I am No King

Ren Igad
Chapter #123

Arc 4 Ch 16 - Terima Kasih

Tok tok

"Masuk!"

Aku berteriak dari balik meja, mempersilakan siapa pun yang mengetok pintu.

Sudah tiga hari sejak Mari dimakamkan. Operasi Hurrian pun berjalan lancar. Dia akan hidup. Namun, aku tidak yakin apakah setengah lumpuh masih bisa dibilang hidup.

Saat ini, aku berada di kantor, sendiri. Meski ingin bersedih karena kematian Mari dan tragedi menimpa Hurrian, aku masih memiliki banyak pekerjaan dan musuh. Masih ada Quetzal, Orion, dan juga Ukin. Selain itu, aku juga harus segera menemukan Weidner dan Shanna. Aku tidak mau nyawa mereka melayang karena keterlambatanku.

Aku membaca semua dokumen mengenai pergerakan Quetzal dan Orion. Tampaknya, aliansi oposisi telah kandas karena Quetzal mengakuisisi bangunan vital Apollo. Dan, meskipun, mungkin, sebenarnya yang dilakukan Quetzal disebabkan oleh masalah pribadi dengan Apollo, Orion tidak bisa mempercayai organisasi yang menusuk rekannya dari belakang begitu saja.

Di lain pihak, aku belum mendapatkan info mengenai pergerakan Ukin, Maila, dan juga Fahren. Terakhir aku mendengar kabar adalah ketika Ukin mengirim kurir untuk menyatakan gencatan senjata. Padahal, aku sempat mengira kalau mereka akan menggunakan Fahren untuk menumbangkan posisiku dan menyelamatkan Permaisuri Rahayu yang tampak disandera. Tampak.

"Gin,"

Yuan membuka pintu. Terlihat dia mendekap sebuah laporan tebal.

Maaf ya Yuan, aku melimpahkan pekerjaan pembagian aset Apollo dan ganti rugi rumah sakit ayah padamu.

"Tolong jangan minta maaf. Ini sudah pekerjaanku sebagai asistenmu."

"....aku tidak mengatakan apa pun."

"Aku bisa melihatnya dari wajahmu."

Hah? Benarkah? Aku cukup yakin sudah memasang poker face. Perempuan ini, Yuan, hampir setajam Emir, Inanna, dan Mulisu. Padahal, dia baru mengenalku.... dua bulan? Atau tiga bulan? Entahlah. Intinya, dia mengenal paling singkat tapi sudah mampu membaca apa yang tersembunyi di balik poker faceku.

"Oke, kita abaikan itu. Jadi, ada apa?"

"Ada yang ingin menemuimu. Dan, menurutku, kamu harus menerimanya."

Dia benar-benar bisa membaca pikiranku yang bermaksud menolak tamu tidak diundang ini. Kalau sudah seperti ini, tidak mungkin juga aku menolaknya.

"Baiklah. Persilakan dia masuk."

Yuan melangkah minggir dan menahan pintu.

Dari pintu, terlihat sebuah sosok perempuan remaja berambut hitam panjang dikepang samping. Dia Mengenakan kaos V-neck biru muda dengan rok panjang. Benar-benar penampilan yang tampak murni, pure, dan langka. Aku penasaran kapan terakhir kali melihat perempuan berpenampilan seperti ini.

"Aku sudah membuat pesanan pada OB untuk membuatkan minuman dan mengantarkannya ke sini." Yuan mengalihkan pandangan ke perempuan itu. "Maaf, saya terpaksa pergi."

"Ah, ya. Terima kasih banyak, Bu."

Aku bisa melihat pelipis Yuan yang sempat berkedut. Namun, dia tidak mengatakan apa pun dan pergi meninggalkan ruangan. Tampaknya, dia terkejut, dan terganggu, karena dipanggil Bu.

"Maaf, apa aku mengganggu."

Aku langsung berdiri dari kursi kerja dan pindah ke sofa. "Ah, tidak apa. Santai saja. Silakan duduk di sofa."

