Akhirnya ayah, ibu, dan Ninlil sudah berangkat untuk menghadiri acara di istana. Meski semalam aku pulang larut, mungkin lebih tepatnya pagi, ibu tidak mengomel. Mungkin ibu berpikir setelah pulang dari pesta di sekolah, aku menghadiri pesta lain di rumah teman.
Dan lalu, aku, dengan menggunakan alasan kecapekan karena pesta, berhasil menetap di rumah untuk tidur tanpa perlu melakukan kegiatan apapun. Yah, itu rencana awalnya. Namun karena ada pekerjaan tambahan dari Emir, aku terpaksa menyisihkan jadwal yang itu. Sekarang, aku mencari cara mencuci pakaian di internet.
Aku menggunakan komputer di atas meja belajar. Komputer ini bukanlah komputer antik, melainkan komputer normal yang biasa ditemui. Sebuah kotak seukuran bungkus rokok yang menampilkan proyeksi ke dinding untuk layar. Keyboardnya juga proyeksi di atas meja.
Kamarku adalah sebuah kamar yang bisa dibilang standar. Kamar ukuran 4 x 3 meter dengan kasur queen size, lemari logam, meja belajar, dan sebuah jendela yang terhubung dengan balkon.
Rumah kami juga bisa dibilang standar. Kalau dibandingkan dengan rumah saudara dari keluarga Alhold lainnya, rumah kami terlihat seperti gubuk. Sebuah rumah dua lantai terbuat dari aluminium alloy sebagai bahan dasar. Di lantai satu ada ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi lengkap dengan mesin cuci dan pengering, dan satu ruang tamu. Di lantai dua ada tiga kamar tidur. Satu kamar tidur yang paling besar yang adalah milik ayah dan ibu. Kamarku dan Ninlil bersebelahan dan kamar ayah dan ibu di seberang, dipisahkan oleh tangga.
Pakaian igni, jaket, dan celana yang Emir gunakan sudah aku cuci dan kini sedang berada di dalam mesin pengering. Yang sekarang aku cari adalah cara mencuci pakaian dalam. Kalau seandainya keluargaku pulang dan melihat di dalam kamarku ada satu set pakaian dalam perempuan, aku tidak tahu apa komentar mereka. Mungkin mereka akan menjaga jarak dariku. Tidak, mungkin mereka akan langsung mengirimku ke psikiater atau psikolog untuk melakukan terapi.
Aku tahu Emir sudah memberi tahuku cara untuk mencucinya, tapi itu tidak cukup informatif. Dia hanya mengatakan garis besarnya. Aku tidak tahu apakah cara mencucinya direndam dengan detergen dulu atau tidak, berapa rasio air hangat, atau yang lainnya. Dan, apalagi, pakaian dalam ini adalah milik Tuan Putri, keluarga kerajaan. Pakaian dalam ini pastilah barang mahal yang membutuhkan cara mencuci khusus.
Dan benar saja! Akhirnya, aku sampai di website produsennya. Hmm, direndam dengan air hangat kira-kira 40 derajat sebanyak 20 liter yang telah dicampur dengan satu genggam detergen selama 30 menit. Setelah direndam, kain digosok perlahan dengan menggunakan tangan. Pastikan menggunakan sarung tangan plastik ketika menggosok untuk memastikan permukaannya tetap halus. Bilas dengan air hangat dengan suhu yang sama sampai tiga kali. Jangan dikeringkan dengan menggunakan mesin pengering. Harus dikeringkan di bawah sinar matahari sampai kering. Jangan terlalu lama menjemurnya karena akan membuat kainnya berbulu.
Ung, tunggu dulu! Dikeringkan di bawah sinar matahari? Kalau aku mengeringkannya di tempat jemuran pakaian belakang rumah, ada kemungkinan aku akan ketiduran. Kalau ayah, ibu, dan Ninlil pulang ketika aku ketiduran dan melihatnya, aku akan diinterogasi habis-habisan.
Aku melihat ke samping kanan, ke sebuah jendela berukuran 2 x 2 meter. Tampaknya aku masih cukup beruntung karena ruanganku memiliki balkon yang terpisah dari balkon Ninlil. Ya, aku akan menggunakan balkon untuk menjemurnya.
Oke!
