"Calon istrinya adalah pengendali timah? Lalu, kenapa dia maju sendiri? Dia tinggal meminta calon istrinya mengembalikan semua peluru itu, kan?"
"Kalau dia memang mau selesai dengan cepat dan efektif, metode itu memang tepat. Tapi, mungkin, dia punya tujuan lain."
"Tujuan lain?"
"Yah, masih kemungkinan sih."
Saat ini, kami sedang mengamati Lugalgin yang bertarung. Kami berdua berada di sebuah atap gedung dengan teropong yang terpasang pada senapan.
"Pertama, lawannya adalah keluarga Alhold. Mungkin dia ingin memberi pelajaran pada keluarga Alhold. Kalau calon istrinya yang melakukan pembersihan, keluarga Alhold tidak akan mendapat pelajaran dan akan terus mengganggunya."
"Hoo, bisa, bisa."
"Lalu, kemungkinan kedua, dia ingin menunjukkan pada orang-orang seperti kita, yang sedang mengamati, kalau dia bukanlah orang yang bisa diremehkan. Meskipun ada rumor yang mengatakan Sarru adalah muridnya, tapi orang tidak akan percaya begitu saja, kan? Dan, dengan cara ini, dia menunjukkan kalau dirinya tidak bisa diremehkan."
Dia tidak menjawab, dia lebih fokus pada Lugalgin yang bertarung. Atau aku harus bilang, membantai lawan-lawannya.
"Uah, brutal sekali. Dia melemparkan bagian tubuh lawan? Menginjak usus? Dia bukan manusia."
Aku tersenyum mendengar respon rekanku. Reaksinya membuatku teringat ketika pertama kali menemuinya. Dulu, dia juga sedang di tengah pertarungan.
"Hahaha, kamu belum melihat kemampuannya yang sebenarnya."
"Eh? Dia belum serius?"
"Tidak. Dia belum serius. Kalau dia serius, dia sudah membawa peti mati di punggungnya. Selain itu, entah kenapa, dia juga melepas sarung tangan warna kulitnya itu."
"Hoo, kamu tahu banyak ya."
"Hehe, tentu saja. Aku sudah bekerja dengannya selama dua tahun lebih. Bahkan, walaupun aku belum menyatakan dukungan terhadap kebijakan intelijen kerajaan yang baru, dia sudah mengirim pesan agar aku tidak usah bergerak, cukup menonton. Jadi, tampaknya, dia tahu siapa saja yang mengamati serangan ini."
Ahh.... aku tidak bisa menyembunyikan senyum di wajahku. Keputusanku untuk menjadi rekan kerjanya saat itu adalah keputusan yang tepat
***
"Jangan coba-coba!"
Nammu tidak menyelesaikan kalimatnya. Dia, dan aku, menoleh ke sumber suara.
Di ujung jalan, terlihat beberapa cahaya mobil berjajar. Kali ini, yang datang bukanlah remaja atau orang seumuran denganku, tapi orang-orang yang tampaknya berusia di atas 40 tahun.
Beberapa orang berlari, menuju ke tubuh yang berserakan.
"Tidak! Hainan!"
"Eudit! Tidak! Jangan pergi!"
"Lyo, apa kamu masih hidup?"
Mereka menangis sambil memeluk tubuh yang tidak bernyawa. Yah, untuk Lyo masih bernyawa sih, tapi tidak akan lama lagi.
Di lain pihak, tidak ada seorang pun yang mendatangi Nammu. Satu-satunya keluarga Nammu, Chez, hanya berdiri di kejauhan. Orang ini juga lah yang tadi berteriak, menyela Nammu. Ngomong-ngomong, ayah berdiri di samping Chez.
Namun, aku penasaran. Suara Nammu cukup pelan. Dan, jarak mereka cukup jauh. Apa benar Chez menyela Nammu? Atau dia mengira aku akan membunuh Nammu dan menghentikannya?
"Jangan sampai kau termakan tipuan inkompeten itu. Aku tidak mau putriku menjadi sampah seperti putri Deuter."
Dan, tiba-tiba, dia membahas Ufia.
"Tapi, tapi, ayah–"
"Lebih baik kau mati daripada menjadi sampah. Setidaknya kalau kau mati, Corba akan memiliki alasan untuk membalas dendam."
Ouch, sakit sekali ucapannya. Dia lebih memilih melihat putrinya mati daripada berdamai denganku. Aku jadi kasihan. Sedikit.
Aku melihat ke arah Nammu. Awalnya, aku mengira tangisan Nammu akan semakin deras dengan wajah yang terlipat-lipat, tapi tidak. Kini, Nammu justru menggertakkan gigi. Air mata tidak lagi mengalir. Matanya justru memandang tajam, penuh kemarahan.
Hei, jangan marah. Kamu bisa kehilangan darah semakin cepat.
"Tidak heran ibu memilih pergi! Aku sudah melakukan semua hal untuk membuatmu bahagia, tapi apa kau pernah memujiku sekali saja, hah? Aku bahkan tidak pernah mendengarmu mengucapkan terima kasih!"
"Diam!"
"Apa kamu lebih memilih istrimu yang sekarang gara-gara dia bisa membahagiakanmu? Apa gara-gara dia menurut? Tidak seperti ibu yang marah ketika berbuat buruk pada Lugalgin, hah?"
"AKU BILANG DIAM!"
Di saat itu, puluhan benda melayang di udara, mengepungku dan Nammu. Semua benda itu adalah peluru timah yang berserakan. Dengan pengendalian, Chez mencoba meluncurkan semua peluru itu, mencoba membunuh kami. Yap, mencoba.
Semua peluru itu akhirnya hanya melayang, tidak meluncur ke arah kami. Di belakangku, Inanna menggunakan pengendalian untuk menahan peluru yang beterbangan.
Karena jarak Inanna lebih dekat dengan peluru-peluru ini, pengendaliannya pun menang. Atau, bisa saja pengendalian Inanna memang lebih kuat daripada pengendalian Chez.
"Nammu," aku berbicara dengan lantang, memastikan suaraku terdengar oleh semua orang. "Kalau kau membuang nama Alhold dan memberi sumpah kesetiaan padaku sekarang juga, tidak hanya kau akan kularikan ke rumah sakit dan Corba kuampuni. Aku juga akan membawa Corba ke sisimu. Ketika kau sadar di ruang perawatan, aku pastikan Corba adalah orang pertama yang kau lihat."
Reaksi wajah Nammu berubah. Giginya tidak lagi menggertak. Kini, sebuah senyuman menunjukkan gigi penuh darah terkembang. Sebuah senyum yang cukup mengerikan kalau aku bilang.
"Aku, Nammu Via Alhold, mulai saat ini membuang nama Via Alhold. Dan, aku bersumpah akan memberikan kesetiaanku pada Lugalgin!"