Sebenarnya, ya, kamu mengganggu. Namun, entah kenapa, aku tidak bisa mengatakannya. Kehadiran perempuan ini terasa begitu familier. Namun, aku tidak mengenal wajahnya. Siapa perempuan ini?

Kami berdua pun duduk berhadapan, dipisahkan oleh meja kaca rendah.

"Jadi, ada apa? Atau mungkin, maaf, apa saya mengenal Anda?"

Perempuan ini tersenyum masam, "tampaknya ucapan Hanna benar. Kak Lugalgin benar-benar tidak memeriksaku lagi semenjak operasi wajah itu selesai. Atau aku harus memanggilnya Mari?"

Begitu perempuan ini mengatakan hal itu, aku mengerti kenapa kehadirannya terasa begitu familier. Dia adalah salah satu anak panti asuhan Sargon. Dan, seperti ucapannya, setelah memfasilitasi mereka untuk operasi wajah dan membuat identitas baru, aku tidak menemuinya lagi, memberi jarak antara kami agar dia tidak terseret ke masalah lain.

Yang bisa kulakukan hanyalah menyewa informan untuk mengetahui kabarnya dan menggunakan jasa kurir untuk mengirimkan uang padanya setiap bulan.

"Aku dengar Apollo sudah hancur. Dan, Weidner dan Shanna juga sudah tewas, bersamaan dengan kabar salah satu anggota elite Agade tewas."

Aku tidak mendengar semua ucapan perempuan ini. Telingaku berhenti aktif ketika dia mengatakan Weidner dan Shanna juga sudah tewas. Apa tidak salah?

Dan, tampaknya, kali ini, aku tidak mampu mempertahankan poker face.

"Dari reaksi Kak Lugalgin, tampaknya, Mari telah menepati janjinya untuk membendung segala informasi mengenai Weidner dan Shanna. Jujur, aku tidak tahu harus senang atau khawatir melihat hal ini."

Tunggu dulu! Membendung informasi mengenai Weidner dan Shanna? Mari berjanji melakukan hal itu? Kenapa?

Seketika itu juga, semuanya terhubung di otakku. Bahkan, orang normal pun sudah bisa menduga-duga kenapa Mari membendung informasi mengenai mereka berdua atau kenapa anggota elite Agade meminta agar aku menunggu Hurrian memberi laporan lengkap mengenai kematian Mari dan siapa lawannya. Ya, semuanya sudah terhubung.

Aku menunduk dan menutup wajah dengan kedua tangan. Saat ini, aku merasa begitu malu dan bersalah. Aku tidak mampu menatap perempuan di depanku ini.

"Apollo....apa kamu Lili?"

"Ya, benar...."

Ya. Dari semu anak-anak yang temukan, hanya Lili yang memiliki hubungan dengan Apollo. Organisasi tempat dia berada mengatakan mereka mendapatkan Lili dengan harga murah dari seseorang di Apollo. Dan seseorang itu adalah...

"Yang membuatmu tidak mampu memiliki keturunan.....adalah Weidner dan Shanna?"

"Sebenarnya, yang membuatku tidak mampu memiliki keturunan, dan menjualku, adalah Shanna. Weidner..." Lili terdiam sejenak. "Dia yang merenggut keperawananku dan meniduriku berkali-kali."

Seketika itu juga, tubuhku terasa begitu kaku. Di satu sisi, aku ingin marah pada Weidner dan Shanna. Di satu sisi, aku merasa begitu sedih atas apa yang menimpa Lili. Aku sama sekali tidak menduga yang merenggut keperawanan Lili dan menidurinya berkali-kali adalah Weidner, teman satu panti asuhannya sendiri.

Dan, tampaknya, baik Lili maupun Mari tahu kalau aku berusaha mati-matian untuk mencari anak-anak panti asuhan. Dan, aku bisa menduga ini juga lah yang membuat Mari membendung informasi mengenai Weidner dan Shanna. Dan, mungkin, ini juga lah yang membuat Mari ingin membunuh Weidner dan Shanna dengan tangannya sendiri.

Lihat selengkapnya