"Kamu kerja di bagian apa di mal ini, Gin?"
"Bagian penanggung jawab pusat informasi dan keamanan."
"Hoh, cocok lah buat kamu yang telinganya dimana-mana."
"Hahaha, bisa saja kamu."
Aku mengobrol ringan dengan Kisu di kafe Ease, di sudut ruangan, dekat jendela. Kisu adalah laki-laki yang menjadi manajer kafe ini. Laki-laki ini memiliki rambut coklat sama sepertiku. Berbeda denganku yang dipotong rapi pendek, Kisu membiarkan rambutnya panjang, diikat di belakang leher, mirip seperti model rambut Ufia.
Dia adalah kakak kelasku ketika SMA. Namun, dia drop out di akhir kelas 2 SMA karena kekurangan dana. Ketika aku menawarinya beasiswa, dari uang pribadiku, dia menolak. Dia berkata, "daripada untukku, lebih baik kamu beri untuk kedua adikku.".
Kisu, selain sebagai kakak kelas, juga juara jujitsu tingkat wilayah Duke Orion. Selama SMA, setidaknya selama dia masih sekolah, aku selalu berlindung di balik namanya. Kalau ada siswa yang bermasalah denganku, dia lah yang akan datang membantuku.
Karena hal ini, banyak teman-teman SMA, lebih tepatnya kakak dan adik kelas, menganggapku pengecut. Namun, aku tidak peduli. Maksudku, saat itu aku masih cukup labil. Akan merepotkan kalau aku tiba-tiba melukai mereka atau membocorkan kemampuanku, kan?
Alasan Kisu setia padaku adalah karena aku sempat membantunya memperoleh izin bekerja paruh waktu di luar waktu sekolah. Keluarga Kisu Miskin. Ayahnya tewas karena kecelakaan. Ibunya, meski sudah bekerja membanting tulang, tetap tidak mampu memenuhi kebutuhan dua putra dan satu putri.
Di saat itu lah, aku menawarkan konsep kafe yang fokus pada teh ini. Normalnya, jika berbicara kafe, orang akan terpikirkan kopi. Namun, menurutku, teh memiliki potensi yang lebih besar di kerajaan yang tradisi tehnya lebih kentara. Kalau hanya teh biasa, tidak akan menarik. Aku menawarkan racikan antara teh, tanaman herbal, atau bahan lain. Dengan racikan yang bervariasi ini, aroma dan efek yang dihasilkan pun akan bervariasi.
Saat ini, aku mengobrol karena pertemuan awal dengan intelijen kerajaan sudah selesai. Daripada pertemuan, lebih tepat jika disebut pembagian tugas anggota Agade yang bekerja di intelijen. Selain mereka, Jeanne dan Shu En juga kuberi tugas. Tentu saja, tugas mereka berdua berbeda.
Untuk Emir dan Inanna, aku belum memberi mereka tugas. Karena mereka adalah calon istriku, mereka akan sering berada di sekitarku. Dengan kata lain, mereka adalah orang yang akan terpapar bahaya paling sering. Aku harus membuat rencana latihan khusus untuk mereka berdua.
Inanna dan Emir memiliki kekuatan tempur pada jarak jauh yang mematikan, hal ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun, mereka juga harus bisa bertarung dengan jarak dekat. Sebagai anggota Agade, mereka harus bisa menggunakan semua jenis senjata, ini sudah jelas. Meski demikian, mereka tetap membutuhkan satu senjata yang bisa memunculkan seluruh potensi mereka, seperti aku dengan tongkat.
Saat ini, Emir dan Inanna sedang berbelanja, mencari suvenir untuk Ninshubur. Akhir minggu ini giliran kami berkunjung ke rumah Selir Filial untuk kumpul rutin. Di pertemuan itu, aku berencana sekalian membicarakan progres hubunganku dengan Emir, dan juga hubungan Emir dengan keluarganya.
"Ah, padahal baru sebulan lebih kita masuk, kenapa manajemen sudah berpindah tangan?"
