Agen schneider yang lain akhirnya datang, memberi kesempatan untukku dan yang lain pergi. Setelah dipaksa oleh Mulisu, setidaknya, Adini mendapatkan dua temuan di lantai dua, yaitu kasur masih rapi, tidak terlihat tanda-tanda digunakan, dan ada beberapa titik yang bebas debu di atas meja yang menghadap jendela, bekas tripod atau semacamnya.
Sementara mereka melanjutkan penyelidikan, kami kembali.
"Jadi, kapan kamu mau menjelaskannya ke mereka?"
Ah iya. Aku hampir lupa kalau aku masih ada hutang penjelasan ke Inanna dan Emir. Aku melihat ke dua calon istriku ini dan mendapati pandangan mereka sudah melekat di tubuhku.
Matahari sudah naik, tapi masih belum tengah hari.
"Mulisu, kapan mereka bisa berkumpul?"
"Siang ini juga, jam 1, kalau kamu mau."
"Hmm.... jam 1 ya."
Aku terdiam sejenak, mencoba memikirkan jalan terbaik. Meskipun aku hanya bercerita, tanpa menunjukkannya, aku yakin Inanna dan Emir akan memercayai semua ucapanku. Tapi, apa itu cukup? Apa aku akan merasa puas hanya dengan bercerita?
"Gin, kamu mulai menyeringai."
"Apa yang kamu pikirkan?"
Inanna dan Emir menegurku yang tanpa sadar sudah menyeringai. Hahaha, kalau di depan orang yang sudah kupercaya, terkadang, ekspresiku bisa lepas dan kendur dengan sendirinya. Ninlil, ayah, dan ibu juga terkadang menegurku seperti yang mereka lakukan. Ya, sudahlah.
"Baiklah, kalau begitu." Aku sudah memutuskan. "Mulisu, kumpulkan mereka semua siang ini juga. Aku mau menjelaskan kondisi kita pada mereka sekalian memperkenalkan Emir dan Inanna."
Tampaknya, bukan hanya aku yang memiliki kebiasaan jelek tiba-tiba menyeringai. Mulisu juga sama.
"Baiklah. Kamu tahu kan lokasinya?"
"Aku belum setua itu untuk melupakannya."
"Oke."
Dalam waktu sekejap, Mulisu sudah tidak tampak lagi.
Aku terdiam sejenak dan melihat ke arah Inanna dan Emir. Jika aku memandang mata mereka dalam-dalam, aku bisa melihat mata mereka yang penasaran, menginginkan penjelasan secepat mungkin. Tapi, kalian harus bersabar ya.
"Kalian berdua, siapkan senjata terbaik kalian."
***
Setelah makan siang, kami bersiap meninggalkan rumah. Emir dan Inanna sudah di luar dan aku mengunci pintu.
Sesuai ucapanku, Emir dan Inanna sudah menyiapkan senjata terbaik mereka. Emir mengenakan pakaian igni, celana kargo, dan rompi tebal. Dia mengubah Krat menjadi sebuah pelindung tangan, kaki dan dada. Selain di badan, sebuah tas punggung juga terlihat di punggung Emir. Dia bilang itu juga Krat.
Pakaian Inanna bisa dibilang sama dengan Emir, yang membedakan adalah tema warna Emir adalah merah dengan garis hitam sedangkan Inanna adalah hitam dengan garis hijau. Aku sudah memeriksa pakaian Inanna dan mendapati pada setiap saku di celana dan rompinya terdapat 10 proyektil kecil. Total 120 proyektil kecil. Selain di saku, dia juga membawa sebanyak 20 proyektil yang diletakkan di dalam tas gitar besar. Setidaknya, masing-masing proyektil memiliki panjang 1 meter.
"Ayo, berangkat."
"Ayo." Emir dan Inanna menjawab bersamaan.
Kami berjalan menuju halte terdekat dan naik bus. Bus ini sepi, tidak seperti biasanya yang ramai. Beberapa menit berlalu. Lima belas menit berlalu. Mereka berdua tidak mengatakan apapun. Apa mereka gugup? Ya, mungkin saja.
"Ung, ngomong-ngomong, Gin, apa kita tidak salah naik bus?"
Jadi, Inanna adalah yang pertama menyadarinya ya.
"Emir, bagaimana menurutmu?" Inanna bertanya.
"Ucapan Inanna benar." Emir melihat ke sekeliling. "Dari tadi, bus ini tidak berhenti di satu pun halte dan juga tidak terlihat ada penumpang lain. Apa mungkin?"
"Jangan khawatir." Aku menghentikan Emir dan Inanna sebelum mereka meningkatkan kesiagaan. "Bus ini akan mengantar kita ke lokasi pertemuan. Setelah terowongan, di sisi lain gunung."
"Eh?"
"Hei, Lugalgin."
Sebuah suara yang familier, untukku, terdengar dari kursi pengemudi.
Di lain pihak, suara ini adalah asing untuk Inanna dan Emir. Mereka pun siaga ketika pengemudi itu memanggilku.
"Ya, Ibla, ada apa?"
"Apa mereka berdua adalah calon istrimu yang dikabarkan itu?"
Kami berdua saling berbincang tanpa melihat satu sama lain. Aku masih melihat ke Inanna dan Emir yang duduk di seberang dan aku yakin Ibla tidak melihat ke belakang.
"Yup, mereka adalah calon istriku."
"Heh..... Hei Lugalgin," Ibla membawa topik pembicaraan baru. "Menurutmu, mereka ada di urutan berapa?"
"Hmm....."
Aku terdiam sejenak, berpikir, mencoba memunculkan semua informasi yang pernah kukumpulkan. Setelah berpikir sejenak, aku pun muncul dengan sebuah jawaban.