"Terima kasih, Gin."
"Yo, sama-sama."
Aku berjalan pelan, meninggalkan toko teh favoritku di mal terbesar Kota Haria. Sebenarnya, aku adalah pemilik toko teh herbal itu. Selain tempat menjual teh herbal, toko itu juga sebuah kafe, bernama 'ease'. Selain teh herbal dan variasinya, kafe ease juga menghidangkan kue, roti, kopi, dan camilan lainnya. Tapi, tentu saja, teh menjadi senjata andalan kafe.
Meski aku bilang pemilik, aku hanyalah pemberi modal dan pemberi ide. Untuk eksekusi, ada satu manajer dan beberapa pegawai. Dan, dengan adanya kafe itu, aku tidak perlu repot-repot mencari teh herbal sendiri.
"Maaf, permisi..."
Baru saja aku berjalan dari eskalator, mencapai lantai dasar, seorang perempuan dengan rambut coklat dan mata coklat, sepertiku, menghentikanku. Meski rambutnya pendek, dia masih menguncirnya, memberikan sebuah pemandangan jelas ke tengkuk lehernya. Dia mengenakan hoodie abu-abu dengan kaos dan celana jeans berwarna biru gelap
Di kanan dan kirinya, dua orang laki-laki berdiri dengan pakaian kasual. Keduanya memiliki potongan cepak. Yang satu berambut coklat generik, yang satu hitam bangsawan.
Jujur, rasanya aku pernah melihat perempuan ini sebelumnya. Ah, sekarang aku ingat.
"Ah, kau perempuan yang hampir terluka saat aku melawan Elliot."
"I, iya, benar. Suatu kehormatan Anda mengingat nama–"
"Berhenti, Shinar." Laki-laki berambut hitam menghentikan perempuan yang bernama Shinar ini. "Kenapa kamu menggunakan bahasa formal dan sopan? Kamu ini bangsawan, jangan merendahkan posisimu di depan rakyat jelata seperti dia."
"Tapi, Der,"
"Der benar," laki-laki berambut coklat ikut nimbrung. "Kamu tidak perlu menggunakan bahasa sopan pada rakyat jelata. Ingat posisimu."
"Der, Kutha, kenapa kalian begitu kasar padanya... eh?"
Dan, perempuan bernama Shinar itu baru sadar kalau aku sudah berjalan meninggalkannya. Aku tidak mau mendengar racauan ABG labil. Membuang waktuku saja.
"Ma, maaf." Shinar sudah berdiri di depanku dan membungkukkan badan. "Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. Aku tidak ada niatan menghina atau merepotkanmu."
Dia sudah menggunakan kata normal, tidak lagi kata sopan dan formal seperti sebelumnya. Meskipun aku tidak terlalu peduli, tapi, yang jelas, ini sudah merepotkan.
"Sayangnya, saat ini, kau sudah merepotkanku," ucapku sinis sambil menoleh ke belakang.
Benar saja, dua laki-laki itu datang dengan wajah merah mendidih.
Kalau perempuan ini benar-benar bangsawan, sangat lah memalukan jika dia menundukkan kepala, bahkan badan, kepada rakyat jelata sepertiku. Setidaknya, itu lah yang dipikirkan oleh para bangsawan itu.
"Kalau kau memang tidak mau merepotkanku, lebih baik kau tahan dua temanmu itu sementara aku pergi." Aku berjalan, meninggalkan Shinar. "Dan aku sudah menerima ucapan terima kasihmu. Sama-sama."
Tanpa melihat ke belakang, aku mendengar perempuan itu berselisih dengan dua teman laki-lakinya. Ah, kenapa sih susah sekali untuk aku bisa hidup tenang.
Aku pun pergi dari mal, menuju halte. Halte yang kutuju bukan halte mal. Kalau aku menggunakan halte mal, aku harus transit dua kali untuk mencapai halte dekat rumah. Jadi, aku berjalan kurang lebih 1 kilo menuju halte lain. Melalui halte yang kutuju, aku bisa pulang tanpa perlu transit.
