Beberapa hari kemudian, aku keluar rumah sakit. Ketika keluar rumah sakit, ibu tidak membawaku ke kompleks perumahan Alhold tapi ke arah lain. Saat itu adalah pertama kalinya aku menapakkan kaki di rumah yang baru, rumah yang kini ditempati ibu, ayah, dan Ninlil. Dengan kata lain, rumahku sebelum tinggal dengan Emir dan Inanna.
Sejak saat itu, ayah lebih menurut pada ibu dibandingkan keluarga besar.
Aku dan Ninlil pun pindah sekolah. Yang, sayangnya, masih ada keluarga Alhold. Namun, mereka tidak seagresif dulu. Dan, di lain pihak, teman-temanku kini lebih vokal ketika menentang keluarga Alhold.
Aku sempat mendengar tetangga membicarakan mengenai kasusku. Tampaknya, kasusku akan dibawa ke pengadilan atas kekerasan terhadap anak di bawah umur. Namun, saat itu pengaruh keluarga Alhold masih besar, jadi kasusku tidak pernah mencapai pengadilan. Sebagai gantinya, rumor beredar luas bahwa keluarga Alhold memperlakukan anak-anak dengan sangat buruk.
Rumor tersebut mencemari nama keluarga Alhold. Karenanya, banyak bisnis keluarga Alhold yang gulung tikar. Keluarga Alhold, yang sebelumnya disegani sebagai keluarga dengan kekayaan melimpah, berubah menjadi keluarga dengan kondisi ekonomi pas-pasan. Hal itu juga lah yang membuat teman-teman sekolahku lebih berani terhadap keluarga Alhold.
Di lain pihak, ibu menjadi sangat kaya. Bahkan, ayah bisa memiliki rumah sakit berkat campur tangan ibu.
Menurutku, kehancuran keluarga Alhold adalah hal yang tak terhindarkan. Di saat itu, keluarga Alhold memiliki masalah dengan beberapa bangsawan lokal.
Kalau aku pikir-pikir, saat itu, tanpa disadari aku mulai membuat rencana di kepalaku. Ketika aku pergi ke rumah sakit, sendirian dengan lengan patah, dokter dan perawat pasti memanggil polisi. Dengan kata lain, aku berharap polisi turun tangan dalam kasus itu.
Polisi, yang mengetahui aku berasal dari keluarga Alhold, bersemangat mencari informasi. Aku berani bilang polisi tersebut mencoba menguak semua sejarah hitam keluarga Alhold, dan kebetulan aku lah sejarah hitam itu.
Meskipun tidak bisa diajukan ke pengadilan, tapi dengan bantuan bangsawan, nama baik Alhold dapat dihancurkan. Ditambah ibu dan Akadia, nama baik Alhold tidak terselamatkan sama sekali.
Namun, seperti yang kukatakan sebelumnya, semua itu terjadi begitu saja. Antara instingku sebagai ahli strategi mulai muncul karena terpojok, atau itu semua murni kebetulan.
Satu bulan setelah aku diserang, tanganku sudah hampir sembuh. Dokter cukup terkejut karena normalnya butuh beberapa bulan hingga patah tulang bisa sembuh. Meski demikian, untuk berjaga-jaga, aku masih disuruh menggunakan perban di bahu dan lengan.
Waktu satu bulan, ketika tanganku hampir sembuh, adalah waktu yang sangat kunantikan. Saat hampir sembuh, baru ibu dan Ninlil memperbolehkanku pergi sendirian. Begitu aku mendapatkan waktu sendirian, aku langsung naik bus, menuju pinggir kota.
Aku datang di jam yang sama seperti sebelumnya. Aku tidak tahu apakah hari itu adalah hari berbelanja. Dan, sayangnya bukan. Karena bukan hari belanja, aku pun berjalan ke panti asuhan.
Sepanjang perjalanan, warga sekitar menyapa.
"Hai, Lugalgin, lama tidak jumpa."
"Tanganmu kenapa?"
"Mau menemui Tasha?"
Dan sebagainya. Aku pun menjawab singkat pertanyaan mereka. Karena mereka paham aku ingin segera menemui Tasha, mereka membiarkanku segera pergi.
Akhirnya, aku mencapai pagar panti asuhan. Namun, aku tidak langsung membukanya.
Dalam sebulan, kondisi keluargaku membaik. Ibu tidak sestres dulu. Ninlil pun mulai berkomunikasi dengan ibu dan ayah. Namun, meski demikian, aku merasa ada yang kurang.
Sebelum ibu dan ayah membuatku merasa diterima, selain Ninlil, Tasha dan panti asuhan Sargon sudah menerimaku apa adanya. Mereka memberi kenyamanan yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Bahkan, tidak berlebihan kalau aku menganggap mereka adalah keluargaku sebelum ibu dan ayah.
Ya, mereka adalah keluargaku. Aku ingin kembali merasakan hari-hari itu. Benar-benar ingin. Terutama Tasha. Aku ingin melihat senyumnya lagi. Aku ingin mendengar dia berkata, "Ah, selamat datang Lugalgin," dengan tangan terbuka. Dengan sepenuh hati, aku menjulurkan tanganku, mencoba membuka pagar.
Namun, belum sempat tanganku menyentuh pagar, tanganku terhenti. Entahlah, aku takut. Sudah sebulan aku tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Aku takut mereka akan marah. Lebih parah, aku takut mereka sudah melupakanku. Tanpa aku sadari, aku berdiri cukup lama di depan pagar, tanpa melakukan apa pun.
