I am No King

Ren Igad
Chapter #75

Arc 3-3 Ch 2 - Serangan Keluarga Alhold

"Jadi, apa yang akan kamu lakukan, Gin?"

"Sebentar, aku mau telepon dulu." Aku meletakkan handphone di telinga. "Ngomong-ngomong, kalau kita terobos langsung tidak bisa?"

"Aku merasakan rantai paku di depan. Kalau aku tancap gas, ban mobil meletus. Kalau meletus, kita butuh waktu setidaknya tiga puluh menit hingga mobil baru menjemput kita."

Sebenarnya, aku bisa bilang Emir saja yang mengantar pulang. Namun, kasihan juga aku kalau meninggalkan dia di tengah jalan seperti ini.

Ah, akhirnya teleponku diangkat.

[Halo. Ada apa Lugalgin.]

"Ayah, saat ini, setidaknya ada 25 orang anggota keluarga Alhold menyerangku. Karena mereka menyerangku, aku anggap 25 orang ini boleh aku bunuh, KAN?"

[Eh? Apa?]

"Ayah punya waktu tiga menit untuk menghentikan serangan mereka dan membersihkan jalan dari paku yang disebar. Kalau tidak, akan ada kiriman 25 tubuh tak bernyawa ke kompleks kediaman Alhold besok pagi."

"Eh? Ti–"

Aku menutup telepon, tidak mendengar ucapan ayah sampai selesai. Dia pasti ingin mengeluh, bilang tiga menit tidak cukup. Padahal, kalau dia telepon, dia seharusnya bisa menghentikan serangan ini. Itu kalau mereka menurut.

"Heh, aku mendengar rumor kalau kamu tidak akrab dengan ayahmu, tapi ini pertama kalinya aku melihatnya secara langsung."

"Aku masih menghormati dia sebagai ayah. Namun, kalau sudah urusan dengan keluarga besar Alhold, itu lain."

Aku menanggapi Shu En dengan enteng sambil membuat sebuah pesan singkat.

"Kamu mau kami bergerak?" Emir bertanya.

Aku menoleh ke belakang, melihat Emir dan Inanna yang tangannya sudah di hendel pintu.

"Atau kamu mau membuka peti arsenal dan beraksi sendiri? Mengingat mereka keluarga Alhold, mungkin kamu ingin menyelesaikan masalah ini sendiri?" Inanna memberi opsi lain.

Peti Arsenal ada di bagasi mobil. Aku awalnya skeptis peti arsenal bisa masuk bagasi, tapi ternyata bisa. Lebar bagasi 1,6 meter, panjang total peti arsenal hanya 1,5 meter. Namun, kami harus memasukkannya lewat tengah, menurunkan sandaran kursi ke depan dulu.

Aku jelas tidak akan bisa mengambil peti arsenal. Namun, petinya masih bisa dibuka sedikit untuk mengambil beberapa senjata dari dalamnya. Namun, nanti saja dulu.

"Kalau kau tidak mau keluar, kami akan membunuhmu bersama teman-temanmu!"

Suara tembakan kembali terdengar.

Nada pendek terdengar di handphone, bertubi-tubi. Aku membuka beberapa pesan yang baru masuk dan membacanya. Aku pun membalas mereka semua dengan satu respon yang sama.

"Siapa?"

"Beberapa organisasi pasar gelap yang 'KEBETULAN' berada di dekat sini. Mereka menawarkan bantuan untuk meringkus orang-orang di luar. Namun, karena waktu 3 menit yang kuberi pada ayah belum lewat, aku ingin mereka menunggu."

Ya kali kebetulan. Biasanya, ada anggota mereka yang patroli di area ini. Kalau ada keributan, mereka akan melakukan observasi dengan cepat, lalu melapor pada atasan. Tidak terkecuali Agade dan Akadia.

