"Aku Pinjam!" Teriak Emir dengan senyum di wajah.
Dia tidak meminjam apapun dari aku, dia meminjam logam yang dibawa oleh tiga orang ini, besi yang menandakan mereka siswa sekolah kesatria. Meski Emir berteriak "pinjam", dia mengambilnya dengan paksa dan tanpa izin.
Tiga logam melayang dari saku ketiga orang itu.
Dor Dor Dor Dor Dor
Suara tembakan terdengar. Bukan sekali atau dua kali, tapi berkali-kali. Kalau Emir tidak ada di sini, mungkin aku sudah menggunakan tubuh Shinar dan dua rekannya sebagai perisai. Namun, tampaknya, aku tidak perlu mengkhawatirkannya.
Tiga logam yang dipinjam oleh Emir berubah menjadi beberapa lempeng segi enam. Lempeng-lempeng itu bergerak dengan sangat cepat, menghalau dan menangkis semua peluru yang berusaha menghampiri kami.
Sementara itu, Inanna sudah berlari entah kemana.
"Uahhh!"
"AAAHHH!"
Dari beberapa tempat, terdengar suara teriakan kesakitan.
Aku berteriak, "INANNA! JANGAN BUNUH MEREKA YA!"
"YA!"
Sebuah balasan dari calon istriku terdengar.
Perlahan, suara tembakan yang memenuhi tempat ini semakin berkurang. Namun, tidak perlu waktu lama untuk mengembalikan kesunyian di tempat ini. Ya, tidak sepenuhnya sih. Suara teriakan dari beberapa orang yang tidak kukenal masih terdengar.
"Gin,"
"Ya?"
"Apa aku boleh ikut menyerang? Kelihatannya mereka tidak akan menggunakan senjata api lagi."
Aku menghela nafas. "Iya, sana, pergi."
"Terima kasih, Gin!"
Emir pun berlari dengan girang. Aku berharap mereka berdua tidak membunuh siapa pun. Sebenarnya, aku sangat ingin membunuh mereka semua. Namun, jika terlalu banyak darah ditumpahkan, mengendalikan intelijen Bana'an akan semakin sulit. Aku hanya bermurah hati untuk mengurangi masalah di masa depan.
Aku berharap mereka tidak melihat kemurahan hatiku ini sebagai kelemahan. Kalau mereka melihatnya sebagai kelemahan, pekerjaanku justru akan semakin sulit.
Blarr Blarr Blarr
Beberapa ledakan terdengar. Api dan asan pun membumbung tinggi.
"INANNA?"
"BUKAN AKU!"
"MAAF, GIN! ITU AKU!"
Tuhan. Ketika memasuki medan pertempuran, dua perempuan ini bisa dibilang sedikit berubah. Tidak. Aku koreksi. Mereka berubah. Bahkan, ketika bertarung, kepribadian mereka seperti bertukar. Aku sudah melihat keanehan ini semenjak mengetes mereka minggu lalu.
Ketika tes, Emir membutuhkan izin dan konfirmasi sebelum memulainya, sama seperti tadi. Di lain pihak, Inanna langsung bergerak semaunya sendiri, tanpa menunggu perintah atau aba-aba. Di saat bertarung, seolah-olah sifat bengal dan berontak Emir berpindah ke Inanna. Begitu juga sebaliknya, sifat penurut Inanna berpindah ke Emir.
Aku sedikit penasaran kenapa bisa demikian. Namun, aku juga tidak peduli sih. Aku anggap saja itu bagian dari sifat mereka. Menerima kelebihan, kekurangan, dan keanehan mereka adalah hak dan tugasku sebagai calon suami.
Normalnya, kejadian ini akan memancing banyak perhatian. Namun, sebelum meninggalkan kafe, aku sudah mengirim pesan pada Shu En untuk mengosongkan area di sekitar taman ini. Saat ini, seharusnya, sebuah berita mengenai kebocoran gas sudah muncul di televisi. Shu En dan agen schneider yang lain pasti sibuk mendikte polisi sekitar untuk mengevakuasi penduduk, menutup dan, mengalihkan jalan.
Agen schneider yang menyerang pasti juga melihat ini sebagai kesempatan. Makanya mereka terus mengirimkan orang. Awalnya, hanya ada lima belas orang yang mengikuti kami. Namun, jumlah mereka terus bertambah dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Aku duduk di tanah, menanti Emir dan Inanna menyelesaikan tugasnya.
"Shinar."
"Y-Ya?" Shinar, yang masih berdiri, menjawab dengan terbata-bata.