"Gin......"
"Ya?"
Aku merespon Inanna yang kugendong di punggung. Sama seperti Emir, setelah kalah, dia minta digendong. Meski aku tidak melihat dia kehabisan stamina seperti Emir, tapi aku tidak punya alasan untuk menolak.
Karena kedua tanganku menahan paha Inanna, menggendongnya, tombak dan shotgunku diikat di punggungnya. Sementara itu, semua Proyektil yang dikendalikan Inanna melayang di sekitar kami.
"Saat pertama kali kita bertemu, di jalan tol itu, kenapa kamu memilih mundur? Melihat kekuatan tempurmu yang barusan, seharusnya, dapat membunuhku dengan mudah, kan?" Inanna terdiam sejenak, lalu menggumam, "Kalau begini, rasanya, aku hanya akan membebanimu."
Di bagian akhir, Inanna hanya menggumam. Mungkin dia tidak ingin aku mendengar bagian itu. Namun, sayangnya, aku mendengarnya.
Ya, normal sih kalau dia berkata seperti itu. Orang normal, yang tidak benar-benar mengenalku, akan mengira kalau aku memiliki kekuatan yang sangat besar. Atau, istilah gamenya, overpower. Aku tidak memungkiri kalau aku memang overpower, dengan syarat kondisinya menguntungkan untukku. Dan, menurutku, Inanna perlu mengetahui hal ini.
"Hahaha, kamu bercanda. Kalau saat itu aku menghadapimu, yang terjadi adalah aku tewas oleh seranganmu."
"Tapi–"
"Coba kamu lihat sekitar. Apa yang kamu lihat?"
Inanna tidak langsung merespon. Dia sedikit menegakkan tubuh, mungkin menoleh ke kanan kiri.
"Pohon?"
"Yap, pohon," aku membenarkan. "Lebih tepatnya, daerah ini penuh dengan halangan dan rintangan. Pada area seperti ini, tipe bertarungku memiliki keunggulan yang sangat besar. Aku juga mampu menyelamatkan ibu dan adikmu karena halangan dan rintangan yang ada di dalam bangunan saat itu."
".....jadi, sederhananya, kamu adalah master gerilya?"
Inanna menarik kesimpulan.
"Hahaha, aku tidak akan bilang master karena aku sendiri mempelajarinya dari orang lain." Aku merespon pelan. "Jadi, sekarang kamu paham kan kenapa saat itu aku mundur?"
"Saat itu, kita berada di ruang terbuka dan tampaknya senjata yang kamu bawa hanya pisau. Dengan kata lain kamu tidak ada kesempatan untuk melancarkan serangan kejutan atau gerilya, kan?"
Kamu sudah mengetahuinya, kenapa masih meminta konfirmasi?
"Ya, benar. Kalau aku diserang di saat tidak siap, sangat lah mungkin untuk membunuhku. Ada alasan kenapa di rumah kamu menemukan banyak senjata tersembunyi."
Aku terdiam sejenak, mengingat beberapa kejadian di masa lalu.
"Berbeda dengan kalian, aku tidak memiliki pengendalian. Aku tidak bisa tiba-tiba memanggil senjata yang ada di ruangan lain atau membuat benda melayang dengan mudah. Kalau ada penyusup, kalian bisa menggunakan pengendalian. Hanya berbekal itu, kalian bisa membuat banyak benda melayang, melawan penyusup. Tapi aku tidak. Tanpa bela diri dan senjata, aku sama sekali tidak berdaya."
Aku tidak mendengar respon dari Inanna. Mungkin saat ini dia berpikir kalau aku tidak sepenuhnya kuat.
Aku harap dia tidak lupa kalau pada dasarnya aku adalah seorang inkompeten, seseorang tanpa kekuatan pengendalian. Hal yang bisa kulakukan sangat terbatas, tidak seperti mereka yang memiliki pengendalian. Bahkan, aku harus bergantung pada barang antik untuk hidup.
"Tidak apa, Gin," Inanna mempererat pelukannya ke leherku, menempelkan seluruh tubuh. "Kalau saat itu datang, aku dan Inanna akan mengulur waktu hingga kamu siap. Kamu tidak sendiri."
Itu melegakan. Aku bisa merasakan wajahku mengendur, dan mungkin tersenyum.
"Terima kasih," aku menggumam.
Akhirnya, kami tiba di bangunan.
Hah? Kemana mereka? Ketika tiba, tidak ada seorang pun di tempat ini.
Aku berjalan ke tengah lapangan, dimana mereka tadi piknik, masih menggendong Inanna. Di tanah, terlihat sebuah kertas. Aku merendah sedikit dan membacanya.
'Kami tunggu di halte'
Baiklah...
"Kamu mau turun?"
"Nanti saja. Sekalian di halte."
Hah..... Ya, sudahlah. Tidak apa lah sekali-kali aku manjain calon istriku ini.
Setidaknya, mereka tidak membawa tas Inanna. Inanna pun memasukkan proyektilnya ke tas gitar itu.
Saat berjalan, aku baru ingat satu hal.
"Ah, aku baru ingat. jangan sampai tombakku menyentuh kulitmu ya."