"Uuuuu!!!!!"
Aku mengobati luka di paha kiri Jeanne sementara Emir dan Ufia memegangi tubuhnya. Jeanne sendiri menggigit handuk yang sudah digulung untuk meredam teriakan.
"Dan, di luar dugaan, Tuan Putri Inanna sudah mengetahui kalau kamu terluka." Aku menyuntikkan morfin ke paha Jeanne. "Tapi jangan khawatir, Tuan Putri Inanna mengatakan kalau tidak seorang pun selain dia yang mengetahuinya."
Ya, aku juga cukup terkejut. Sebelum kami berpisah, masuk ke kamar masing-masing, Inanna mendatangiku dan memberi sebuah kotak.
Di saat itu, dia berbisik, "Ini untuk meredakan rasa sakit pada kaki Jeanne. Jangan khawatir, cuma aku yang tahu kok."
Setelah mengatakan hal itu, dia hanya tersenyum kecil.
Ngomong-ngomong, kamar Inanna ada di samping kamar ini, kamar 3 perempuan. Kamarku ada di seberang lorong dengan satu pengawal lain.
Akhirnya, perawatan selesai dan aku sudah mengganti perban di paha Jeanne. Jeanne pun terbaring lemas di atas kasur, ditemani Ufia dan Emir.
Aku lebih memilih duduk di sofa, agak jauh dari kasur.
"Baiklah," aku membuka percakapan. "Aku paham kenapa kalian tidak membawa dokter, yaitu untuk menghindari orang kerajaan ini tahu kalau Jeanne terluka. Tapi, aku tidak paham kenapa Jeanne bisa terluka separah ini. Ada yang bisa menjelaskan?"
Emir dan Ufia membuang wajah. Mereka tidak mau memandangku. Jeanne juga melakukan hal yang sama. Meskipun Jeanne bisa berbohong, entah kenapa dia lebih memilih untuk tidak bicara, dengan memalingkan wajah.
"Aku bilang," aku menahan nafas sejenak, memejamkan mata. Aku membuka mata dan melepaskan haus darah sambil menekan nada bicaraku. "Ada yang bisa menjelaskan?"
Mereka bertiga masih tidak menjawab. Namun, kali ini, mereka tidak bisa menjawab bukan karena mereka tidak mau, tapi tidak bisa. Mata mereka melotot, nafas tersengal-sengal, keringat mengalir.
Tunggu dulu. Apa mereka serius?
Aku menarik kembali haus darah yang kupancarkan. Seketika itu juga, Ufia dan Emir terjatuh dari kasur, ke lantai. Bahkan, mereka berdua sudah menitikkan air mata, sedikit. Hanya Jeanne yang belum menitikkan air mata.
"Tunggu dulu, apa kalian benar-benar agen Schneider?"
"Gin," Jeanne menjawab. "Pangkat Emir masih di bawahku. Dan Ufia, dia belum ada satu bulan menjadi agen—"
"Jadi," aku menyela Jeanne. "Kerajaan memperkerjakan orang yang tidak bisa menahan haus darah pada level itu? Apa kalian kekurangan orang?"
"Sayangnya, ya. Kalau tidak kekurangan orang, ayah tidak akan pernah memperkerjakan remaja seperti kami. Sebagai catatan, Mariander juga mengalami masalah yang sama."
"Aku tidak peduli jika Mariander mengalami masalah yang sama."
Kukira kalian diperkerjakan karena kemampuan kalian, bukan karena kekurangan orang. Kalau seperti itu, kerajaan hanya sedikit di bawah pasar gelap yang memperkerjakan anak-anak.
"Baiklah, aku tidak akan membahas kompetensi kalian, tapi bisa tolong jelaskan bagaimana kamu mendapatkan luka itu?"
"Baiklah. Tapi, sebelumnya," Jeanne menghentikan pembicaraan kami. "Bisa tolong sadarkan mereka?"
Ah, iya, aku hampir lupa kalau Emir dan Ufia masih terkapar di lantai.
Aku mendatangi dan menampar mereka cukup keras.
"Aduh!"
"Aw!"
Akhirnya mereka berdua sudah sadar.
Sementara Ufia kembali fokus pada Jeanne, Emir menatapku tajam-tajam sambil menggertakkan giginya, masih dengan sedikit air mata di ujung kelopak. Dia pasti kecewa dengan caraku meminta penjelasan dan menyadarkannya.
Aku mengabaikannya.
Jeanne pun menceritakan apa yang terjadi. Sederhananya, mereka diserang oleh sosok yang mereka yakini adalah Kinum ketika berlatih. Awalnya, mereka tidak mau mengatakan kenapa Kinum menyerang mereka. Namun, setelah aku mengatakan kalau aku tahu perang dingin Bana'an dan Mariander adalah palsu, mereka pun menjelaskannya. Jadi, isu perang dingin tersebut membuat Sarru dan Enam Pilar terganggu.
Meskipun aku ingin menanyakan kenapa mereka menyebarkan isu perang dingin ini, tapi aku mengurungkan niatku. Mungkin ini adalah perintah calon mertua itu dan mereka tidak mengetahui tujuannya.
Di lain pihak, mungkin orang akan menganggap Jeanne bodoh karena melukai dirinya terlalu parah. Namun, dengan tingkat kekebalan haus darah yang tidak terlalu tinggi, aku bisa bilang dia lulus. Dia panik, tapi dia masih bisa mengambil keputusan. Sayangnya, dia tidak bisa mengendalikan tenaganya.
Daripada itu, aku menaruh perhatianku pada hal lain.
"Apa kalian serius? Apa Kinum benar-benar mengatakan hal itu?"
Jeanne terdiam. Dia hanya mengangguk lemah. Emir dan Ufia juga diam, mengonfirmasi jawaban Jeanne.
Sial, kondisi ini benar-benar di luar dugaan. Hanya jalur penyelundupan internasional yang terdampak oleh isu perang dingin. Jadi, aku yang lebih sering berdagang di jalur domestik, tidak benar-benar tahu kalau mereka segeram ini.
Namun, Sarru dan Kinum ya...
Baiklah.