I am No King

Ren Igad
Chapter #5

Arc 1 Ch 4 - Citra

"Baiklah, sebelum aku menjelaskan mengenai kemampuanku, aku ingin bertanya satu hal."

"Apa itu?"

Tuan Putri Emir membalasku dengan posisi masih tiduran di atas jalan. Aku? Masih duduk di sebelahnya.

"Bagaimana kita akan pergi dari sini? Tidak, biar aku ganti pertanyaanku. Bagaimana aku bisa pergi dari sini? Jalannya sudah hancur. Aku berani bertaruh di depan sana jalanan pasti juga sudah hancur kan?."

"Ah, iya. Kamu benar juga. Dan lagi,"

Tuan putri Emir kembali melihat ke celananya. Ketika melihatnya, dia berusaha menahan agar air matanya tidak keluar lagi.

"Lugalgin, apakah di rumahmu ada orang?"

"Ya, tentu saja ada. Ada ayah, ibu, dan adikku. Mereka bertiga besok datang memenuhi undangan untuk acara battle royale, kan?"

"Mereka?" Emir mengernyitkan dahi. "Kamu tidak datang?"

"Tidak," Aku menjawab cepat. "Sebenarnya, aku mau menggunakan pesta kelulusan malam ini dan perjalananku keliling kota ini sebagai alasan. Rencananya, aku akan beralasan kalau kecapekan dan lebih memilih untuk istirahat di rumah."

"Ohh," Emir hanya memberi respon singkat. "Aku ingin sekali mendengar penjelasan mengenai kemampuanmu, tapi citraku jauh lebih penting. Aku tidak mau ada orang istana melihatku dengan celana basah seperti ini."

Meski harga dirinya sudah hancur di depanku, Tuan Putri Emir masih berusaha menyelamatkan harga dirinya di depan orang lain.

Sebenarnya ada cara mudah untuk melakukannya. Aku hanya perlu melemparkan Tuan Putri Emir ke sungai atau kolam terdekat.

Tapi...

Aku melihat ke arah Tuan Putri Emir. Kalau aku melemparnya, aku akan terlihat sangat lancang dan kasar. Tidak. Bahkan saran ini saja sudah lancang dan kasar. Meskipun dia sudah bilang untuk membuang semua formalitas, aku masih tidak mampu melakukannya sepenuhnya. Masih ada ketakutan akan hukuman yang mungkin datang.

"Tuan–"

"HAH?"

"Emir."

Aku langsung merevisi panggilan ketika Tuan Putri Emir meninggikan suara. Hah, apa boleh buat, akan kubuang semua formalitas itu.

"Untuk menjaga citramu, sebenarnya, cukup sederhana. Kamu lompat saja ke sungai atau kolam–"

"Dan lalu pulang dalam keadaan basah kuyup?" Tuan Putri Emir menyela. "Kamu bercanda kan? Bisa-bisa besok aku sakit dan tidak bisa hadir."

"Ah, iya juga."

Aku lupa kalau dia bisa sakit.

"Tapi, kalau kita berlama-lama di sini, bau di celana dan pakaian ignimu malah akan semakin kuat dan susah dihilangkan. Setidaknya kita harus segera mencari jalan keluar soal pakaianmu."

"Uhh... iya juga."

Aku kembali melihat ke arah Tuan Putri Emir, melihat baik-baik tubuhnya. Ah, tidak mungkin. Tubuhnya jauh lebih besar dari tubuh Ninlil, jadi tidak mungkin. Namun, mungkin, aku bisa melakukan sesuatu.

Aku melepaskan helm dan meletakkannya di atas dada Tuan Putri Emir.

"Emir, aku akan melakukan sesuatu soal citramu. Sementara itu, pakai helm ini agar tidak ada yang mengenalimu."

"Baiklah."

Tuan Putri Emir akhirnya berdiri.

Aku berjalan menuju sepeda motor dan menyalakannya. Tanganku masih sedikit perih karena sayatan pisau tadi, tapi setidaknya darahnya sudah berhenti mengalir.

"Ah, iya, aku baru ingat."

Aku kembali berjalan ke arah Tuan Putri Emir dan mengeluarkan pisau. Tuan Putri Emir yang melihatku datang dengan pisau langsung mundur.

"Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya akan memotong kain igni yang ada di lehermu. Selain itu, aku juga harus membersihkan darahku yang menempel di lehermu. Kalau darahku masih menempel di kaos igni dan kulitmu, kamu tidak akan bisa menggunakan pengendalian."

"Bi-biar aku saja yang melakukannya. Berikan saja pisaunya."

"Oke."

Aku menurut dan memberikan pisauku.

Tuan Putri Emir meletakkan helmku di atas jalan dan mulai memotong kain igni yang ada di lehernya. Tampaknya, dia masih trauma dengan pemandangan aku memegang pisau.

Lihat selengkapnya