"Kenapa kamu memiliknya, Gin? Dan, kenapa kamu meletakkannya di dalam peti arsenal?"
"Rahasia," aku menjawab Mulisu dengan sebuah senyum.
Meskipun aku menjawab Mulisu dengan nada enteng, aku berani menjamin pikirannya sudah merambah semua tempat. Bahkan, pertanyaannya memberi indikasi kalau dia sudah mulai menduga kenapa aku memiliki serum pembangkit ini.
"Ibla, tolong beberapa sabuk. Ikat kepala, dada, bahu, perut, dan pangkal paha Mulisu. Tambah juga sumpal mulut. Lepaskan infus di tangannya dan ganti dengan perban dan kapas."
"Hah?"
"Siap!"
Sementara Mulisu masih bingung, Ibla melaksanakan perintahku dengan cepat.
Untuk yang lain....
"Selain aku dan Ibla, segera tinggalkan ruangan ini!"
Meski baru datang, Inanna dan Emir menurut dan berjalan menuju luar ruangan. Di lain pihak, Illuvia protes.
"Tunggu dulu! Apa yang akan kamu lakukan, Gin?"
"Kamu tidak perlu tahu. Cepat keluar!"
Aku menjawab Illuvia dengan kasar. Bahkan, aku menepuk bahu kirinya, membuatnya merintih kesakitan.
"Nerva, bawa dia keluar sebelum aku berbuat lebih kasar."
"Ba, baik..."
Nerva langsung membawa Illuvia yang merintih kesakitan. Dia hanya melempar pandangan ke arahku untuk sejenak.
Ibla menutup pintu. Kini, yang ada di dalam ruangan ini hanya kami bertiga.
"Kenapa kamu berlaku kasar pada Illuvia?"
"Menurutmu?"
Mulisu hanya tertawa kecil setelah mendengar jawabanku.
Aku tidak akan mengatakannya, tapi aku berhutang pada Illuvia, seperti aku berhutang pada Arde dan Maila. Mereka memberi masa SMA ku ingatan yang indah, tidak seperti sebelum-sebelumnya. Aku bersyukur karena masih bisa merasakan yang disebut sebagai 'masa muda'.
Kalau Illuvia terus menaruh hati padaku, dia akan terlibat pada perang mafia yang akan terjadi antar enam pilar dan intelijen negara. Yang akan terseret bukan hanya dia, tapi juga keluarganya, dan juga dua teman baiknya yang adalah Arde dan Maila. Setidaknya, dengan dia menjauh dariku, kemungkinan untuk dia terlibat di perang ini akan lebih kecil.
Dan, alasan lain adalah, aku tidak mau menambah istri. Praktik poligami adalah hal yang lumrah di Mariander dan Bana'an. Bahkan, kalau aku mau, aku bisa memiliki istri lebih banyak dari Fahren. Tidak ada yang melarangnya. Namun, aku rasa, mentalku tidak akan bisa menanganinya. Emir dan Inanna sudah lebih dari cukup bagiku.
Akhirnya, Mulisu sudah terikat dengan rapat di ranjang pasien. Kalau kakinya tidak lumpuh dan kemampuan motorik tangannya berkurang drastis, Ibla sudah aku suruh mengikatnya juga.
"Kamu tidak menanyakan kenapa aku tampak terburu-buru?"
"Jadi, kenapa?"
Dan dia baru menanyakannya.
"Kasus orang dewasa kehilangan pengendalian sangat langka. Serum pembangkit pun tidak memberi jaminan. Beberapa gagal dibangkitkan, beberapa berhasil."
"Jadi, ada kemungkinan serum itu tidak akan berfungsi?"
"Ya. Untuk menekan kemungkinan gagal, tampaknya, serum ini harus diberikan ketika kondisi orang itu belum prima atau sakit. Dengan kata lain, obat ini hanya akan bekerja kalau aku memberinya padamu ketika kamu lemah. Semakin dekat dengan kematian, persentase keberhasilan akan meningkat."
Hasil penelitian yang kubaca menyatakan semakin lemah tubuh seseorang, semakin mudah tubuh orang itu menerima efek benda asing. Dalam hal ini, serum pembangkit adalah benda asing. Kalau tubuh orang itu sudah sehat, antibodinya akan menangkal serum ini.
"Hooh, jadi kalau kamu memberinya padaku kemarin, kemungkinan berhasilnya masih sangat tinggi ya?"
"Iya, benar," aku mengonfirmasi ucapan Mulisu. "Saat aku datang, sebenarnya aku berharap kamu masih belum sadarkan diri. Dengan demikian, persentase keberhasilan masih cukup tinggi. Karena kamu sudah sadarkan diri, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi atau kamu akan sehat duluan."
"Lalu, kenapa aku diikat seperti ini?"
"Menurut hasil penelitian, kamu akan merasakan rasa sakit yang amat sangat. Jadi, kami harus mengikat tubuhmu agar kamu tidak melukai dirimu sendiri. Semakin sehat, rasa sakitnya akan semakin tinggi karena penolakan dari tubuh."
Aku penasaran, apakah rasa sakit yang mereka rasakan sama dengan rasa sakit yang kuterima?
"Ini Gin."
Ibla memberiku sebuah kotak. Aku membuka kotak ini dan melihat sebuah kayu yang di ujungnya terpasang tali. Benda ini adalah kayu yang biasa digunakan untuk menyumpal mulut.
"Kamu tidak ada yang terbuat dari besi dilapisi kain tebal? Kalau kayu, ada kemungkinan Mulisu akan menghancurkannya. Pecahan kayu bisa melukai mulut atau tenggorokannya. Kalau masuk ke tenggorokan, bisa membunuhnya."
"Sayangnya tidak ada. Penyumpal mulut yang aku miliki hanya untuk penyiksaan."
Oke. Kita tidak bisa menggunakannya. Aku melempar kotak ini dan membiarkan Ibla menangkapnya.
"Kalau hanya kain, masih kurang. Kamu bisa melukai bibirmu. Darah yang masuk ke tenggorokan bisa mencegahmu bernafas, menewaskanmu. Jadi..."
Aku berdiri di belakang kasur, di atas kepala Mulisu.
"Mulisu, tolong buka mulutmu,"
Mulisu membuka mulut.
Aku meletakkan tangan kiri, yang berlapis jaket kulit, di mulut Mulisu. Di tangan kananku, sebuah syringe sudah siap. Namun, syringe itu diambil oleh Ibla.