I am No King

Ren Igad
Chapter #55

Arc 3-2 Ch 6 - Deklarasi Perang

"Halo Gin! Kami kembali!"

Sebuah suara perempuan yang begitu semangat dan antusias menemani pintu yang terbuka. Di pintu, terlihat Emir, Inanna, dan yang lain sudah kembali.

Masuknya Emir dan yang lain secara mendadak membuat Shinar dan Ufia terentak.

"Cepat sekali. Belum ada," aku berhenti sejenak, melihat ke jam di ujung ruangan. "Jam tiga. Apa saja yang kalian lakukan?"

"Gin!" Jeanne mendatangi mejaku dengan cepat. "Kamu tidak bilang mereka sudah tahu semua lokasi dan kondisi tempat yang kami datangi. Bahkan, ada beberapa aspek yang mereka lebih paham dibanding kami. Ujung-ujungnya, kami hanya menunjukkan lokasi-lokasi itu pada Emir."

Aku terdiam dan melihat ke orang-orang di dekat pintu, yang kini berjalan dan duduk di sofa. Mereka hanya melempar senyuman padaku.

Ya, Inanna adalah agen gugalanna. Dan orang-orang dari Agade sudah bekerja denganku sebelumnya. Dan aku selalu menanamkan pada mereka bahwa informasi adalah amunisi yang sangat penting. Meski mereka tidak seahli Ibla dalam mengumpulkan informasi sih.

Di lain pihak, belum genap dua tahun sejak Emir menjadi agen schneider. Jadi, wajar kalau Emir tidak tahu banyak.

"Kamu tidak tanya. Dan lagi, aku sudah bilang kan kalau rekan-rekanku ini sudah bekerja di pasar gelap sejak lama. Jadi, wajar kalau mereka–"

"TIDAK! KAMU BELUM BILANG KALAU MEREKA BEKERJA DI PASAR GELAP!" Jeanne menyela.

"... oke, itu kesalahan di bagianku. Hahaha." Aku tertawa kecil. "Tapi, Jeanne, meskipun mereka tahu, mereka tidak pernah mengonfirmasi lokasi dan isinya, kan? Jadi, kunjungan kalian membuat mereka yakin kalau informasi yang dimiliki adalah benar. Iya, kan?"

Aku melempar pandangan ke Mulisu dan yang lain.

Mulisu memulai, "Iya, Lugalgin benar, Jeanne. Kamu membantu kamu untuk mengonfirmasi info yang kami miliki."

"Mulisu benar," Ur menambahkan. "Meskipun kami tahu kalau informasi tersebut adalah 80 persen benar, akan jauh lebih baik kalau tingkat kebenarannya mencapai 100 persen."

"Ya, benar." Mari, Simurrum, dan Uru'a mengangguk-angguk.

"Tapi...."

"Sudahlah Jeanne," Inanna meletakkan tangan di bahu Jeanne. "Kamu benar-benar membantu kami, kok. Terutama Emir karena dia tidak tahu kanan kiri sama sekali. Iya kan, Emir?"

"Iya, benar." Emir menjawab dengan cepat.

"Tapi...."

"Sudah, sudah...."

Inanna menarik Jeanne dan mendudukkannya di sofa.

Baiklah, kembali ke permasalahan.

"Jadi, Shinar, kamu masih mau mendengar alasannya? Ini hanya perkiraanku, ya."

"Ya, aku masih mau mendengarnya. Aku masih penasaran kenapa anak-anak keluarga Cleinhad dibiarkan hidup."

Aku mengembalikan arah pembicaraan ke Shinar. Ketika mendengarku berbicara dengan Shinar, entah kenapa, yang lain menjadi tenang.

"Mungkin," aku memulai jawaban. "Itu adalah cara si pembunuh mencari pengampunan."

"Mencari.... pengampunan?" Shinar sedikit memiringkan kepala.

"Kemungkinan, dia membunuh karena dendam, kan? Mungkin karena keluarga Cleinhad melakukan hal buruk pada orang yang dia kasihi. Jadi, mungkin, dia merasa berhak membalas dendam. Dan, mungkin, oleh karena itu, dia berpikir untuk memberi hak membalas dendam kepada orang-orang sepertimu, orang-orang yang dibiarkan hidup."

"Eh?"

Tanpa aku sadari, aku berkali-kali mengatakan kata "mungkin". Kali ini, aku mengatakan semua "mungkin" itu bukan karena ingin menutupi yang sebenarnya dari Jeanne, Ufia, dan Shu En, tapi karena aku sendiri ragu.

Apa aku benar-benar memberikan hak untuk membalas dendam pada mereka? Kalau itu benar, apa itu berarti aku berharap salah seorang dari mereka untuk mengakhiri hidupku? Apakah aku benar-benar mencari pengampunan?

Entahlah. Ketika aku mengingat keluarga Cleinhad dan anak-anak yang kubiarkan hidup, semua pertanyaan itu muncul. Pada akhirnya, semua itu hanyalah alasan yang kubuat untuk membenarkan Ketidaktahuanku kenapa aku hanya membunuh orang-orang yang berusia di atas 16 tahun.

"Lugalgin, apa kamu serius?"

Tidak kuduga, orang yang pertama mengkhawatirkanku adalah Mulisu. Tidak. Bukan yang pertama mengkhawatirkanku, tapi yang pertama menanyakan pikiranku, dan mungkin kondisiku. Semuanya mengkhawatirkanku. Mereka menunjukkan wajah yang masam, terutama Emir dan Inanna.

"Entahlah. Seperti yang kalian dengar, itu semua hanyalah kemungkinan. Hanyalah teori. Bahkan, teori tanpa dasar."

Diluar dugaanku, Shinar ikut murung setelah mendengar jawabanku. Di saat itu, aku bisa melihat bibirnya bergerak, menggumam, tapi tidak mengeluarkan suara. Meski dia tidak mengeluarkan suara, aku bisa membaca gerakan bibirnya.

"Maafkan kami."

Lihat selengkapnya