Aku masih bisa mengingat pertemuan itu seperti kemarin. Di siang itu, ketika sedang mencari tempat makan siang, aku melihat sosok seorang perempuan, mengenakan celana pendek dan blus biru, berjalan dengan banyak kantong plastik. Bukan satu. Bukan dua. Dia membawa enam kantong plastik di kedua tangan.
Rambut coklat panjangnya terlihat begitu halus, terburai, bagaikan sutra yang ditiup oleh angin. Mata coklat, bulat bola pingpong, yang menunjukkan sebuah cahaya yang tidak pernah aku lihat. Namun, dari semua itu, yang paling memukauku adalah senyumnya. Meskipun dia tampak kesusahan dan kelelahan, dengan pakaian basah karena keringat, senyum masih terkembang lebar di wajahnya.
Untukku yang sejak kecil dimusuhi oleh keluarga besar dan tetangga, aku penasaran apa yang membuatnya dapat tersenyum begitu lebar. Namun, hal itu aku kesampingkan.
Di saat itu, ketika dia lewat di depan, aku langsung meraih tangan kirinya dan mengambil tiga tas plastik.
"Eh?"
"Pasti berat, kan? Biar aku bantu."
"Eh? Ah? Terima kasih."
Dia sempat kehilangan senyum ketika aku mengambil tas plastik di tangannya. Namun, senyum itu kembali muncul ketika kami berjalan ke satu arah.
"Siapa kamu? Aku belum pernah melihatmu di sini."
"Namaku Lugalgin Alhold. Aku sedang mengisi waktu sebelum nanti sore harus menjemput adikku."
"Ah... Alhold? Maksudmu dari keluarga Alhold itu?"
"Ya, dari keluarga Alhold itu. Tapi jangan salah sangka. Aku bukanlah anak berbakat atau spesial. Aku seorang inkompeten, aku tidak memiliki pengendalian."
"Ah... maaf."
"Tidak apa."
Saat itu, aku menyadari kalau dia meminta maaf setelah memperhatikan tubuhku yang penuh bekas luka dan memar.
Suasana menjadi sedikit canggung setelah itu. Namun, dalam perjalanan, aku berhasil mendapatkan informasi mengenainya. Nama perempuan itu adalah Tasha. Saat itu, aku berusia 8 tahun dan dia 10 tahun, lebih tua dua tahun dariku. Dia tidak memiliki nama keluarga karena yatim piatu. Saat itu, dia tinggal di panti asuhan dengan belasan anak lain.
Panti asuhan tempat Tasha tinggal bukanlah bangunan tua dan setengah hancur seperti di film yang penuh dengan klise. Namun, tidak juga mewah. Hanya rumah luas normal. Bahkan, kalau tidak ada papan yang menuliskan "Panti Asuhan Sargon", aku tidak akan pernah tahu kalau bangunan ini panti asuhan.
"Kakak kembali!"
"Kak Ta–"
Aku masih ingat ekspresi anak-anak di panti asuhan itu yang terdiam ketika melihatku. Padahal, mereka sudah setengah menyapa Tasha.
"Ah, perkenalkan, anak laki-laki ini adalah Lugalgin. Dia... kesepian. Jadi, aku mengajaknya main kesini."
Dengan kebohongan, Tasha berhasil membuat anak-anak menerimaku. Aku cukup terkejut bagaimana anak-anak di tempat itu bisa menerimaku dengan mudah. Maksudku, aku tidak pernah diterima oleh keluarga Alhold. Bahkan, di sekolah, aku harus menunjukkan sebuah pencapaian baru bisa diterima.
Saat itu adalah pertama kalinya aku bisa diterima oleh seseorang begitu saja. Selain Ninlil, ibu, dan ayah tentu saja.
Anak-anak di panti asuhan itu masih kecil. Selain Tasha, yang paling tua masih satu tahun lebih muda dariku. Untuk pengurus, hanya ada satu ibu-ibu setengah baya, bernama Bu Aria, dan Tasha. Meski Tasha adalah penghuni panti asuhan itu, dia juga menjadi pengurus karena memang kekurangan tenaga.
"Biar aku bantu masak. Memasak untuk anak sebanyak ini akan merepotkan, kan?"
"Eh? Tapi–"
"Bayar saja aku dengan makan siang. Aku tadi sebenarnya sedang cari makan.
Tasha kembali tersenyum. "Baiklah, kalau itu maumu."
Di siang itu, aku membantu Tasha memasak. Selain membantunya memasak, aku juga memotong-motong sayuran yang tidak dimasak, meracik bumbu, dan menggiling daging yang dicampur dengan bumbu dan sayur.
Sayuran yang sudah dipotong cukup ditambahkan dengan bumbu dan direbus. Lalu, daging giling bisa langsung digoreng sebagai lauk. Dengan demikian, Tasha tidak akan kerepotan untuk malam itu dan keesokan paginya.
Setelah memasak, aku diajak makan siang bersama anak-anak. Kami semua makan di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar, tapi cukup untuk semua anak-anak makan bersama.
Aku makan bersama Tasha dan bu Aria. Kami makan dengan normal. Sedikit percakapan tanpa arah atau arti kadang muncul, tapi mereka tidak pernah menanyakan latar belakang atau keadaanku. Ya, bekas luka dan memar yang ada di sekujur tubuh sudah memberi sedikit gambaran, sih.
Namun, meskipun suasana makan normal, aku tidak bisa berhenti tersenyum. Sebelumnya, aku hanya memiliki tiga tempat makan yaitu di rumah, di luar, atau di sekolah.
Ketika makan di rumah, ayah dan ibu tidak pernah berbicara. Namun, itu masih mending karena mereka terkadang keluar dari ruang makan hanya untuk bertengkar.
Kalau di luar, aku akan makan di restoran seorang diri. Tidak jarang ada orang mencoba memerasku. Maksudku, anak kecil, makan sendirian di rumah makan. Orang-orang pasti mengira aku punya banyak uang untuk diperas. Aku tidak pernah merasa aman ketika makan di luar.
Yang ketiga adalah di kamar mandi. Bekal makanan ringan, yang kubawa untuk jam istirahat, tidak pernah bisa kumakan di kelas. Kalau dikelas, pasti ada anak dari keluarga Alhold yang tiba-tiba mengambil makananku lalu membuangnya. Jadi, pilihan jatuh pada kamar mandi.
Teman-teman yang tidak memusuhiku, meski merasa iba, tidak berani terlibat begitu saja. Meski mereka tahu aku tidak salah, aku adalah anak bermasalah yang sering bertengkar dengan murid maupun guru.