I am No King

Ren Igad
Chapter #16

Arc 2 Ch 2 - Kenyataan Pahit

Tunggu dulu!

Tuan Putri Jeanne dan Emir adalah agen schneider? Ah... apa aku tidak salah dengar? Apa ini berarti mereka adalah mata, kaki, dan tangan Yang Mulia Paduka Raja?

"Jujur, sulit untukku memercayainya."

"Kenapa sulit?"

Emir justru bertanya padaku.

"Kalau kamu memang agen schneider, saat itu, kenapa kamu sempat percaya ketika aku bilang aku adalah agen schneider?"

"Ah, itu..."

Emir tidak memberikan jawaban. Dia hanya tersenyum masam dan melempar pandangan.

"Sebentar," Tuan Putri Jeanne menyela. "Kalau yang kubaca di laporan, Lugalgin, kamu membantu Emir melumpuhkan senjata Aryhace dan lalu memberikan pakaian ganti pada Emir karena pakaiannya rusak gara-gara pertarungannya kan? Aku tidak membaca satupun hal yang memberikan keterangan kalau kamu mengaku sebagai agen schneider."

Meski aku bisa menggunakan poker face, tapi aku memilih untuk tidak menggunakannya. Jadi, aku membiarkan keterkejutanku muncul di wajah, dilihat oleh Tuan Putri Jeanne.

"Jangan bilang..." Tuan Putri Jeanne melempar pandangan dingin ke Emir. "Emir! Kamu memalsukan laporanmu?"

Ah, begitu ya. Jadi, dia memberikan laporan palsu pada Yang Mulia Paduka Raja dan agen schneider yang lain. Benar-benar agen schneider yang bisa diandalkan.

Emir, yang semakin terpojok, hanya bisa membuang pandangan. Senyum masamnya masih menempel, tapi aku bisa melihat keringatnya sudah mengalir, deras. Bahkan, di ujung matanya, terlihat sedikit air mata. Dia benar-benar panik.

Sebenarnya, aku juga ingin tahu kenapa dia memalsukan laporan itu. Namun, untuk saat ini, lebih baik aku membantunya dulu.

"Kurasa dia tidak memalsukannya. Pada dasarnya, setelah kami melumpuhkan senjata Aryhace, aku menggertaknya dengan mengaku sebagai agen Schneider."

"Menggertak?"

Tuan Putri Jeanne meminta penjelasan lebih lanjut.

"Biar aku beri cerita singkat," aku mencoba memberi penjelasan tambahan. "Aku memang membantu Emir melumpuhkan sen—"

"Tidak, tidak. Biar aku ganti ucapanku," Jeanne menyelaku. "Laporannya menyatakan, Emir tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk memukul mundur Aryhace, dan bantuanmu di malam itu adalah alasan utama Aryhace mundur."

Well, aku tidak melihat ada yang salah. Mungkin hanya kurang lengkap. Satu-satunya bagian yang jelas-jelas dipalsukan oleh Emir adalah pada bagian aku memberinya pakaian karena pakaian yang dikenakan Emir rusak. Karena yang sebenarnya, Emir tidak mau ada yang tahu kalau dia mengompol.

Tapi, itu tidak penting untuk sekarang.

"Laporan itu tidak salah," aku membenarkan ucapan Jeanne. "Malam itu, aku berhasil memukul mundur Aryhace tidak serta-merta karena aku melumpuhkan senjatanya. Setelah aku melumpuhkan senjatanya, aku mengaku sebagai agen Schneider. Selain itu, aku juga meyakinkan kalau agen Schneider lain sudah mengepungnya."

"Hah? Kamu tidak mengalahkannya? Tapi di laporan itu--"

"Aku yakin Emir tidak mencantumkannya karena dia khawatir akan mendapatkan hukuman. Maksudku, bagaimana bisa dia, seorang agen Schneider, tidak mampu membedakan mana agen Schneider yang asli atau gadungan?"