Aku takut, ketika aku masuk mereka akan berkata, "Maaf, ada perlu apa, ya?". Aku benar-benar takut. Tanpa aku sadari, tangan kiriku pun kembali turun. Aku hanya tertunduk.
Padahal, sebelum bertemu Tasha, aku terbiasa sendiri. Aku terbiasa menghabiskan keseharian dengan bertengkar, melawan keluarga Alhold. Aku pun tidak pernah keberatan kalau tidak memiliki teman atau harus hidup seorang diri. Namun, kini, aku tidak menginginkannya. Aku tidak ingin berpisah dengan Tasha.
"Lugalgin?"
"Eh?"
Sebuah suara yang begitu indah menggema di telingaku. Aku tidak mungkin salah. itu adalah suara yang begitu kunanti-nanti. Suara yang begitu kurindukan.
Perlahan, aku mengangkat wajah, melihat ke balik pagar. Dan, benar, seorang perempuan berambut coklat yang lembut bagaikan sutra sudah terlihat. Mata bulatnya terus memandangku, yang perlahan berkaca-kaca.
"Ah, Ta, Tasha. Ma-maafkan aku. Sebulan ini aku–"
"Lugalgin!"
Tanpa menungguku menyelesaikan ucapan, Tasha membuka pagar. Dengan cepat, dia melompat, meraih tubuhku dalam pelukannya.
"Aku merindukanmu, Lugalgin. Maaf aku karena tidak bisa menjengukmu."
Hah?
"Menjenguk?"
Tasha melepaskan pelukannya. "Iya, aku mendengar rumor kalau tangan kananmu patah karena perlakuan buruk keluarga Alhold."
Ketika Tasha melihat ke lengan kananku, matanya semakin berkaca-kaca. Tidak hanya berkaca-kaca, bahkan air mata sudah mengalir. Dia kembali memelukku.
"Maafkan aku, Lugalgin."
Saat itu, tanpa berpikir, tubuhku bergerak dengan sendirinya. Aku meraih tubuh Tasha dengan tangan kiri, membelai punggung Tasha.
"Kamu tidak salah apa pun. Kamu tidak perlu meminta maaf. Justru aku ingin berterima kasih karena kamu sudah bersedia menunggu dan menyambutku. Aku benar-benar berterima kasih."
"Lugalgin...."
Di saat itu waktu terasa terhenti. Berada dalam pelukan Tasha, aku merasa begitu tenang dan damai. Dengan tubuhku, aku bisa merasakan kehangatan tubuh Tasha yang perlahan merambah. Aku ingin momen itu bertahan untuk selamanya.
Namun, sayangnya, tidak.
"Akhirnya! Kak Lugalgin dan Kak Tasha Jadian."
"Suit suit."
"Akhirnya!"
Suara anak-anak dari dalam panti asuhan memecahkan suasana. Tasha yang sadar menjadi tontonan pun langsung melepaskanku. Dia membuang mukanya yang merona.
"Sudah, sudah, jangan ganggu Kak Tasha dan Kak Lugalgin," Bu Aria bertutur di belakang anak-anak. "Ayo, Lugalgin, kita makan siang bersama."
"Baik Bu Aria."
Siang itu, sejak sebulan yang lalu, aku kembali menghabiskan makan siang dengan Tasha dan penghuni panti asuhan Sargon.
Setelah itu, hari-hari berjalan normal. Tidak! Aku harus bilang, hidup berjalan indah. Di pagi sampai siang, aku menghabiskan waktu di sekolah. Meski terkadang ada anak keluarga Alhold yang menggangguku, saat itu teman-temanku bersedia menolong.
Di siang hari, aku pergi ke panti asuhan Sargon, menghabiskan waktu dengan Tasha dan para penghuni.
Di sore hari, aku menjemput Ninlil. Dulu, Ninlil tidak memiliki satu pun teman. Dia akan selalu bertengkar dengan temannya ketika mereka mengatakan aku adalah sampah dan aib keluarga Alhold. Kini, teman-teman Ninlil mampu menerima Ninlil, dan aku, apa adanya. Oleh karenanya, dia sekarang memiliki teman.
Di saat makan malam, kami membicarakan hari yang telah kami lalui. Ibu mampu mendengar cerita kami di sekolah dengan senyum lebar. Ninlil pun semakin dekat dengan ibu. Untuk ayah, saat itu Ninlil belum terlalu dekat dengan ayah.
Setelah makan, aku mengerjakan tugas sekolah dan belajar. Terkadang, Ninlil datang ke kamarku, meminta bantuan mengerjakan tugas.
Hari ke hari, aku pun semakin dekat dengan Tasha. Akhirnya, ketika aku menginjak bangku SMP, aku memberanikan diri, menyatakan perasaan pada Tasha yang sudah kelas 3 SMP. Dia menerima pernyataan cintaku. Akhirnya, setelah empat tahun bersama, aku resmi menjadi pacar Tasha.
Meski tidak kami tidak satu SMP, aku tetap bahagia. Seringkali, di malam minggu, aku meminta izin untuk pergi keluar. Aku tidak pernah mengatakan kalau aku pergi kencan dengan Tasha. Bahkan, aku belum pernah menyebutkan mengenai panti asuhan Sargon ke orang lain.
Meski aku berkali-kali keluar di malam minggu, ibu tidak pernah mengejar alasannya. Mungkin ibu menyadari kalau aku sudah punya pacar dan membiarkannya.