Aku dan Tuan Putri Yurika kembali ke ruang tamu dimana perdebatan antara ibu dan Yang Mulia Paduka Raja masih berlanjut. Aku menuangkan teh ke semua cangkir yang ada di meja itu dengan dibantu oleh Tuan Putri Yurika.
"Maaf ya, suamiku membuat kerusuhan di rumahmu di hari minggu ini."
"Tidak, tidak apa. Justru kami merasa terhormat karena keluarga kerajaan sudi mampir ke rumah sederhana kami."
Permaisuri Rahayu mengungkapkan permintaan maafnya. Meskipun sang ibu meminta maaf, tapi ketiga putranya masih melihatku dengan pandangan dingin. Aku paham kalau kalian merasa aku sudah merebut saudari kalian, tapi apa kalian tidak berlebihan? Kalau begini terus, aku jadi berpikir kalau kalian memiliki sister complex.
Setelah selesai, aku pun duduk di kursi yang sama seperti sebelumnya. Dan seperti sebelumnya, Emir masih menunduk dengan wajah merah.
"Hey, Emir, coba minum teh ini dulu. Teh ini akan menenangkanmu."
Meski aku mengatakannya, Emir tetap tidak bergerak. Dia masih menundukkan kepalanya tanpa memberi respon.
"Wah, teh ini benar-benar lembut. Memberikan perasaan yang menangkan. Teh apa ini? Aku belum pernah meminumnya."
Di lain pihak, permaisuri Rahayu justru memuji teh buatanku dan bertanya tentangnya.
"Itu adalah teh Alpine. Sejauh yang aku tahu, teh herbal tidak pernah dihidangkan di kalangan kerajaan dan bangsawan, jadi mohon maaf kalau seandainya tidak sesuai dengan lidah keluarga kerajaan."
Ya, benar sekali. Keluarga kerajaan dan bangsawan yang lebih suka meminum teh murni tanpa campuran apapun, tidak akan pernah meminum teh herbal seperti ini. Meskipun kadang ada beberapa klien bangsawanku yang meminta untuk membelikan mereka teh herbal, tapi itu di luar catatan. Keluarga kerajaan dan bangsawan tidak diperbolehkan terlihat meminum teh campuran seperti teh herbal. Mereka memiliki citra untuk dijaga.
"Huh, teh seperti ini memang layak untuk kalian rakyat jelata yang tidak bisa memahami kelezatan teh murni."
Maxwell, rasanya aku sulit menerima ucapanmu kalau kamu mengatakannya sambil minum tehnya.
"Teh alpine memiliki efek menenangkan pikiran. Teh ini selalu aku minum kalau sedang stres atau ada masalah yang cukup berat."
Ketika aku mengatakannya, aku menoleh sedikit ke arah ibu, Yang Mulia Paduka Raja, dan Emir.
Ya, aku membutuhkan teh ini untuk menenangkan pikiranku, memastikan diriku tidak termakan emosi.
"Menenangkan pikiran ya, mungkin teh ini akan cocok untuk orang-orang istana yang mengurus dokumen kerajaan setiap harinya."
Aku hanya tersenyum pada ucapan Tuan Putri Yurika. Seperti biasa, dia benar-benar memainkan logikanya sampai maksimal. Tapi tentu saja, dia mengatakan itu tanpa maksud apapun. Dia tahu benar kalau teh herbal tidak akan bisa diterima di kalangan kerajaan.
"LUGALGIN!"
Tiba-tiba saja sebuah panggilan muncul. Yang memanggilku bukan hanya ibu, tapi juga Yang Mulia Paduka Raja. Mereka memanggilku secara bersamaan. Kalau saja mereka mau meminum teh ini, mungkin keadaan bisa lebih tenang. Tapi, tampaknya, menginginkan mereka meminumnya kurasa terlalu berlebihan.
"Katakan, apa yang kamu lihat dari pada perempuan ini!"
"Jelaskan pada ibumu apa yang membuat Emir pantas menjadi istrimu!"
Dan akhirnya pandangan seluruh orang di ruangan ini jatuh padaku.
Ahh... aku terdiam sejenak sambil meminum teh di tanganku. Aku memejamkan mataku sejenak, mencoba memikirkan apa yang ingin kukatakan. Kalau aku mau mengatakan jujur, saat ini, aku hanya melihat Emir sebagai perempuan tomboi yang mungkin tidak bisa melakukan pekerjaan rumah dengan baik.