Ah iya, ngomong-ngomong, soal tawaran Jeanne untuk menjadi instruktur agen Schneider, aku menolaknya. Jeanne tidak memaksaku. Justru dia akan merasa aneh kalau aku menerima tawaran itu tanpa adanya keuntungan yang jelas. Bukan aneh, mungkin dia justru khawatir aku meminta sesuatu yang aneh.
Inanna hanya menurut ketika aku menolak tawaran itu. Di lain pihak, Emir bertanya-tanya kenapa aku menolak. Ufia tidak memberi respon karena dia masih khawatir dengan jawabanku atas panggilan Enlil.
Kemarin, aku tidak bisa menceritakan kenapa aku menolak tawaran menjadi instruktur karena ada Jeanne dan Ufia. Aku ingin mengajak mereka malam hari ini. Selain menjelaskan alasanku menolak tawaran Jeanne, aku juga akan menjelaskan motif Raja Fahren dan Arid, sekalian memastikan Inanna dan Emir.
Melihat hubungan Inanna dan Raja Arid yang tidak terlalu baik, menurutku, Inanna akan mendukungku. Namun, aku meragukan Emir. Apakah dia benar-benar mencintaiku? Atau dia hanya menjalankan misi? Kalau dia hanya menjalankan misi, malam ini juga aku akan langsung mengusirnya dari rumah.
Ya, aku sudah tahu jawabannya sih.
Tring Tring Tring
Handphoneku berdering. Aku melihat nama di layar sejenak lalu mengangkatnya. Karena aku tidak mau percakapan ini menjadi konsumsi umum, aku menempelkan handphoneku di telinga, mematikan fitur monitor.
[Heh, Gin, gara-gara kamu, Ufia diusir dan diasingkan nih dari keluarga Alhold.]
"Sudah kubilang kan kemarin." Aku menjawab Jeanne dengan enteng. "Sekarang, dia dimana?"
[Di rumahku!] Jeanne berteriak. [Tanggung jawab. Aku tidak mau tahu, bagaimanapun caranya, kamu harus membuat Ufia diterima lagi.]
Aku mendengus. "Apa kamu mendengar ucapan Inanna dan Emir kemarin? Walaupun aku pergi menemui tua bangka itu, Ufia tidak akan serta merta diterima lagi. Bahkan, kalau aku semakin berselisih dengan keluarga Alhold, ada kemungkinan posisi Ufia akan semakin parah."
Di keluarga Alhold, ada sebuah ajaran yang menyatakan "Kalau kamu tidak bersamaku, maka kamu musuhku". Jadi, saat ini, karena Ufia tidak lagi sependapat dengan keluarga Alhold, dia pun dianggap sebagai musuh. Hanya ayah dan ibu yang mampu keluar dari ajaran itu. Dan, tentu saja, aku dan Ninlil pun juga tidak menggunakan ajaran itu.
"Hei, Lugalgin!" Sebuah suara memanggilku dari belakang.
Aku mengenal suara ini. Aku berbalik dan melihat dua om-om dan satu laki-laki sebaya denganku. Mereka semua memiliki rambut hitam. Bukan rambut hitam bangsawan, tapi rambut hitam Alhold. Mereka adalah Om Nagi, Om Ian, dan Arun, Paman dan sepupuku. Mereka adalah keluarga Alhold.
"Jeanne, saat ini, tiga orang dari keluarga Alhold mendatangiku. Setelah ini, aku bisa menjamin kalau kondisi keluarga Alhold akan semakin parah. Jadi, lebih baik, kamu berpikir cara agar Ufia bisa menerima kenyataan kalau dia adalah musuh keluarga Alhold."
[Eh? Apa mak–]
Aku memutus telepon dan memasukkan handphone ke saku jaket.
Senjata yang hari kubawa adalah pisau survival di kaki kanan, terikat di betis di dalam celana.
Tiga laki-laki ini berdiri di depanku. Di kejauhan, aku melihat ada sebuah mobil. Tampaknya, mereka ingin memaksaku pergi bersama mereka, menemui Enlil.
Aku mengabaikan mereka dan kembali berjalan.
"Lu–"
"HEI!"
Sebuah suara menyela om Nagi. Aku berbalik dan melihat dua laki-laki yang tadi mencemoohku muncul.
"Kau! Kau kira kau siapa, berani pergi meninggalkan bangsawan begitu saja?"