"Bisa tolong kartu identitas?"
"Kami semua atau cukup satu?"
"Cukup satu saja."
"Kalau begitu kartu identitasku saja." Ucapku sambil menyodorkan kartu identitas.
Resepsionis itu mengetik namaku dengan cepat. Setelah selesai, aku diberi sebuah kartu dengan nomor sebagai ganti kartu identitas.
"Kartu identitas Anda akan dikembalikan nanti setelah Anda mengembalikan kartu ini. Untuk ruangan nona Illuvia, Anda cukup menggunakan lift hingga ke lantai lima lalu ke kiri. Di kanan lorong, Anda akan menemui kamar nomor 504."
"Terima kasih,"
Aku memasukkan kartu bernomor itu ke saku jaket dan berjalan ke kiri, menuju lift. Bersama denganku, Emir dan Inanna juga menjenguk. Kalau datang seorang diri, aku khawatir akan memberi harapan palsu pada Illuvia. Oleh karena itu, aku mengajak Emir dan Inanna yang adalah calon istriku. Aku tidak peduli meskipun dia akan kecewa karena aku tidak sendirian.
Karena aku sudah mengenakan sarung tangan kulit, aku bisa menekan tombol lift tanpa khawatir mematikan fungsinya.
Kami bertiga pun masuk ke dalam lift. Di dalam lift, Inanna terus memperhatikanku, hingga akhirnya dia pun mengeluarkan pertanyaan.
"Kamu tahu, gin. Aku hampir tidak pernah memperhatikan, tapi kamu hampir selalu mengenakan sarung tangan, ya? Tapi, tidak selalu."
"Lalu?"
"Bagaimana kamu memutuskan kapan harus memakai sarung tangan?"
Aku jadi ingat pada pertanyaan Emir. Beberapa hari setelah Emir tinggal satu atap denganku, dia juga menanyakan hal yang sama. Maka, kali ini, aku juga akan memberi jawaban yang sama.
"Normalnya, aku akan selalu membawa sarung tangan di kantung jaket atau celana. Ketika masuk ke tempat umum, dimana mesin rotasi dengan pengendalian adalah vital seperti lift atau elevator, ketika di mal atau rumah sakit, aku akan mengenakan sarung tangan. Kalau hanya di taman, tidak."
"Heh, begitu ya."
"Tapi, untuk saat seperti sekarang, ketika mendekati musim dingin, aku akan lebih sering mengenakan sarung tangan walaupun berada di taman."
Sudah hampir akhir tahun. Daun-daun masih berguguran, dan salju pun baru muncul bulan depan, setelah pergantian tahun. Meski demikian, suhu sudah mulai menurun.
Ting
Akhirnya lift berhenti dan kami pun keluar. Kami mengikuti petunjuk resepsionis dan berjalan ke kiri, menyusuri lorong dengan dinding di kanan dan jendela di kiri, hingga menemui kamar nomor 504. Begitu tiba di depan pintu, aku pun mengetok pintu.
Tidak terdengar jawaban atau respon dari dalam ruangan, tapi, dalam waktu singkat, pintu dibuka. Di depan mataku, berdiri seorang perempuan setengah baya dengan yang lebih pendek dariku mengenakan pakaian pelayan.
"Eh? Lugalgin? Kok kamu..."
Nerva tidak mampu menyelesaikan kalimatnya. Dia hanya melihat ke kanan kiri sambil menggigit kuku.
"Bagaimana kondisi Illuvia?"
"Ah, Nona Illuvia sedang tertidur. Namun, kalau kamu mau masuk, silakan."
Meski tampaknya kedatanganku tidak diharapkan, dia tetap mempersilakanku masuk. Kami bertiga pun masuk ke ruangan.
"Permisi."
"Maaf mengganggu."
Emir dan Inanna mengucapkan salam dengan suara pelan, memastikan tidak mengganggu Illuvia yang sedang tertidur.
"Eh?"
"Ya?"
"Ah, maaf. Hanya saja, Anda mirip sekali dengan Nona Illuvia."
"Lugalgin juga mengatakan hal yang sama. Aku juga penasaran dengan teman Lugalgin ini."
Nerva memberi respon yang normal ketika melihat Inanna.
Ruangan ini adalah kamar rawat VIP. Terdapat kamar mandi tepat setelah pintu masuk. Lalu, setelah itu, ada sofa dengan meja rendah, terletak di samping ranjang pasien. Di depan ranjang pasien, terdapat sebuah televisi layar lebar. Di samping kirinya, terdapat sebuah jendela yang terhubung dengan balkon, yang kordennya tertutup.
Sesuai ucapan Nerva, Illuvia tertidur. Dia mengenakan pakaian pasien berwarna putih yang mudah dilepas. Jika tangan kanannya terlihat normal, tangan kirinya tidak. Sikunya ditekuk dan digantungkan ke bahu kanan. Karena pakaian pasien adalah lengan pendek, aku bisa melihat perban yang terbuat dari logam melilit tangan kiri Illuvia.
"Wah, dia benar-benar mirip denganmu, Inanna."
"Iya, kamu benar. Rasanya seperti melihat diriku di cermin."
"Apa jangan-jangan, kalian saudara kembar yang terpisah saat lahir?"
"Ha...ha.... aku tidak bisa benar-benar tertawa karena bisa jadi itu benar, melihat kemiripan wajah kami."
Emir dan Inanna berbisik-bisik, memastikan suaranya tidak membangunkan Illuvia. Namun, aku mendengar semua ucapan mereka.
Sebelumnya, karena penasaran, aku iseng melakukan uji coba DNA dengan menggunakan rambut mereka berdua. Dan, hasilnya adalah, mereka tidak memiliki hubungan darah. Bagaimana aku bisa memiliki rambut Illuvia? Ya, sudahlah. Tidak usah dibahas bagaimana aku bisa memiliki rambutnya.
"Tulang di bahu kiri nona Illuvia hancur. Namun, setidaknya, tidak ada tulang yang perlu digantikan dengan tulang sintetis. Operasi sudah selesai kemarin untuk menyusun letak tulang dan memasang pen. Saat ini, leher nona Illuvia tidak boleh menahan beban apapun selain kepalanya sendiri. Karenanya, tangan kiri nona Illuvia digantung ke bahu kanan."
Tanpa aku meminta, Nerva sudah memberi penjelasan.
"Berapa lama hingga dia sembuh?"