"Cih, kenapa sih pengecut itu selalu merepotkan."
"Tapi, itu keputusan Yang Mulia Paduka Raja. Kita tidak bisa menentangnya, kan?"
Tiga suara, yang cukup familier, terdengar. Mereka masuk ke kafe dan memilih tempat duduk yang tidak jauh dariku, hanya berjarak dua meja. Dua laki-laki itu terlihat kesal dan satu perempuan tampak berusaha menenangkan mereka.
Wajar saja mereka berada di mal ini. Aku baru mengetahui hari ini kalau mereka adalah agen schneider juga, baru direkrut bulan lalu, ketika aku bertemu dengan mereka di sini. Dan, aku juga sudah melihat latar belakang mereka.
Di belakang tiga orang itu, dua perempuan jelita berambut merah membara dan hitam berkilau berhenti di sampingku, Emir dan Inanna. Mereka membawa dua tas karton.
Tampaknya, mereka bertiga terlampau kesal hingga tidak menyadari keberadaan Emir dan Inanna. Ah, agen macam apa mereka.
"Gin, kami sudah selesai membeli suvenirnya. Ayo pulang."
"Terima kasih sudah menemani Lugalgin sementara kami berbelanja."
Sementara Emir langsung berbicara padaku, Inanna mengucapkan terima kasih pada Kisu.
"Tidak masalah, justru aku yang harus berterima kasih. Kalau kalian tidak berbelanja, dia pasti hanya akan beli teh herbal untuk dibungkus, tidak akan duduk seperti ini. Berkat kalian, aku bisa mengobrol dengannya. Apalagi, tampaknya, dia akan semakin sibuk setelah ini."
Kisu berkata enteng sambil berkedip ke arahku.
Dia selalu tajam, dari dulu. Dia pasti sudah menyadari kalau apa yang kukatakan, mengenai pekerjaanku, tidak sepenuhnya tepat. Ada alasan mengapa kafe ini semakin sukses bahkan berkembang hingga menyewa dua ruangan di kanan kiri.
Kisu sudah mencamkan ucapanku kalau Inanna dan Emir tidak mau diperlakukan seperti tuan putri. Oleh karena itu, Kisu menggunakan nada dan kata kasual ke Inanna.
"Ya, ke depannya, kalau aku sempat, atau kebetulan sedang ada istirahat, aku akan berkunjung ke kafe ini."
"Sering-sering ya."
Alasan lain aku tidak mau sering-sering mengunjungi tempat ini adalah karena khawatir. Aku khawatir Kisu, dan kafe ini, terseret ke konflik yang berhubungan denganku. Seperti sekarang.
"Jadi ini ya, rakyat jelata inkompeten yang tidak tahu diri."
Der, laki-laki dengan rambut hitam potongan rapi, berdiri di samping Kisu. Rambutnya begitu rapi dan tampak bercahaya, hasil diberi minyak.
"Dasar munafik! Kau bilang sudah menolak posisi itu. Tapi, apa ini? Kau justru mendapatkan posisi yang lebih tinggi."
Kutha, laki-laki yang dari penampilannya bukan bangsawan, rambut dan mata coklat, tapi masih bangsawan, juga ikut protes.
Tampaknya, mereka baru menyadari kehadiran kami ketika mendengar namaku diucapkan.
"Der! Kutha! Kalian di hadapan Tuan Putri Inanna!"
Perempuan dengan fitur generik tapi bangsawan, Shinar, mencoba menghentikan dua laki-laki ini.
Der melihat ke arah Inanna. "Aku tidak perlu memberi hormat pada tuan putri yang dijual oleh selir tanpa harta."
Inanna diam saja mendengar caci maki Der. Di lain pihak, Emir mengepalkan tangan. Kalau aku tidak menahan tangan Emir, dia pasti sudah menonjok wajah Der.
Aku berdiri. "Kisu, maaf ya."
"Tidak apa-apa. Santai saja."
"Kalau kalian memiliki masalah, kita selesaikan di luar."