"Gunakan Tangga dan jangan tergesa-gesa."
Aku memberi instruksi pada orang-orang yang baru kulepaskan. Sayangnya, tidak seorang pun menuruti instruksiku. Mereka berlari tergesa-gesa.
Dari informasi yang kudapat dari salah satu pemberontak, setelah kuperas dan kuancam tentu saja, para tawanan dikumpulkan di lantai 18, 29, 31, 44, dan 50. Keluarga Inanna ada di lantai 50 dan karyawan ada di lantai lainnya. Aku sudah membebaskan tawanan di lantai 18, 29, dan 31. Sekarang, aku akan menyelamatkan tawanan di lantai 44.
Ah, ngomong-ngomong, aku membiarkan satu pemberontak, yang memberi informasi, hidup. Aku berjanji padanya. Hanya kedua tangannya saja yang kulumpuhkan.
Setelah masuk ke lobi, aku tidak pergi ke atas, tapi ke basemen. Seperti gedung komersial pada umumnya, sakelar listrik berada pada basemen.
Setelah itu, aku mengirim pesan ke Inanna agar mereka menyalakan jammer dan memutus semua komunikasi gedung. Dengan demikian, True One tidak bisa menghubungi siapa pun.
Meski awalnya Inanna khawatir hal ini akan membuat True One panik dan membunuh semua tawanan, aku berhasil meyakinkannya. Aku mengatakan kalau saat ini True One memilih untuk mengeksekusi semua tawanan, mereka tidak akan bisa membuat klaim kalau pemerintah yang memulai.
Kalau semua orang di dalam tewas, maka pemerintah pun bebas membuat cerita apa pun, termasuk mengklaim kalau True One telah menyebutkan nama sponsor utamanya. Kalau hal itu terjadi, sponsor di balik True One, mau tidak mau, akan memutus semua hubungan.
Aku yakin True One tidak menginginkan hal ini. Itu kalau mereka cukup pintar sih. Tapi kalau mereka semua bodoh, maka semua tawanan pun akan tewas saat itu juga. Dan, untungnya, mereka cukup pintar, atau ragu-ragu.
Setelah Jammer dinyalakan, tentu saja sinyal radio, handi talki, mereka pun mati. Jadi anak buah yang di bawah tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka hanya bisa menunggu orang dari atas turun ke bawah, berjalan melewati tangga, dan memberikan perintah langsung.
Misi ini cukup repot karena tidak seorang pun dari mereka mengenakan penutup muka. Jadi, aku tidak bisa mengambil pakaian mereka dan menyelinap. Oleh karena itu, satu-satunya jalan hanyalah masuk secara paksa.
Di lantai 18, aku melepaskan bom asap, membuat pemberontak menghabiskan peluru mereka sebelum akhirnya aku masuk dan membunuh mereka. Di lantai 29, aku mencoba melakukan hal yang sama tapi gagal. Mereka sabar menanti hingga asapnya menghilang. Aku pun menggunakan peti arsenal sebagai perisai, menghabisi mereka semua dari baliknya.
Di lantai 31, aku tidak bisa menggunakan peti arsenal sebagai perisai. Mereka sudah bersiap di atas tangga, membuatku tidak bisa bergerak karena harus menahan hujan peluru dari atas. Di saat itu, aku terpaksa menggunakan pelontar granat, meruntuhkan lantai di sekitar tangga. Aku hanya berharap tawanan tidak ada di tempat itu. Dan aku beruntung.
Sekarang, aku sudah ada di lantai 43. Aku memperkirakan metodeku yang sebelumnya tidak akan berguna. Jadi, aku akan mencoba metode lain dengan membawa dua buah tubuh teroris yang sudah tidak bernyawa.
Aku harus bilang misi penyelamatan ini cukup repot. Kenapa? Karena mereka semua menggunakan senjata api, tidak ada seorang pun yang menggunakan pengendaliannya. Kalau mereka semua menggunakan pengendaliannya, misi ini akan sangat mudah.