Dengan menggunakan tali yang aku ikat pada dua kursi, sekarang, pakaian dalam Emir sedang dalam proses pengeringan. Di atas meja belajar, pakaian igni, jaket, dan celana Emir yang sudah kering dan disetrika telah terlipat rapi. Tinggal menunggu pakaian dalamnya kering dan tugasku pun selesai untuk hari ini.
Ahh. Saatnya tidur. Dengan pikiran itu, aku merebahkan tubuh di atas kasur.
Tring tring tring
Ung? Siapa yang meneleponku? Apa mereka melupakan sesuatu? Atau temanku?
Kenapa aku tidak berpikir ini dari klienku? Karena nada deringnya standar bawaan, berarti ini bukan dari klienku. Kalau yang meneleponku adalah klien, akan terdengar sebuah adalah sebuah alunan lagu jazz klasik atau rock, tergantung dari siapa.
Dengan setengah hati, aku berjalan menuju meja belajar.
Ung? Sebuah nomor yang tidak aku kenal. Aku menjadi waspada. Aku membuka laci di bawah meja belajar dan mengambil smartphone yang satu lagi, mencoba mengecek nomor telepon ini. Tidak ada. Lalu, aku mengambil handphone model candybar untuk mengecek nomor lagi. Tidak ada juga. Lalu siapa yang meneleponku?
Ahh, kali orang salah sambung. Aku abaikan saja.
Aku menekan tombol silent di layar dan kembali ke atas kasur. Baru saja merebahkan tubuh di atas kasur, smartphoneku kembali berbunyi. Aku berjalan dan melihat nomor yang sama menghubungi kembali. Kalau orangnya menelepon lagi, mungkin dia benar-benar ada keperluan denganku.
Aku menekan tombol angkat dan smartphone ini membuat sebuah proyeksi di dinding, dimana layar komputerku sebelumnya berada. Aku duduk di kursi di depan meja belajar untuk menghadap ke penelepon.
[LAMA BANGET NGANGKATNYA!]
Tiba-tiba sebuah teriakan, atau lebih tepatnya bentakan, muncul di layar. Aku yang mendengar bentakan itu refleks langsung mundur. Di layar itu, aku melihat sebuah sosok perempuan mengenakan gaun dan bando berwarna putih, sebuah gaun yang entah berapa lapis. Gaun putihnya hampir menyatu dengan warna kulitnya yang berwarna putih salju. Di belakangnya, terlihat rambut merah membara yang terburai.
"Tu-Tuan Putri Emir? Kalau boleh saya tahu, ada keperluan apa sehingga saya mendapatkan kehormatan untuk menerima telepon langsung dari Tuan Putri?"
[Sudah, gak usah formalitas. Saat ini ga ada orang lain selain aku. Tempat dudukku juga terpisah dari sopir, jadi dia ga bisa dengar.]
Akhirnya aku bisa membuang formalitasku. Normalnya kalau kejadian semalam, dimana dia memberiku pakaian dalamnya untuk dicuci, aku mungkin masih sedikit sungkan dan ragu untuk membuang formalitas. Namun, karena kejadian itu, aku jadi kehilangan semua hormatku padanya. Sekarang, di pandanganku, dia hanyalah cewek tomboi.
"Baiklah. Jadi, ada perlu apa? Tunggu! Sebelum itu, dari mana kamu mendapatkan nomor telepon ini? Seharusnya kamu hanya mengetahui nomor teleponku yang lain. Dan ini, nomor telepon siapa?"
[Hehe, tadi aku bertemu dengan adikmu dan meminta nomor teleponmu. Dan ini nomor telepon pribadiku. Cuma teman dekat dan keluargaku yang tahu.]
"Woi! Gapapa nih kamu meneleponku menggunakan nomor ini?"
[Gapapa, santai saja. Adikmu juga sudah kuberi nomor telepon ini kok.]
Ahh, orang ini. Dia terlalu mengentengkan segala hal. Meski aku sudah tidak menganggapnya sebagai Tuan Putri lagi, tapi kalau dia adalah seorang Tuan Putri sama sekali tidak berubah. Dia harus lebih berhati-hati dengan hal seperti ini.
"Lalu? Ada perlu apa? Bukankah seharusnya kamu berada di istana? Menghadiri battle royale? Kok kamu berada di dalam mobil?"
[Tenang saja, acara intinya masih nanti sore, sekitar jam lima, kok. Masih sempat untuk menjemputmu. Sekarang, aku sedang dalam perjalanan menuju rumahmu.]
Hah?