I am No King

Ren Igad
Chapter #122

Arc 4 Ch 15 - Berita Duka

Hah?

Aku terbangun. Tampaknya efek obat bius dan obat tidur yang diberi Yuan sudah habis. Aku beruntung karena badanku sudah tidak merasakan sakit. Namun, entah kenapa, dadaku terasa begitu sesak.

Aku melihat ke seluruh ruangan. Tidak ada seorang pun di tempat ini, aku sendirian. Di kanan, meja yang terletak di antara sofa, tersaji banyak makanan dan minuman. Aku rasa mereka khawatir aku akan kelaparan saat bangun seperti sebelumnya. Dan, benar, aku memang benar-benar lapar. Perutku terasa kosong, keroncongan.

Namun, meski perut kosong dan keroncongan, bahkan berbunyi, entah kenapa aku tidak memiliki nafsu makan sama sekali.

Aku bangkit dan menuju kamar mandi. Mungkin, setelah mengusap wajah dengan air, aku bisa lebih segar dan membangkitkan nafsu makan.

Eh? Kenapa pipiku lembap? Bukan hanya lembap, mataku tampak begitu merah. Padahal, seharusnya, aku bukan tipe dengan mata merah total saat bangun. Selain merah, aku juga menyadari kalau kedua mata bengkak. Ada apa ini?

"Gin?"

Suara Inanna terdengar dari kamar. Aku pun keluar dari kamar mandi untuk menemuinya.

"Ada apa?"

Inanna sedikit terentak bahkan mundur satu langkah ketika melihatku. Kenapa dia begitu terkejut? Bahkan, dia tidak melihat ke mataku. Inanna justru menoleh ke kanan kiri.

Selain Inanna, aku merasakan keberadaan orang ini di luar kamar ini. Namun, karena hanya Inanna yang masuk, aku akan mengabaikan mereka.

"Ada apa?"

"Ah, um, kamu pasti lapar, kan? Bagaimana kalau kamu makan dulu?"

"Iya sih, aku lapar. Tapi....entahlah. Aku tidak nafsu makan."

"Tidak nafsu makan...? Ta-tapi, kamu harus tetap makan. Ayahmu bilang kamu harus makan untuk memulihkan semua stamina yang terkuras. Aku temani deh. Makan ya?"

"Baiklah kalau kamu memaksa,"

Aku menurut dan mulai makan. Sesuai ucapannya, Inanna menemani makan. Namun, meski makan bersama, mata kami tidak pernah bertemu. Meskipun bertemu, Inanna akan langsung mengalihkan pandangan.

Setelah beberapa saat, kami pun selesai makan.

"Inanna, apa kamu masih khawatir dengan penampilanmu?"

"Eh? Kenapa kamu berpikir seperti itu?"

"Kamu terus menghindari tatapanku?

"Ah...hahaha, itu ya. Tapi, bukan kok. Aku sudah tidak terlalu mengkhawatirkan penampilanku. Yah, sebenarnya masih sedikit khawatir. Tapi, aku sedang berusaha untuk menekannya. Dan lagi, kan aku bisa melakukan operasi wajah untuk menghilangkan bekas luka ini. Jadi, rasanya, aku tidak perlu terlalu khawatir."

Perempuan ini, seharusnya, jauh lebih ahli dalam berbohong daripada Emir. Namun, Inanna yang terus menghindari tatapanku memberi indikasi dia tidak ingin berbohong. Lalu, tidak biasanya dia memberi jawaban panjang lebar untuk pertanyaan yang tidak berhubungan dengan sains atau penelitian seperti barusan.

"Apa ada yang ingin kamu sampaikan?"

"Itu...."

"Kabar buruk?"

"...."

Inanna terdiam. Dia tidak memberi jawaban, hanya menundukkan kepala.

"Kalau kamu tidak mampu menyampaikannya, mungkin akan lebih baik kalau aku bertanya pada–"

"Tidak!" Inanna menyela. "Biar aku yang mengatakannya."

Inanna menarik nafas dan menegakkan badan. Akhirnya, dia menatap mataku dalam-dalam, tidak menghindar lagi.

"Gin, aku ingin kamu sabar dan tabah menerima berita ini."

Aku terdiam, menanti kabar buruk yang akan disampaikan oleh Inanna.

"Gin, Mari tewas kemarin malam."

"....Ah, sebentar. Apa aku salah dengar? Sebentar! Mungkin telingaku belum berfungsi sepenuhnya karena aku baru bangun. Sebentar....."

Aku memasukkan jari ke telinga dan beberapa kali memukulnya pelan, memastikan semua berjalan dengan normal.

"Baik, bisa tolong ulangi?"

Inanna menarik nafas dalam, "Gin, Mari tewas kemarin malam."

Ah, tampaknya telingaku masih salah. Yah, telingaku pasti masih–

"Gin?"

Tidak...mungkin....

Seluruh tenaga seolah meninggalkan tubuh. Untuk membuat tubuh ini tetap duduk, rasanya begitu berat dan sulit. Tubuhku terasa begitu lemas

"Mari...tewas? Tidak...aku...tidak..."

Aku hanya bisa menunduk, menatap lantai. Tampaknya, tubuhku menyadarinya. Ya, benar, tubuhku menyadarinya. Bahkan, mungkin, perasaanku sudah mengetahui hal ini. Jadi, mata bengkak dan pipi lembap itu adalah karena aku menangis ketika tidur. Perasaan sesak di dada ini juga membenarkannya.

Jadi, meskipun logikaku ingin menolak ucapan Inanna, sayangnya, tubuh dan perasaan ini sudah mengetahuinya.

"Maaf, Gin, maaf. Tapi, kamu harus menerimanya. Mari.... sudah tiada."

Aku tidak percaya. Aku sangat tidak ingin percaya. Namun, aku bisa melihat seluruh tubuh Inanna yang bergetar. Ya. Dia bergetar....atau tidak? Setelah beberapa saat, aku menyadari tubuhku lah yang bergetar, memberi ilusi seolah tubuh Inanna yang bergetar.

Tidak! Aku harus menahannya. Aku tidak boleh menangis di depan anggota Agade. Aku tidak boleh menangis di depan Anggota Agade. Tidak boleh menangis.

Tidak...

Tidak...

"Gin!"

Tanpa aku sadari, Inanna sudah duduk di sebelah. Dia langsung menarik kepalaku dan membenamkannya di dadanya.

"Menangislah, Gin. Tidak akan ada yang melihat. Tidak akan ada yang akan menyalahkanmu."

"Tapi....tapi...."

"Sebelum menjadi anggota Agade, aku adalah calon istrimu. Aku memiliki hak sekaligus kewajiban untuk mengemban beban dan kesedihanmu di saat seperti ini. Menangislah, Gin. Menangislah."

Di saat itu, semua momenku bersama Mari terlintas. Ketika pertama bertemu, ketika dia masih menyandang nama Hanna. Mari adalah anak yang terkesan acuh tak acuh. Namun, sebenarnya, hanya wajahnya yang ketus. Mari memiliki banyak ketertarikan. Dia hanya tidak pandai menunjukkannya. Dirinya lebih sering menahan diri.

Setelah dijual oleh Bana'an, aku menemukan Mari di kamp pelatihan organisasi pasar gelap. Aku masih ingat suaranya yang pelan, serak dan hampir habis, memanggilku. Bahkan, setelah itu, walaupun aku memberinya jalan untuknya menempuh hidup baru, Mari menolak. Dia lebih memilih untuk berlatih di bawahku, membantuku mencari anak-anak yang lain.

Lihat selengkapnya