Untuk Akadia, tampaknya, ibu mengirim satu orang untuk mengikuti dari kejauhan dan melapor kalau ada sesuatu terjadi.

Untuk Agade, satu orang akan bergantian mengikutiku. Tentu saja, yang aku maksud adalah anggota inti, bukan karyawan. Selain Emir dan Inanna tentu saja.

Sebuah suara nyaring terdengar di handphone. Aku melihat layar, nama ayah terpampang.

"Emir, Inanna, bisa tolong ambilkan satu pedang di dalam peti arsenal. Bukan pedang juga sih. Panjangnya hampir seperti tombak dengan gagang shotgun."

"Shotgun? gagang?"

"Hahaha, selera senjata Lugalgin memang selalu unik."

Sementara Inanna terperanjat, Emir merespon dengan tawa.

Aku mengangkat telepon, "Halo ayah."

[Gin, aku tidak bisa menghentikan mereka. Apa kamu bisa menghentikan serangan itu tanpa membunuh mereka?]

"Aku tidak janji," aku merespon enteng. "Maksudku, saat ini, ada lebih dari sepuluh organisasi pasar gelap siap menyerang mereka. Kalau pun aku membiarkan mereka hidup, salah satu organisasi ini akan menyerang kediaman keluarga Alhold, mencoba mengambil sisi baikku. Tidak terkecuali AKADIA."

[Itu...]

Ayah ragu ketika aku menekankan pada Akadia.

"Yah, intinya, kalau masih ada yang hidup untung. Kalau tidak ada yang hidup, apes. Untuk ayah sih. Untukku tidak ada efek."

Aku menutup telepon dan mengirim pesan ke anggota Agade. Aku meminta mereka membersihkan anggota Alhold yang mungkin bersembunyi di sekitar. Yang di depan dan belakang mobil, biar kami yang mengurusnya.

"Ini Gin."

"Ah, sebentar..."

Shu En menghentikan Emir untuk sejenak. Dia menurunkan sandaran kursinya, menjadi lurus. Begitu kursi Shu En sudah lurus, dan dia terbaring, aku bisa memegang pedang ini. Saat ini, posisi pedang di belakang dan shotgun di depan.

"Ini peluru cadangan."

"Terima kasih"

Tanpa perlu kuminta, Inanna sudah memberi peluru. Aku menerima beberapa peluru dan memasukkannya ke saku jaket.

Pedang yang sekarang kupegang memiliki panjang total 1,4 meter, 80 cm bilah pedang dua sisi dan 60 cm shotgun sebagai hendel.

"Tampaknya rumor yang aku dengar memang benar."

"Rumor apa?"

Aku merespon ucapan Shu En.

"Kalau Sarru, pemimpin Agade, meniru gaya bertarungmu. Atau jangan-jangan dia muridmu?"

Ah, rumor yang itu. Aku juga sempat mendengar hal yang sama dari Ibla. Padahal, aku mulai membuat senjata-senjata aneh ini saat berhenti dari Agade, mencoba mengisi waktu. Kalau dilihat waktunya, seharusnya, aku lah yang dianggap murid Sarru.

Namun, hanya karena sebagian besar senjataku aneh sedangkan senjata Sarru adalah standar, aku dianggap sebagai guru. Di lain pihak, Sarru dianggap murid yang berusaha meniruku tapi masih belum berhasil.

"Jadi? Apa Sarru Muridmu?"

"Aku tidak pernah mengangkatnya menjadi muridku secara resmi." Aku menjawab Shu En setengah jujur. "Yang jelas, ada alasan kenapa Agade mau bergabung dengan kita semudah itu."

Shu En mengangguk-angguk mendengar jawabanku.

"Emir, Inanna, kalian urus yang belakang. Aku akan urus yang di depan. Ledakkan juga mobil yang ada di depan."

"Baik!" Inanna dan Emir merespon bersamaan.

"Shu En, kamu di sini saja."

Lihat selengkapnya