[Maaf, Lugalgin, bisa tolong ulangi lagi? Bagian akhirnya saja. Rasanya sudah cukup.]
"Hah...." Aku menghela nafas. "Besar kemungkinan aku akan ditunjuk menjadi pemimpin intelijen kerajaan ini. Dan, saat itu terjadi, aku akan merekrutmu sebagai instruktur."
Diam. Tidak ada respon.
Saat ini, aku sedang berjalan pulang dari rutinitas pagi sambil menelepon Mulisu.
Semua kejadian, mulai dari penunjukan aku sebagai kandidat raja karena inkompeten, masalah dengan dua raja, masalah dengan keluarga Alhold, dan penunjukanku sebagai pemimpin intelijen kerajaan.
Tentu saja, aku masih menyembunyikan soal kekuatanku menghilangkan pengendalian.
[Lugalgin, kamu tidak bercanda, kan?]
Akhirnya dia memberikan respon. Tapi, responsnya belum berubah.
"Apakah aku pernah bercanda?"
[Sering.]
Aku terdiam. Baiklah, tampaknya aku salah berucap.
"Baik, maaf. Intinya, ini semua benar dan serius. Aku tidak bercanda."
[Hah....]
Aku bisa mendengar suara nafas Mulisu yang mendengus.
[Aku akan jujur saja. Jujur, untukku, aku tidak keberatan. Bahkan, kalau perlu, kamu tidak perlu mencari inkompeten lain dan langsung jadi raja saja. Tapi, apakah menurutmu mereka bisa menerima keputusan ini? Bukan hanya mereka. Kamu pun juga demikian. Apa kamu bisa menerima keputusan ini, menjadi bagian dari sistem kerajaan ini?]
"Aku tidak yakin mereka bisa menerima keputusan ini. Bahkan, aku tidak akan terkejut kalau mereka langsung pergi. Untukku," aku terdiam, terhenti, sejenak. "Entahlah. Aku tidak yakin."
[Worst case scenario adalah,] Mulisu menyambung. [Ketika kamu lelah dan tidak mampu menerima semua ini, kamu akan menghancurkan kerajaan ini hingga fondasinya, tidak menyisakan apapun bahkan pasar gelap.]
Aku kembali berjalan. "Kamu mengatakannya seolah-olah aku adalah raja iblis yang ada di novel-novel."
[Memang,] Mulisu menjawab cepat. [Tapi, aku tidak akan menyampaikan ini. Kamu harus menyampaikannya langsung pada mereka. Dan, sekalian, kamu perlu membawa dua calon istrimu itu dan memperkenalkannya pada mereka.]
"Hah?" Aku sedikit meninggikan suara. "Bagian aku yang harus menjelaskan, aku paham. Bagian aku harus membawa Emir dan Inanna, aku tidak paham."
[Dengar. Cepat atau lambat, dengan kamu menjadi pemimpin intelijen kerajaan dan aktif kembali di pasar gelap, mereka akan mengetahui siapa kamu yang sebenarnya. Kalau kita tidak memberi tahu, dan menanamkan hal ini sedari awal, ada kemungkinan mereka akan mengkhianatimu. Jangan lupa kalau Ukin masih berkeliaran.]
Ukin. Sudah lama sekali rasanya aku tidak mendengar nama itu diucapkan.
"Kalau begitu, bisa kamu datang ke rumah dan menjelaskan semua itu pada mereka? Aku tidak terlalu suka membicarakan diriku sendiri."
[Hahaha, kamu masih malu-malu kalau ngomong tentang diri sendiri,] Mulisu merespon dengan tawa. {Ya, bisa diatur. Nantikan kedatanganku ya...]
"Ya...."
Aku mengakhiri panggilan.
Tidak lama, aku pun tiba di rumah. Rutinitas kembali seperti semula dimana Inanna sudah siap dengan sarapan di meja makan dan Emir masih mengenakan piama, seolah-olah keputusan Fahren untuk menjadikanku pemimpin intelijen kerajaan tidak pernah terjadi, atau setidaknya mereka tidak peduli.
"Lugalgin!"
Tiba-tiba saja, sebuah suara terdengar dari halaman, memaksa kami bertiga menoleh.
Di halaman, di balik jendela, terlihat seorang perempuan berambut coklat gelap panjang yang diikat dua bagaikan laut dibelah. Dia mengenakan celana jeans hijau tua dan tank top putih, yang samar-samar menunjukkan bra hitam di bawahnya. Terlihat tan line di bahu, menunjukkan dia adalah tipe outdoor yang suka mengenakan pakaian minimal. Beberapa bintik kecil di pipinya memberi kesan kalau dia masih peduli dengan penampilan, tapi tidak bisa menang melawan genetik. Mata hitamnya tampak begitu cerah, berkilau, seolah dia tidak menanggung beban apapun di hidupnya.
Melihat perempuan ini aku hanya bisa mengurut pelipis pelan.
"Aku tidak bilang harus hari ini, apalagi pagi ini." Aku berbisik.
Tanpa seizin siapa pun, perempuan itu membuka jendela, masuk ke rumah, dan duduk di sebelahku. Tentu saja, dia sudah melepas alas kaki sebelum masuk.
Emir dan Inanna terdiam. Mereka melempar pandangan ke perempuan ini, lalu ke aku, lalu ke perempuan ini lagi.
"Heh, penampilan mantan tuan putri Emir ini erotis juga ya. Bahkan, aku yang sama-sama perempuan sedikit terangsang. Beruntung sekali kamu Gin bisa menikmati pemandangan ini setiap pagi."
Setelah mendengar ucapan perempuan ini. Emir langsung menutupi dada dan bawah pinggangnya dengan kedua tangan.
"Hmm, jam segini sudah rapi, kelihatannya sudah mandi, dan aku berani bertaruh kamu yang menyiapkan sarapan ini. Kamu benar-benar cocok menjadi ibu rumah tangga. Waktu luang Lugalgin akan lebih banyak karena dia tidak perlu mengurusi rumah."
"Eh, ah, te-terima kasih."
Inanna menjawab dengan pandangan tertunduk, wajahnya merona.
"Ahahahaha,"