Karena selama ini Emir hidup di istana, besar kemungkinan dia tidak mandiri dan membutuhkan pelayan untuk membantu melakukan semua hal. Belum lagi dia belum pernah merasakan hidup sebagai rakyat jelata. Aku ragu dia bisa bertahan kalau dibiarkan sendirian. Tapi, kalau aku mengatakan hal itu, ibu pasti akan merasa menang dan mengatakan pada Yang Mulia Paduka Raja kalau perempuan seperti itu tidak cocok menjadi istri seorang rakyat jelata.
Kalau aku mengatakan itu semua, aku merasa kasihan pada Emir, dan aku juga merasa bersalah pada Tuan Putri Yurika. Kalau aku pikir-pikir, sebenarnya, aku tidak merasa bersalah pada Tuan Putri Yurika. Daripada merasa bersalah, aku lebih merasa terancam pada Tuan Putri Yurika. Dari percakapanku dengan Tuan Putri Yurika sebelumnya, aku yakin Tuan Putri Yurika ingin aku membayar hutangku dengan menjadi suami Emir. Kalau aku menolaknya, entah apa yang akan dia ajukan untuk aku membayar hutang itu.
Kalau aku boleh menilai, Tuan Putri Yurika memiliki kepribadian yang lebih cocok untuk menjadi istri. Dia tenang dan pikirannya rasional, tidak meledak-ledak dan temperamen seperti Emir. Namun, itu hanya sebatas kepribadiannya. Aku berani bertaruh dia tidak akan bisa melakukan pekerjaan rumah dengan baik, sama seperti emir.
Yah, tidak ada fungsinya juga aku berpikir demikian. Tuan Putri Yurika tidak akan pernah mundur dari posisi bangsawan, dan aku pun tidak ada niat untuk menjadi bangsawan. Jadi, selamat tinggal Tuan Putri Yurika. Bye bye.
Kembali ke topik utama. Kalau aku mengatakan pikiranku begitu saja, Yang Mulia Paduka Raja pasti tidak akan terima dan terus memaksaku. Di lain pihak, kalau aku memihak Yang Mulia Paduka Raja, ibu lah yang akan terus mengeluarkan penolakan. Tampaknya aku harus mengajukan jalan tengah.
"Sebelum aku mengatakan pendapatku, aku meminta semua pihak mendengarkan semua ucapanku, mulai dari awal sampai akhir, dengan kepala dingin dan pikiran terbuka. Bagaimana?"
"Ya Gin, tentu saja kami akan melakukannya."
"Hahaha, tentu saja kami akan mendengarkannya baik-baik."
Ibu, Yang Mulia Paduka Raja, nada kalian yang menekan tidak sejalan dengan kalimat kalian. Aku menghabiskan teh di cangkirku dan meletakkannya di atas meja. Sebelum aku memulai penjelasanku, aku menuangkan teh lagi ke cangkirku.
"Kalau aku melihat Emir, meskipun aku bisa melihat dia tidak cocok menjadi keluarga kerajaan, tapi tidak bisa dipungkiri dia mendapatkan perlakuan sebagai keluarga kerajaan. Dan aku bisa bilang dia pasti belum bisa mandiri karena semua hal itu. Sekarang, dia hidup sebagai seorang rakyat jelata seperti kami. Dan sebagai rakyat jelata, kami lebih sering melakukan pekerjaan rumah seperti bersih-bersih rumah, mencuci pakaian, dan lain sebagainya sendiri, tanpa ada bantuan pelayan. Dari hal ini, aku bisa bilang Emir belum siap untuk itu semua."
Sementara aku memberikan pernyataanku, ibu menyeringai dan melemparkan pandangan pada Yang Mulia Paduka Raja. Di lain pihak, Yang Mulia Paduka Raja hanya menggertakkan giginya, merasa kalah.
"Kalau aku boleh mengajukan ide, mungkin proses lamaran ini bisa ditunda dulu hingga Emir siap untuk menjadi seorang istri dan ibu."
"Tuh, dengar sendiri kan apa kata putraku? Putrimu belum siap menjadi seorang istri dan ibu."