[Jadi, bagaimana adikmu?]
"Harusnya aku yang bertanya. Apa ibu tahu?"
[Tentu saja. Yang menyediakan kabel aluminium dan pasak itu adalah ibu.]
Aku hanya bisa menepuk jidat mendengar jawaban ibu.
Sekarang, di ruang makan, Ninlil sedang menikmati sarapan bersama Inanna, Emir, dan Shinar. Sementara itu, aku kembali ke kamar dan menelepon ibu untuk mencari informasi.
Ya, aku sudah selesai sarapan. Seperti biasa, aku makan cepat.
"Kenapa ibu melakukan ini?"
[Jujur, menurut ibu, cepat atau lambat dia akan terlibat dengan ini semua. Maksud ibu, dia adalah calon pemimpin keluarga Alhold. Ditambah lagi, ibu dan kakaknya adalah pendiri organisasi besar pasar gelap.]
Aku tidak bisa memberi sanggahan atau jawaban. Ibu benar. Cepat atau lambat, Ninlil pasti akan terlibat dengan ini semua. Bukan hanya ibu dan kakaknya, keluarga Alhold juga sempat memiliki organisasi pasar gelap. Bisa dibilang, Ninlil terjun ke pasar gelap hanya masalah waktu.
Di lubuk hati terdalam, sebenarnya, aku sudah mengetahui hal ini. Namun, tampaknya, aku belum bisa menerimanya dengan baik.
"Lalu, apa ibu juga yang mengirim Ninlil semalam?"
[Ya, tentu saja. Seperti insting dan naluri ibu yang langsung mengenalimu meski kamu menggunakan topeng, ibu yakin kamu bisa mengenali Ninlil dengan cepat.]
"Jadi, secara tidak langsung, ibu mau bilang keputusan Ninlil terjun di pasar gelap berada di tanganku?"
[Hah....] Ibu menghela nafas. [Gin, meski ibu yang melahirkan Ninlil, yang benar-benar membesarkannya adalah kamu. Oleh karena itu, menurut ibu, kamu LEBIH memiliki hak untuk mendukung atau menentang keputusan Ninlil.]
Aku sama sekali tidak menduga ibu akan mengatakan hal itu. Ketika mendengarnya, tubuhku terasa berat. Aku terduduk di atas kasur dan mengusap wajah.
Tanggung jawab yang kini aku pikul terasa begitu berat. Padahal, aku sudah memikul hidup anggota Agade, Emir, Inanna, Selir Filial, dan Ninshubur. Namun, entah kenapa, kali ini tanggung jawabnya terasa begitu besar. Entahlah.
Apa karena Ninlil adalah adik kandungku? Tidak! Ayah juga adalah ayah kandungku, tapi aku tidak terlalu memedulikannya.
[Maafkan ibu, Gin. Tapi, dia lebih mendengarkanmu.]
"Ibu tidak perlu meminta maaf. Keputusan ibu sudah tepat." Aku terdiam sejenak, menghela nafas. "Aku ingin ibu jujur. Apa ibu mengizinkan Ninlil turun di pasar gelap?"
[Jujur, ibu juga bingung. Di satu sisi, sebagai ibunya, ibu tidak ingin dia melihat dan terjun ke pasar gelap. Namun, di sisi lain, ibu khawatir. Kalau tidak terjun ke pasar gelap, Ninlil akan menjadi sasaran empuk. Lihat Akadia! Tidak ada kesuksesan di dunia ini yang bisa diraih tanpa terjun ke pasar gelap. Kalau kamu tidak terjun ke pasar gelap, kamu hanya bisa menjadi karyawan biasa dengan gaji pas-pasan. Ibu khawatir hidup Ninlil akan didikte oleh orang lain.]
Ah, umm, Bu, menjadi karyawan biasa dengan gaji pas-pasan adalah keinginanku. Namun, aku tidak akan menyebutkannya.
Di lain pihak, ucapan ibu tidak berlebihan. Semua yang dikatakan ibu adalah fakta. Kalau tidak terjun ke pasar gelap, lawan bisa menghancurkan dan menghambat perusahaan atau usaha yang kita rintis dengan sangat mudah. Lawan hanya cukup menyebarkan rumor jelek. Tanpa terjun ke pasar gelap, orang tersebut tidak akan pernah bisa melawan rumor jelek yang diedarkan.
"Sekali lagi, klarifikasi. Jadi, karena ibu bingung, ibu mempercayakan terjunnya Ninlil ke pasar gelap padaku. Benar begitu?"
[Ya, benar.]
"Hah...." aku menghela nafas, lagi. "Baiklah. Biar aku coba. Namun, keputusan akhir tetap ada di Ninlil. Aku tidak akan memaksanya."
[Ya, itu sudah cukup.]
"Dan–"
[Jangan khawatir. Saat ini Ninshubur sudah di sekolah. Aku juga sudah menyuruh beberapa orang terbaik dari Akadia untuk menjaganya dari kejauhan. Dia aman. Ibu pastikan itu.]
Aku tersenyum. "Terima kasih, ibu."
Kami pun mengakhiri telepon.
Baiklah. Sekarang, apa yang harus kulakukan? Aku sama sekali tidak menduga Ninlil akan terjun ke dunia pasar gelap. Setidaknya, tidak secepat ini.
Bukan hanya ibu yang bingung. Aku pun bingung. Di satu sisi aku ingin menghormati keputusan Ninlil. Namun, di sisi lain, sebagai kakak dan orang yang telah membesarkannya, aku tidak ingin dia melihat keburukan kerajaan ini.
Apa ini perasaan seorang ayah ketika harus melepaskan anak ke dunia? Tidak. Tidak. Ninlil hanya adikku, bukan anakku. Tapi..... Apa yang harus kulakukan?
Ah! Sudahlah! Hanya berpikir tidak akan membuahkan apa pun. Saatnya berbicara langsung dengan Ninlil.
Aku turun ke lantai satu. Di ruang utama, terlihat Ninlil, Emir, dan Inanna berbincang-bincang santai. Aku tidak melihat Shinar di mana pun. Tampaknya, dia sudah pulang untuk mandi, bersiap sebelum pergi ke kantor.
"Ah, Gin."
Ninlil langsung menegakkan punggung ketika Emir memanggilku.
Aku duduk di sofa yang untuk satu orang. Di depanku, Ninlil duduk diapit oleh Emir dan Inanna.
"Baiklah, aku baru saja menelepon ibu. Dan, tampaknya, ibu sendiri bingung dan mempercayakanmu ke aku. Dan, kalau boleh jujur, aku juga bingung." Aku memberi penjelasan. "Jadi, Ninlil, bisa tolong jelaskan kenapa kamu tiba-tiba muncul semalam? Lalu, apa motivasimu?"
"I, itu...."