Instingku meronta, sebuah niat membunuh menusuk. Aku langsung melompat ke belakang, menghindari jendela.
"KYAA!!!!"
Benar saja, suara tumpul kembali terdengar di jendela, ditemani teriakan Nanna. Ternyata, serangan masih berlangsung. Aku kembali menelepon Mari.
"Mari, ada berapa orang?"
[Aku tidak yakin. Mereka tersebar di semua tempat.]
"Kalau begitu kamu atasi yang ada di timur. Aku akan ke barat. Untuk utara dan selatan kita urus nanti."
[Baik!]
Aku membuat panggilan ke Shu En.
"Shu En, panggil semua agen yang ada! Suruh mereka menjauh dari rumahku!"
[Eh? Tapi kamu sedang diserang, kan?]
"Justru karena itu!" Aku berjalan ke arah Emir dan yang lain. "Aku tidak hafal wajah semua agen. Dan lagi, ada kemungkinan keluarga Alhold menyewa mercenary. Aku tidak mau membunuh agen hanya karena dia kukira musuh."
[Tapi–]
"Katakan pada mereka kalau ada agen masih tidak mundur setelah mendengar perintah ini, aku anggap dia pengkhianat yang merencanakan serangan ini. Kamu tahu kan apa artinya?"
Shu En tidak langsung menjawab. Dia terdiam.
Shu En sadar benar konsekuensi kalau aku menganggap agen itu sebagai pengkhianat, seluruh keluarganya akan aku bersihkan.
"Jangan khawatir," aku menambahkan. "Kamu kira aku bisa mati semudah itu?"
[Baiklah,] Shu En merespon. [Semua agen akan kuperintahkan untuk pergi. Tolong beri satu menit.]
"Oke."
Meski sebenarnya Shu En tampak mempercayaiku, aku tidak bisa sepenuhnya percaya. Bisa saja, sebenarnya, dia lah dalang di balik penyerangan ini. Ada kemungkinan dia berpikir pimpinan organisasi pasar gelap tidak boleh memimpin intelijen.
Dalam dunia intelijen dan pasar gelap, tidak ada yang nama kesetiaan. Yang ada adalah keuntungan, hutang, dan tujuan yang sama. Saat ini, Shu En mau bekerja sama denganku karena secara tidak langsung aku memberi keuntungan baginya. Selain itu, kami pun memiliki tujuan yang sama, yaitu memperkuat intelijen kerajaan.
Tidak terkecuali Agade. Sebenarnya, sebelum ini, aku ingin percaya kalau Agade memiliki kesetiaan. Namun, insiden Ibla dan Yarmuti kemarin membuatku tersadar kembali. Pada dasarnya, saat ini, Agade menurut dan mengikuti perintah hanya karena anggota elitenya berhutang padaku. Bahkan, para karyawan Agade hanya mengenalku sebagai atasan anggota elite, tidak lebih.
Jika suatu saat anggota Agade merasa hutang itu sudah terbayar, mereka mungkin akan meninggalkanku. Kalau hanya meninggalkanku, aku tidak keberatan. Namun, kalau mereka mengkhianatiku, itu yang harus aku waspadai.
Kalau seandainya beberapa hari lalu insiden Ibla dan Yarmuti tidak terjadi, mungkin saat ini Ibla sudah merasa di atas angin. Begitu dia merasa di atas angin, mungkin, dia berpikir Agade bisa berkembang atas jasanya, dan mencoba mengambil alih. Dan hal ini tidak terbatas pada Ibla. Kalau hal ini sudah terjadi pada satu anggota elite, ada kemungkinan akan terjadi pada yang lain juga.
Ibu tidak bisa sepenuhnya kupercaya karena dia pasti memiliki agenda lain. Aku hanya berharap kami tidak berkonfrontasi di masa depan. Untuk Ninlil, dia masih kecil. Ada kemungkinan dia impulsif dan melakukan hal yang tidak semestinya. Saat ini, orang yang paling ingin kupercaya, sepenuhnya, adalah Emir dan Inanna.
Aku ke rak televisi dan mengambil sebuah headset.
Sementara itu, suara tumpul tidak hanya terdengar dari jendela utama. Jendela lain dan dinding pun mulai mengeluarkan suara yang sama. Apa tujuan mereka melepaskan tembakan ke tempat lain di rumah ini?
"Kalian bertiga tetap di sini." Aku mulai memberi instruksi sambil memasang headset ke smartphone dan telinga. "Inanna, kamu fokus dan rasakan semua timah yang ada di sekitar ini. beritahu lokasinya melalui telepon grup Agade. Arahkan kami, terutama Mari. Emir, Ninlil, karena Inanna fokus merasakan timah, kalian berdua melindunginya beserta Nanna dan Suen. Mengerti?"
"Baik!"
"Tapi Kak–"
"Ninlil," Aku tidak memberi kesempatan untuk Ninlil meneruskan.
Sementara Emir dan Inanna menurut, Ninlil justru protes.
Tuh, kan? Baru juga terpikirkan olehku Ninlil akan melakukan sesuatu yang impulsif, sekarang sudah kejadian.
"Saat ini, target keluarga Alhold bukanlah aku atau kamu, tapi Nanna dan Suen."
"Eh?"
Nanna dan Suen terperanjat ketika mendengar ucapanku. Aku mengabaikan mereka dan memberi penjelasan lebih lanjut ke Ninlil.
"Ninlil, kalau kamu lihat bekas tembakan di jendela, arahnya adalah ke tempat kalian duduk, bukan tempat kami. Jadi, tampaknya, Alhold berusaha melukai temanmu untuk membuatmu tunduk. Mengerti?"
Ninlil terdiam ketika mendengar penjelasanku. Pandangannya tidak bisa diam antara jendela dan kedua temannya. Keringat dingin terlihat mulai mengalir di pelipisnya.
"Selama ini, meski berkali-kali berkonfrontasi dengan mereka, Keluarga Alhold tidak terlalu peduli karena aku adalah inkompeten. Namun, kamu berbeda. Kamu adalah calon kepala keluarga. Mereka tidak bisa membiarkan calon kepala keluarga terus menerus menentang. Mereka harus mengekangmu. Dan, Nanna dan Suen adalah jawabannya."
Sementara aku berusaha meyakinkan Ninlil, Inanna sudah melakukan tugasnya, mengarahkan Mari.
"Inanna, kalau kamu merasakan ada peluru yang mengancam kalian, hentikan saja, tapi tidak usah dikirim kembali. Aku tidak mau terlalu membebanimu."