Ding Dong
Dan bel rumah berbunyi, memaksaku mengakhiri waktu dengan Inanna di pagi ini.
"Biar aku buka pintunya. Kamu siapkan suguhan untuk mereka."
"Baik."
Aku berjalan ke pintu sementara Inanna ke dapur. Dan, seperti ucapan Emir, Jeanne dan Ufia sudah berdiri di depan pintu.
"Hai, selamat datang. Silakan masuk."
"Permisi..."
Meski aku sudah cukup akrab dengan Jeanne, masih agak aneh ketika dia berlaku seperti rakyat jelata di depanku.
"Hai, Gin."
"Yo."
Di lain pihak, aku sudah bisa berkomunikasi dengan Ufia cukup lancar. Well, pada dasarnya, kami masih sepupu. Jadi, seharusnya, komunikasi ini adalah hal yang normal. Seharusnya.
Mereka mengikutiku ke ruang tamu, dimana Inanna sudah menanti dengan kue dan teh. Untuk tamu, teh alpine selalu menjadi racikan utama.
"Hai, Na."
"Hai, Jeanne."
Jeanne dan Inanna bertukar sapa sejenak. Namun, Jeanne masih celingak-celinguk.
"Dimana Emir?"
"Di atas. Entah dia sudah selesai mandi atau belum."
"IYA... SEBENTAR..."
Sebuah suara balasan terdengar dari lantai dua. Aku dan Jeanne saling melempar pandang. Kami sama-sama terkejut bagaimana dia bisa mendengar ucapan kami di lantai satu.
"Ya, silakan duduk."
Aku mempersilakan Jeanne dan Ufia duduk.
Aku duduk di sofa bersebelahan dengan Inanna. Jeanne dan Ufia juga duduk bersebelahan di sofa, di seberang.
"Jadi, bagaimana?"
"Ya, biar aku mulai. Langsung to the point," Jeanne mulai berbicara. "Untuk permintaanmu, ayah bilang dia butuh waktu lebih untuk dapat memenuhinya. Ayah bilang, dia harus menandatangani banyak dokumen dan perizinan hanya untuk mencetak dan memberimu dokumen itu. Memangnya, dokumen apa yang kamu minta?"
Aku langsung menelepon Raja Fahren ketika meminta dokumen itu sebagai imbalan. Oleh karena itu, Jeanne tidak tahu dokumen apa yang aku minta.
Di lain pihak, aku tidak melihat perubahan reaksi pada Inanna ketika Jeanne memanggil Raja Fahren dengan sebutan ayah. Padahal, kukira, dia akan sedikit menunjukkan perubahan ekspresi ketika mendengar putri selir di kerajaan ini, dengan mudahnya, memanggil Raja dengan sebutan ayah.
Kembali ke Jeanne.
"Sebelum aku menjawabnya, menurutmu, apakah aman untukmu mendengar nama dokumen yang butuh perizinan serepot itu? Yang bahkan Raja membutuhkan waktu lebih lama untuk mengurusnya."
Jeanne terdiam sejenak. Dia melempar pandangan ke Ufia, yang hanya menggeleng.
"Ya, maaf, aku tidak akan bertanya lebih lanjut."
Jeanne menahan dirinya.
"Maaf aku terlambat... eh? Kok Inanna duduk di sampingmu, Gin? Inanna, pindah kamu?"
"Ah, uh..."
Sebelum Inanna sempat mengangkat badannya, aku meletakkan tanganku di bahunya, mencegahnya berdiri.
"Tidak. Emir, kamu yang duduk di situ. Salah kamu sendiri baru selesai mandi."
"Ung, tapi..."
"Ga ada tapi-tapian. Lain kali, kalau mau duduk di sini, kamu harus bangun pagi dan sudah siap menerima tamu juga."
Emir terdiam. Dia pun duduk di sofa untuk satu orang, di ujung.
"Hahaha, aku sempat khawatir bagaimana jadinya ketika mendengar Emir dan Inanna akan tinggal satu rumah."
Jeanne memberi respon yang cukup ringan.
"Kenapa?" Aku sedikit penasaran.
"Maksudku, Inanna orangnya penurut. Kalau dia meminta sesuatu dan ditolak, dia akan ragu untuk memintanya lagi. Kamu ingat kan waktu dia memintamu membuang formalitas tapi kamu menolak? Dia mencoba lagi tapi melalui aku Dia meminta lagi tapi tidak secara langsung."
"Ahh.... jadi dia melakukannya karena dia malu? Atau aku harus bilang, takut?"
"Bisa dibilang begitu." Jeanne memberi konfirmasi. "Kamu harus lihat bagaimana dia disuruh-suruh oleh anggota tim ketika kami bermain game online. Rasanya, sangat miris...."
"Jeanne, jangan bilang-bilang ke Lugalgin dong." Inanna akhirnya masuk dalam pembicaraan. "Itu kan di dalam game. Maksudku, saat itu aku masih pemula. Tidak mungkin kan aku menolak perintah mereka?"
"Hah? Tapi kamu tidak berubah kan sampai sekarang?"