"A, apa maksudmu? Ini aku, Emir. Emir Falch Exequeror! Putri dari Raja Fahren Falch Exequeror! Salah satu klienmu!"
"Tidak mungkin." aku menolaknya mentah-mentah. "Tuan Putri Emir seharusnya berada di ruangannya saat ini, tertidur lelap karena besok dia harus menghadiri battle royale."
"I, itu...."
Aku mengeluarkan informasi yang kuketahui. Tuan Putri Emir, sebagai keluarga kerajaan, harus menghadiri battle royale, acara terpenting kerajaan yang diadakan tiga tahun sekali, besok. Tidak mungkin seorang tuan putri yang harus hadir pada acara sepenting itu keesokan harinya berada di tengah medan perang pada malam sebelumnya.
"Jawab. Siapa kau? Dan apa tujuanmu menyamar menjadi Tuan Putri Emir?"
"Apa maksudmu menyamar? Aku Tuan Putri Emir!"
Dugaanku bukan tanpa dasar. Selain alasan yang sudah kusebutkan, Tuan Putri Emir sendiri telah memperingatkanku soal penyamar. Tuan Putri Emir mengatakan kalau dia beberapa kali menangkap orang yang menyamar menjadi dirinya untuk menyelinap ke istana.
"Bohong."
Aku sedikit mengangkat lehernya lalu mendorong kepalanya ke atas beton dengan keras.
"Jawab siapa dirimu sebenarnya."
"AKU TUAN PUTRI EMIR!"
Perempuan ini masih belum mau mengaku juga. Aku benci melakukan ini pada perempuan tapi aku harus berbuat kasar.
Aku merapatkan cekikan. Begitu merasakan cekikanku merapat, perempuan ini melawan. Dia mencoba mengangkat dan menggerakkan badannya. Namun percuma, aku terus menekan tubuhnya dengan tubuhku. Dia mengarahkan pandangannya ke samping, mungkin mencoba berkonsentrasi untuk mengendalikan material yang dia gunakan sebelumnya. Di saat itu, matanya terbuka lebar dan pupilnya mengecil.
Sejak aku menyekap perempuan ini, dinding yang sebelumnya melindungi kami terjatuh ke tanah, seolah tali yang membuatnya melayang terputus. Selendang di tangan dan kakinya juga tidak melayang-layang lagi, terjatuh seperti kain biasa. Dia pasti mengira dinding dan selendangnya jatuh karena kehilangan konsentrasi. Sayangnya tidak, ini adalah kemampuanku.
Ya, ini adalah kemampuanku yang tidak diketahui oleh siapa pun bahkan oleh kedua orang tuaku. Ah, tidak, revisi. Ada satu orang yang mengetahui kemampuan ini, adikku. Kemampuanku, atau aku bilang kelainanku, adalah ketika melakukan kontak dengan seseorang atau suatu benda, maka kekuatan pengendalian tidak dapat digunakan lagi. Kalau aku menyentuh tubuh seseorang secara langsung, orang tersebut tidak akan mampu menggunakan kekuatan pengendaliannya. Kalau aku menyentuh suatu benda maka kekuatan pengendalian tidak dapat digunakan pada benda itu. Hal ini juga berlaku pada darahku.
Hal inilah yang aku lakukan pada tombak perempuan berambut hitam tadi. Begitu darahku menempel, perempuan itu sudah kehilangan kendali atas tombaknya. Dan tentu saja aku tidak akan mengatakanya pada perempuan ini.
"Apa kau terkejut karena tidak bisa melakukan pengendalian lagi? Mungkin bagian aku agen Schneider adalah kebohongan, tapi bagian kami menemukan cara untuk menghentikan pengendalian adalah tidak. Dan ya, kami juga mampu menghilangkan kekuatan pengendalian seseorang, seperti yang sekarang sedang terjadi padamu."
"Ti, tidak mungkin..."
Aku menekankan kata kami untuk memberikan kesan kalau ada orang dan tim lain yang bergerak di belakangku.
Aku bisa merasakan tubuhnya yang bergetar. Tidak lama kemudian, dia semakin kuat meronta, mencoba melepaskan diri dariku. Aku terus menekannya dengan tubuhku. Dia pasti putus asa dan panik ketika mengetahui kekuatan pengendaliannya hilang.
Tentu saja perempuan ini panik. Bagi orang normal, kekuatan pengendalian sudah seperti bagian tubuh. Tidak. Bahkan, kekuatan pengendalian lebih penting dari sekedar bagian tubuh. Kekuatan pengendalian sudah seperti nafas bagi orang normal.
"Kalau kau mengatakan yang sebenarnya, mungkin kami akan membiarkanmu pergi hidup-hidup."
Menggunakan kata kami adalah keputusan yang tepat. Kalau perempuan ini pergi dan berpikir untuk balas dendam, dia akan berpikir dua kali. Dia akan berpikir ada suatu kelompok yang mendukungku. Dia tidak akan bisa melancarkan balas dendamnya tanpa mengetahui identitas kelompok di belakangku. Dan perempuan ini tidak akan pernah mengetahuinya karena tidak ada kelompok apapun di belakangku.
"KATAKAN! SIAPA KAU?"
"AKU TUAN PUTRI EMIR!"
Perempuan ini terus dan terus meronta. Dia semakin putus asa untuk melepaskan diri dariku.
Aku langsung mengambil pisauku dengan tangan kanan yang masih bebas dan membukanya.
Begitu dia melihat pisauku, dia tidak meronta lagi. Kini, tubuhnya hanya bergetar. Aku bisa melihat air mata di ujung kedua kelopaknya. Tampaknya pisauku membawa efek yang cukup besar.
Kenapa aku tidak percaya kalau dia Tuan Putri Emir meskipun dia bersikeras? Mudah saja. Dia tidak mengucapkan kalimat itu ketika melihat wajahku. Kalimat itu semacam password yang Tuan Putri Emir dan aku sepakati ketika kami bertemu untuk pertama kalinya. Tuan Putri Emir bilang, kalau dia tidak mengatakannya, maka besar kemungkinan yang bertemu denganku bukanlah dirinya, tapi peniru.
"Katakan siapa kau atau aku akan menancapkan pisau ini di kepalamu. Dan bisa aku pastikan kau akan tewas."
"A-aku...aku...Putri Emir."
Jawabannya terbata-bata, antara dia panik melihat pisau ini atau mulai berpikir untuk mengatakan identitasnya yang sebenarnya.