Ahh, akhirnya, kasur.
Siang ini tidak banyak event yang terjadi. Hanya beberapa orang dari fraksi oposisi mencoba membunuhku, yang malah terbunuh olehku dan Inanna. Sayangnya, semua yang terbunuh berasal dari satu keluarga yang sama. Kalau begini, hanya satu keluarga yang akan terpancing.
Di lain pihak, aku cukup kerepotan dengan hilangnya kekuatan Mulisu. Untung aku cepat datang. Setelah dia lumpuh dan kekuatannya bangkit kembali, aku penasaran apakah dia akan semakin kuat atau semakin lemah. Namun, untuk Mulisu.... ya, mungkin aku akan mengurusnya minggu ini juga. Mungkin.
Daripada itu, aku penasaran dengan Emir dan Inanna. Sejak tadi siang, sejak serangan itu, mereka terus berbisik-bisik. Aku kira mereka marah atas apa yang kulakukan pada Inanna dan meminta maaf.
"Tidak, aku tidak marah. Hanya saja, lain kali, jangan di depan umum ya."
Dan, itulah respon Inanna.
Dari nadanya, aku sama sekali tidak mendengar atau bahkan mendapatkan indikasi atau kode kalau dia marah. Ada sesuatu yang lain.
Tok tok
"Gin? Kamu sudah tidur?"
"Belum. Pintunya tidak aku kunci. Masuk saja kalau mau."
"Terima kasih."
Inanna membuka pintu dengan perlahan.
Aku melihat Inanna yang berdiri mengenakan piama kuningnya. Kali ini, anehnya, dia tidak mengenakan piama lengkap seperti biasa. Entah kenapa, kali ini, dia hanya mengenakan atasan piama dan celana dalam, tanpa bra, seperti Emir. Sama seperti Emir, dia juga tidak mengaitkan tiga kancing dari atas. Jadi, aku bisa melihat belahan dadanya.
Rambut hitam Inanna tampak begitu berkilau. Samar-samar, aku bisa mencium bau harum. Apa dia baru mandi? Dugaanku semakin kuat ketika melihat tubuhnya yang terlihat agak lembap. Di lain pihak, wajahnya agak memerah.
Kalau aku tidak peka, aku akan menganggap dia masuk angin atau sakit. Namun, aku tidak sebuta itu. Aku benar-benar tahu maksud dan keinginan Inanna. Tapi, dengan kepribadiannya yang malu-malu, dia tidak akan pernah memintanya secara langsung. Mengirimkan kode adalah hal terbaik yang bisa dia lakukan.
"Inanna, tidak biasanya kamu mengenakan piama seperti itu."
"Ah, ti, tidak apa-apa. Aku hanya ingin mencobanya. Aku melihat Emir, kok kelihatannya nyaman."
"Heh... Jadi, bagaimana? Nyaman tidak?"
"Hehe, jujur, ini nyaman sekali."
Dia mengatakannya sambil menarik piama yang menutupi dadanya, memberi lebih banyak eksposur. Kalau dia menariknya lebih jauh lagi, aku bisa melihat putingnya dengan jelas.
Sekuat tenaga, aku berusaha mengabaikan semua kode yang dia berikan.
"Baguslah kalau itu nyaman untukmu. Namun, ingat, kamu hanya boleh seperti itu di rumah ini ya. Kalau sedang menginap di hotel jangan."
"I, iya, aku juga sadar kok."
Setelah respon itu, suasana menjadi hening untuk sesaat. Dengan poker face, aku berusaha terus menatap ke wajah Inanna.
Inanna, yang menyadari wajahnya kulihat terus, membuang pandangan. Wajahnya semakin merah. Jujur, reaksinya yang malu-malu tersipu itu tampak begitu manis.
"Ngomong-ngomong, kalau habis mandi jam segini, terasa panas sekali ya."
Inanna mengatakan itu sambil membuka satu kancing lagi. Kini, hanya satu kancing yang menahan piama Inanna, tepat di depan pusarnya.
Ugh, ini bukan kode lagi. Ini sudah instruksi. Dia benar-benar go all out. Dan, tidak bisa kupungkiri, aku sudah tegang.
"Oya, apa obatnya sudah bereaksi?"
"Hah? Obat?"
Tiba-tiba saja, dari balik pintu, muncul kepala Emir. Sama seperti Inanna, rambut merahnya tampak berkilau. Namun, dia jauh lebih berani daripada Inanna. Kalau Inanna masih ada satu kancing terkait, Emir sama sekali tidak mengancingkan piamanya, membiarkan tubuh bagian depannya terlihat dengan jelas. Kulitnya pun tampak sedikit berkilau, sama seperti rambutnya.
Aku terpaku pada kata Obat yang dikatakan oleh Emir.
"Obat? Jangan-jangan..."
"Yap, benar. Sebenarnya, Inanna tidak mencoba bumbu baru. Yang dia masukkan adalah obat perangsang yang kumiliki."
Oke, itu tidak lucu. Aku memiliki beberapa pertanyaan, seperti dari sejak kapan Emir memiliki obat perangsang, kenapa dia memilikinya, dan lain sebagainya.
"Obat itu tidak langsung bereaksi, tapi butuh waktu sekitar dua sampai tiga jam. Namun, tentu saja, ada cara lain untuk membuatnya bereaksi lebih cepat, yaitu dengan meningkatkan tensimu. Dengan kata lain, kami mencoba merangsangmu melalui pandangan, seperti sekarang."
Sambil mengatakan itu semua, Emir masuk ke kamarku. Dia menarik Inanna. Perlahan, dia menutup pintu.
"Ah, Emir, bisa tolong kamu pikirkan baik-baik? Kamu masih putri dari Fahren, Raja kerajaan ini. Kalau kamu hamil sebelum menikah, akan repot, kan?"
"Hehehe, tidak masalah. Aku memang putri, anak perempuan, dari ayah. Namun, aku bukan lagi tuan putri. Jadi, tidak akan ada yang memperhatikan atau pun sadar."