"Jadi, Ufia, bagaimana?"
"Eh? Apanya yang bagaimana Tuan Putri?"
Aku tidak paham maksud pertanyaan Tuan Putri Jeanne, jadi aku bertanya balik.
Saat ini, kami sedang membersihkan rumah Lugalgin yang baru diserang. Jujur, membersihkan dinding dan perabotan dari darah adalah hal yang amat sangat merepotkan. Kenapa sih dia tidak memanggil tim kebersihan saja? Kalau memanggil mereka, pekerjaan ini pasti akan selesai dengan cepat.
"Bagaimana dengan kesepakatanmu dengan Lugalgin? Menurutmu, apakah kali ini yang menyerang adalah keluarga Alhold yang ikut menandatangani surat pernyataan itu?"
"Ah, itu. Aku belum yakin Tuan Putri. Semoga saja bukan."
Aku mencoba meyakinkan diri sendiri kalau yang menyerang Lugalgin bukanlah keluarga Alhold yang ikut menandatangani surat pernyataan kesetiaan. Perutku sudah sakit sejak serangan malam itu. Aku tidak mau perutku berlubang.
Untungnya, tubuh penyerang berantakan dan tidak ada sisa wajah yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi penyerang. Meski mereka keluargaku sendiri, aku bersyukur kalau mereka tewas tanpa meninggalkan je–
"Oh, iya, Ufia." Tuan Putri Inanna masuk ke pembicaraan. "Aku benci menghancurkan keinginanmu, tapi, tampaknya, pelaku adalah salah salah satu keluarga Alhold yang menandatangi surat pernyataan. Kalau tidak salah namanya Hasman."
"Eh?"
Dan, tiba-tiba, Tuan Putri Inanna memotong pemikiranku. Bukan hanya memotong, dia bahkan menjatuhkan bom terbesar yang mungkin ada bagiku. Namun, aku belum mampu menerimanya begitu saja. Sedikit bagian dari hatiku masih berusaha menolak.
"Ah, um, tahu darimana?"
"Tadi, waktu membersihkan anggota tubuh yang berceceran, aku menemukan sebuah cincin batu berwarna ungu. Dan, sejauh dokumen yang kubaca, hanya Hasman yang mengenakan cincin aneh itu. Atau kamu punya kemungkinan lain?"
Tidak! Aku tidak punya! Aku tahu benar hanya satu orang yang mengenakan cincin sintesis murahan itu!
Paman Hasman! Kenapa kamu melakukan ini?
Bukan hanya sakit perut. Kali ini, kakiku pun juga ikut terpengaruh. Aku tidak bisa merasakan tenaga sedikit pun di kedua kaki ini, membuatku terjatuh.
"Ufia!"
Sesuai perjanjian, Lugalgin akan membersihkan keluarga Alhold, termasuk aku dan keluargaku, kalau keluarga Alhold yang menandatangani surat pernyataan kesetiaan berkhianat.
Apakah ini akhir dari hidupku? Tidak! Aku bahkan belum merasakan cinta! Aku tidak mau mati muda!
"Uu.... Uuu....."
Perlahan, pandanganku mulai buram. Tanpa bisa kukendalikan, air mata mulai mengalir membasahi pipiku.
"Uuaa....."
Tanpa bisa kubendung, seluruh air mata pun mengalir deras. Aku juga berteriak, menangis. Jujur, aku sama sekali tidak tahu apa yang bisa kulakukan saat ini.
Lugalgin adalah guruku. Meski ada ungkapan murid akan melampaui guru, tapi aku belum mencapai titik itu. Aku tidak bisa melawannya. Hidupku sudah berakhir ketika Paman Hasman menyerang tempat ini.
"Aku belum mau mati.... aku tidak mau mati muda...."
Aku terus merengek. Kata-kata yang tersimpan di lubuk hatiku pun muncul.
Kenapa? Kenapa ini semua terjadi? Kenapa hidupku begitu menderita.
"Shh... shh...." Tuan Putri Jeanne meletakkan tongkat pel dan memelukku dengan erat. "Tidak apa. Lugalgin tidak akan membunuhmu. Aku akan mencoba membujuknya."
"Tapi... tapi...."
Tapi Tuan Putri Jeanne akan terseret kalau melakukannya. Kalau itu terjadi, entah apa yang akan terjadi pada Tuan Putri Jeanne.
Aku berusaha mengatakan kalimat itu, tapi mulutku tidak mengizinkannya. Pikiranku masih terlalu takut pada kemungkinan mati di tangan Lugalgin. Aku masih menangis tanpa henti.
"What the–"
***
"Fuck?"
Ada apa ini?
Setelah beberapa jam aku tinggal, ketika pulang, sebuah pemandangan aneh justru tersaji. Entah apa yang terjadi, Ufia menangis dan Jeanne memeluknya. Apa kalian lesbian? Yuri? Kalau begitu, maafkan aku yang datang di saat tidak tepat.
"Gin! Aku tahu apa yang kamu pikirkan! Dan, tidak! Kami tidak seperti itu!"
Tiba-tiba saja Jeanne menyela fantasiku. Apakah reaksiku terlihat jelas? Yah, maklum, mumpung tidak perlu poker face.