"Kondisi ini tidak baik, ya?"
"Hah? Apa maksudmu?"
Enlil bertanya padaku yang sedang mendiskusikan serangan ini dengan perempuan yang tampil sebagai asistenku. Tubuhnya berbalut luka, sama seperti yang lain. Namun, entah kenapa, telinganya masih bisa mendengar ucapanku yang hampir berbisik.
"Aku bilang kondisi ini tidak baik."
"Dan karena itu aku bertanya. Apa maksudmu?"
Tua bangka ini masih terus meminta keterangan.
"Menurutku, yang melakukan penyerangan ini bukanlah Akadia atau Agade. Aku bisa memastikannya."
"Hah?"
Kini, bukan hanya Enlil yang merespon. Karla dan Constel juga ikut komen.
"Namun, senjata itu, yang mampu menghilangkan pengendalian, hanya dimiliki oleh Sarru, kan? Mengikuti logika tersebut, serangan ini adalah perbuatan Agade, kan?" Karla membombardirku dengan pertanyaan. "Atau setidaknya, intelijen kerajaan yang dipimpin oleh Lugalgin."
"Tidak. sama sekali tidak." Aku menolak dugaan mereka. "Satu hal yang kalian perlu pahami adalah, Sarru, atau aku bilang Lugalgin, tidak akan pernah memberikan senjatanya kepada siapa pun. Dan, kalau seandainya Lugalgin serius, dia pasti sudah menghilangkan pengendalian kita, entah bagaimana caranya."
Meski tidak pasti, tapi aku mendapat rumor kalau Lugalgin mampu melakukannya. Ada yang mengatakan dia melakukan kontak dengan kelompok tertentu untuk mendapat teknologi penghilang pengendalian. Ada yang mengatakan aku bisa mendapat informasi di luar kerajaan.
Namun, walaupun aku bisa mendapatkan teknologi itu, tidak ada untuknya untukku. Rumor lain mengatakan untuk mendapatkan kekuatan itu, kamu harus merelakan pengendalianmu untuk selamanya. Untuk Lugalgin yang memang inkompeten, ini tidak ada harganya. Kalau aku? Tidak, terima kasih.
Kembali ke Lugalgin. Saat ini, kami harus mengalahkan Lugalgin tanpa membuatnya putus asa. Serangan yang cepat dan mematikan akan jauh lebih baik. Menurut kami, Lugalgin adalah sebuah bom. Kalau kami salah langkah, dia akan menghancurkan segalanya. Kalau berhasil, kami dapat menjinakkannya.
Aku tidak cukup pintar, tapi instingku setuju dengan hal itu. Kami tidak boleh salah langkah. Namun, Pertanyaannya adalah, apakah orang-orang ini cukup pintar untuk hal ini? Terutama tua bangka itu. Menurutku, tua bangka ini tidak memiliki kemampuan berpikir jernih.
"Jadi, menurutmu, apa kita bisa mempercayai mereka?"
"Hah... entahlah."
Perempuan yang berpakaian ala sekretaris ini menjawabku sambil menghela nafas berat.
"Kalau perwakilan enam pilar, mungkin. Namun, untuk kakek tua itu, aku rasa tidak. Entah kenapa, kebenciannya pada Lugalgin tampak tidak normal. Akan lebih aman kalau kita tidak memasukkannya dalam aliansi."
"Instingku juga mengatakan demikian. Kita harus mengalahkan Lugalgin sebelum dia kembali seperti dulu."
"Ya, aku setuju."
Kalau secara kekuatan, aku yakin Lugalgin jauh lebih kuat dari saat aku menghadapinya. Dia bukan tipe orang yang akan jalan di tempat. Dia juga tampaknya lebih licik. Bahkan, dia bisa menggunakan pasar gelap Mariander dengan mudah.
Namun, di lain pihak, dia tidak sebengis dulu. Lugalgin yang berdarah dingin seolah tidak tampak lagi. Padahal dulu, kemana dia pergi maka pasti ada pembantaian besar-besaran, tidak ada satu pun orang hidup tersisa. Namun, kini, dia tampak seperti menahan diri. Dan, menurutku, Mulisu memiliki keterlibatan dalam hal ini.
"Tidak memasukkan kakek itu dalam aliansi. Kita akan mengabaikannya saja?"
"Ya," perempuan ini menjawab. "Kita cukup berkomunikasi dengan dua wanita itu. Kita bisa abaikan kakek itu."
"Baik, Mai–"
"Eits!"
Belum selesai aku berbicara, perempuan ini sudah menempelkan telunjuknya di bibirku.
"Kamu kebiasaan ya. Sudah kubilang jangan panggil namaku di depan umum."
"Ahaha, maaf ya."
***
Setelah mendengar deklarasiku, tidak pelak, Shu En dan Marlien melompat, menjauh dariku. Bahkan, Marlien sampai melemparkan senjata penghilang pengendalian dan mengambil beberapa pisau dari dalam celana. Dia memegang satu pisau dan sisanya melayang.
"Akhirnya," Jin merespon dengan tepuk tangan. "Jadi, dalam berapa tahun terakhir, aku memperkerjakan Sarru atau Lugalgin?"
"Dalam tiga tahun terakhir, aku bertarung menggunakan nama saru baru sekali. itu pun baru berapa bulan yang lalu. Jadi, selama ini, aku bekerja sebagai Lugalgin. Masalah?"
"Ah, tidak. Tidak ada masalah. Aku juga tidak mempermasalahkan rahasiamu sebagai Sarru kalau kamu sudah mengaku. Dan lai, pada awalnya, aku juga merahasiakan identitasku sebagai pemimpin Guan, kan?"
"Jadi, aku anggap kita impas?"
"Ya, kita impas."
Jin dan aku melanjutkan perbincangan seolah identitasku sebagai Sarru adalah hal yang sepele. Di lain pihak, Ibla masih berlutut, Shu En masih menjaga jarak, Marlien masih siaga dengan pisaunya.
Jin memang bukan tipe yang suka mempermasalahkan sesuatu selama hal itu tidak membawa masalah. Namun, kalau hal itu membawa masalah untuknya, kamu tidak akan mendapat ampunan. Kalau pun kamu ingin mendapat ampunan, kamu harus mematahkan kakimu sendiri.
Ok, aku tidak bisa membiarkan keadaan seperti ini terus.