Tapi, keberuntungan lain yang lain adalah, tangga bangunan ini tidak diletakkan di samping bangunan dan memanjang seperti tangga darurat, melainkan tengah bangunan seperti tangga normal.
"True One di lantai 44!" aku berteriak. "Kalau kalian mau menyerah, aku menjamin nyaw–"
"Jangan bercanda! Kami tidak akan menyerah!"
Dan mereka menyelaku.
Baiklah, jangan salahkan aku. Aku mengambil golok dari peti arsenal dan memotong salah satu tubuh yang kubawa. Pertama, aku lempar kepalanya.
"KYAAA!!!!"
Suara tembakan pun terdengar riuh. Kepala yang aku lempar pun menjadi bulan-bulanan. Menemani suara tembakan itu, sebuah teriakan, entah dari teroris atau tawanan.
Tidak lama kemudian, suara tembakan berhenti. Setelah itu, aku melempar dua buah tangan, lalu kaki. Suara tembakan kembali terdengar setiap aku melempar bagian tubuh. Terakhir, aku melempar badan. Namun, tidak ada suara tembakan lagi kali ini.
Akhirnya, persiapan selesai. Aku meletakkan peti arsenal di tangga dan membawa satu tubuh lain bersamaku. Aku berlari, melompat, dan terjatuh di lantai 44, bersama dengan tubuh tanpa nyawa. Sesuai rencana, mereka tidak melepas tembakan karena mengira tubuh ini, dan aku, hanyalah tubuh tanpa nyawa.
"Hei, apa sudah selesai?"
"Entahlah."
"Coba kamu periksa."
"Eh? Aku?"
"Cepat!"
"Ba-baik."
Tampaknya mereka sedikit berdebat.
Aku masih belum bergerak, menanti. Akhirnya, satu orang berdiri di depanku, di balik tubuh. Dia tidak melihat ke arahku, tapi ke bawah tangga.
"Am—"
Dor
Belum sempat dia mengatakan "aman", aku sudah menyarangkan peluru di kepalanya. Dengan cepat, aku mengangkat tubuh yang kubawa dan tubuh baru ini di depanku, menjadikan keduanya sebagai perisai.
Peluru pun menghujani dua tubuh ini. Mereka terus melepaskan tembakan. Bahkan, suara 'cklek cklek' ketika senjata mereka kehabisan peluru terdengar berkali-kali, mereka tidak langsung mengisi pelurunya.
Aku melepaskan kedua tubuh ini, membiarkannya terjatuh, dan melepaskan tembakan. Dua orang tewas, masih tersisa tiga orang. Ketiga orang itu berlindung di balik tiang penyangga lantai yang memiliki lebar 2 meter.
Sekarang, keadaan terbalik. Para teroris itu berlindung sementara aku melepaskan tembakan. Aku terus melepaskan tembakan sambil berjalan, mendekati mereka.
Cklek cklek cklek cklek
Pistolku kehabisan peluru. Di saat singkat itu, musuh keluar dan mencoba melepaskan tembakan. Namun, belum sempat dia melepaskan tembakan, tubuhnya sudah meledak. Aku sudah melepaskan tembakan dari perisai lengan kiri. Dua orang yang sebelumnya akan keluar kembali bersembunyi.
Alasan kenapa mereka tidak segera mengisi ulang pelurunya tadi adalah karena mereka sudah panik. Teror sudah mengusai mereka setelah aku melempar bagian tubuh rekannya satu per satu. Di saat itu, pikiran mereka sudah tidak jernih. Tubuh mereka hanya teringat untuk menarik pelatuk.
"Bagaimana? Tawaranku masih berlaku. Kalau kalian mau menyerah, aku akan menjamin nyawa kalian. Aku beri kalian waktu lima detik. Satu," aku mulai berhitung. "dua, tiga,"
"PERSETAN!"
Satu orang keluar dan mengarahkan senjatanya. Belum sempat dia menarik pelatuk, peluru sudah bersarang di kepalanya.
"Empat," aku masih berhitung. "Li–"
"Aku menyerah!"