Jeanne yang mendengar ceritaku tampak semakin buas, seolah-olah dia ingin mencabik-cabik Emir.

Aku benar-benar harus melindungi calon istriku ini. Dia benar-benar tidak berdaya.

"Apa kamu pernah berhadapan dengan Aryhace?" aku kembali mengajukan pembelaan. "Apa kamu sadar betapa kuatnya Aryhace dan betapa mengerikannya senjatanya? Satu sentuhan di ujung proyektilnya dan, BOOM, sebuah ledakan muncul. Apa yang kamu harapkan?"

"Uhh... aku mengharapkan sebuah kisah heroik dimana kamu mengalahkannya dan meyelematkan Emir?"

"Ha... Ha... Lucu sekali."

Aku sedikit tertawa sinis.

"Uhh..." Tuan Putri Jeanne sedikit mundur.

"Kau! Berani-beraninya kau menghina Tuan Putri Jeanne!"

"Daripada itu." Aku mengabaikan protes Ufia. "Baik, aku tahu kalau kalian berdua adalah agen schneider. Dan kalian tidak masalah menceritakannya padaku yang, sayangnya, sudah terlibat. Tapi, bagaimana dengan perempuan ini? Apa kalian tidak masalah menceritakan hal ini di depannya?"

Yang aku maksud adalah Ufia. Jeanne dan Emir pun paham.

"KAU—"

Akhirnya, Ufia tidak mampu menahan amarahnya lagi. Dia hampir berdiri dari sofa dan mengonfrontasiku. Namun, amarahnya langsung turun ketika Jeanne mengangkat tangannya di depan Ufia. Dia tidak memiliki pilihan selain menurunkan amarahnya.

"Jangan khawatir, dia sudah ditunjuk menjadi agen schneider sejak seminggu yang lalu."

"Hah? Dia? Agen schneider? Haha, kalian kekurangan orang?"

"Apa maksudmu, dasar inkompeten? Kau, pecundang, yang menggunakan cara kotor dan licik tidak berhak mengatakan hal itu!"

Amarah Ufia sudah tidak terbendung lagi.

Aku tidak merespon amarahnya.

Aku berdiri dari sofa dan berjalan ke ujung ruangan, ke sebuah meja pendek. Aku membuka laci dan mengambil dua buah pisau yang posisinya tersembunyi. Tanpa aba-aba, aku melemparkan kedua pisau itu ke arah Jeanne dan Ufia.

Dua bilah pisau itu terbang, menembus udara, menuju tepat ke kepala Jeanne dan Ufia. Namun, kedua bilah pisau itu tidak mampu mencapai mereka berdua. Jeanne dan Emir bergerak dengan cepat. Mereka mengambil roti yang ada di atas meja dan menggunakannya untuk menghadang pisau yang kulempar.

Ngomong-ngomong, banyak senjata tersembunyi di rumah ini. Aku tidak mau tiba-tiba diserang dan tidak memiliki pertahanan sama sekali.

"Yap, sesuai dugaanku."

Emir dan Jeanne, tampaknya, mengerti tujuanku. Mereka hanya terdiam dan menurunkan roti yang sudah tertancap oleh pisau. Sementara itu, Ufia justru terlihat semakin marah.

Tampaknya, perempuan ini sama sekali tidak menyadari maksud dari perlakuanku.

"Apa yang kau lakukan, inkompeten?" Ufia membentakku. "Apa kau begitu membenciku hingga kau mau membunuhku? Kalau kau memang mau membunuhku, jangan bawa-bawa Tuan Putri Jeanne. Dia tidak ada hubungannya dengan kebencianmu."

"Aku? Membencimu? Maaf, tapi aku sama sekali tidak peduli selama kalian tidak macam-macam."

Orang bilang, lawan dari cinta bukanlah kebencian, tapi antipati. Dan itulah yang kurasakan terhadap keluarga Alhold.

"Lalu—"

Lihat selengkapnya