yang jatuh adalah lempengan logam, siap memotong apapun yang dilalui. Dan, tangan kananku mulai dari bawah siku telah hilang, terpotong oleh serangan yang dilancarkan Weidner. Kini, aku tidak bisa merasakan pergelangan dan telapak tangan kanan lagi, sudah hilang.
Tangan kananku terasa begitu nyeri, rasa sakit menyebar walaupun lukanya sudah kering setelah aku tempelkan pada laras gatling gun.
"Serangan tadi berbahaya sekali, tahu tidak?"
Sebuah suara terdengar dari dalam kobaran api. Di antara kobaran api dan tombak yang telah menancap di tanah, sebuah sosok berjalan.
Dari kejauhan, aku melihat sosok itu sudah kehilangan beberapa bagian tubuh. Terlihat bahu dan perut kiri hilang. Tangan dan kaki kanan pun juga sudah berlubang. Bahkan, terlihat tiga tombak menancap di badannya. Seharusnya, dia sudah tidak hidup.
Namun, begitu dia keluar dari kobaran api, semuanya sudah terjawab. Di balik pakaian yang compang-camping dan tubuh yang tidak lengkap, tidak terlihat darah mengalir. Dari anggota tubuh yang hilang dan tidak mengalirkan darah, terlihat kilauan cahaya terpantul. Dengan kata lain, sebagian besar tubuhnya bukan lagi tubuh manusia, tapi logam. Dia sudah menjadi setengah robot.
Dalam waktu sesaat, anggota tubuh yang hilang muncul kembali. Bukan! Bukan muncul kembali. Beberapa logam datang dan menggantikan anggota tubuh yang hilang.
Satu-satunya tempat darah mengalir adalah dari atas kepala Weidner, sedikit menutupi matanya. Jadi, mungkin, kepala dan otaknya masih normal.
Weidner terus dan terus berjalan hingga akhirnya berhenti. Dia tidak berhenti tepat di depanku. Weidner memberi jarak sejauh 10 meter di antara kami.
"Hei, asal kamu tahu, serangan tadi bisa membunuhku. Kamu tidak mau membunuhku dan membuat Kak Lugalgin bersedih kan, Hanna?"
"...kau sudah mengetahuinya, ya?"
"Tentu saja! Orang yang mengenal Lili hanyalah dari panti asuhan kita. Ditambah lagi, hanya kamu, yang seharusnya dijual di kerajaan ini, yang keberadaannya tidak mampu kutemukan. Jadi, aku bisa menarik kesimpulan dari sini."
Ah, begitu ya. Tidak membuat identitasku mati adalah salah satu kesalahan.
"Lalu, apa kau mau meminta belas kasihan dariku?"
"Belas kasihan.....? Kukuku....."
Weidner terdiam sejenak. Perlahan, aku bisa mendengar suaranya yang terkekeh.
"HAHAHAHAHA,"
Akhirnya, suara terkekeh Weidner meledak, berubah menjadi tawa lepas.
"Untuk apa aku meminta belas kasihan? Kamu lah yang seharusnya meminta belas kasihan. Karena saat ini, tidak mungkin kamu bisa mengalahkanku."
Di belakang Weidner, muncul beberapa senjata raksasa, melayang dan siap menyerang.
Aku menarik semua senjata yang sebelumnya menancap di taman dan mengubahnya menjadi senjata raksasa juga.
"Aku tidak akan membiarkan Kak Lugalgin menemuimu."
Kami berdua sama-sama meluncurkan senjata raksasa sebagai proyektil. Di antara itu semua, kami juga maju dengan senjata di tangan. Dalam waktu singkat, aku membuat tangan besi yang menempel dengan senjata.
Berbeda dengan sebelumnya dimana Weidner akan menghalau atau menghindari seranganku. Kali ini, dia membiarkan seranganku mendarat selama bukan di dada, leher, atau kepalanya. Tampaknya, dia tidak ada niatan menyembunyikan fakta kalau tubuhnya adalah logam.
Dan, sialnya, gaya bertarung Weidner membuatku kerepotan. Sementara dia bisa menghindari semua serangan, aku terpaksa menghindar, membuatku lebih sering bertahan daripada menyerang.
"Akhirnya, aku bisa melihat wajahmu lagi, Hanna."
Aku terpaksa mengadopsi gaya bertarung Weidner. Selama serangannya tidak mengarah ke organ vital, aku akan menerimanya. Untuk melakukannya, aku mengorbankan topeng ini. Dengan hilangnya topeng ini, pandanganku akan menangkap setiap gerakan Weidner secara penuh.
Aku akan memenangkan pertarungan ini.
***
"Lemah!"
Aku berusaha melepaskan diri dari dinding.
Tampaknya, gada Shanna lebih kuat dari pedangku. Pedangku hancur berkeping-keping dan Shanna melanjutkan serangan. Pukulan Shanna begitu kuat hingga melemparku yang mengenakan armor hingga menembus satu dinding.
Gara-gara serangan Shanna, kini tubuhku menempel di dinding, di dalam bangunan rumah sakit. Tanpa armor ini, mungkin tubuhku sudah terpisah menjadi dua.
Di lain pihak, aku beruntung karena kami berada gedung yang sudah dievakuasi, jadi tidak ada korban jiwa. Dan, karena berusaha memperdaya musuh, lampu dan peralatan pun masih menyala. Berkat tubuhku yang terlempar, ruangan yang seharusnya resepsionis ini menjadi porak-poranda. Meja dan kursi hancur dimana-mana.
"Kau tidak mengenakan topeng atau jubah. Kau bukan anggota elite Agade, ya? Hah! Kalian meremehkanku atau apa? Kalian pikir anggota biasa bisa mengalahkanku?"
Shanna berteriak tidak jelas. Dia bahkan tidak melihat ke arahku. Pandangannya mengarah entah kemana.
Shanna, kamu masih saja seperti dulu, congkak. Kamu benar-benar tidak berubah.
Aku mengangkat tangan, mengendalikan kepingan-kepingan pedang yang tersebar di dekat Shanna.
"Hah?"
Shanna mengeluarkan respon pelan, sedikit terkejut atas seranganku. Namun, dia bergerak dengan cukup cepat dan melindungi tubuhnya dengan Gada. Namun, karena seranganku mendadak, Shanna pun terpisah dari papan selancarnya.