"Tahan tembakan kalian. Dia bukanlah lawan yang bisa kalian lumpuhkan hanya dengan senjata api."
Aku berbicara pada semua anggota elite Agade melalui headset.
Di selatan, berjarak dua rumah, terlihat sosok laki-laki berambut pirang dan mata biru. Rambutnya tidak panjang lagi seperti di siaran beberapa hari lalu, tapi pendek dan turun, memberi kesan rapi. Senyum lebarnya memberi kesan aro.... atau tidak? Aku hampir bilang arogan, tapi tidak! Senyumnya normal, tidak berlebihan dari ujung ke ujung.
Selain itu, dagunya datar. Padahal, dulu, jika dia menghadap orang lain, dia selalu meninggikan dagu sedikit, memandang orang lain rendah. Hanya Lacuna yang dia tunjukkan dagu datar. Ya, dagu datar, bukan dagu rendah. Bahkan dia menganggap gurunya setara.
Kini, dia mengenakan kaos putih, jaket kulit hitam, dan celana jeans hitam. Kaos putih memberi kesan mencolok, tapi masih serasi dengan jaketnya. Jujur, pakaian Ukin mirip dengan pakaian sehari-hariku. Apa kami cowok memang tidak punya sense fashion?
"Jadi, Ukin, apa yang kamu mau? Apa kamu mau pertarungan kita dilangsungkan sekarang?"
Ya, aku sudah menggunakan kata "kamu" dengan Ukin. Apa kami akrab? Mungkin ya, mungkin tidak.
"Tidak, aku tidak mau bertarung denganmu sekarang. Aku hanya ingin mengatakan kalau aku, dan dua organisasi lain, tidak ada sangkut pautnya dengan serangan ini. Jadi, aku harap kamu tidak mengarahkah kemarahanmu pada kami. Belum saatnya."
"Benarkah?"
"Ya, benar."
Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi ada yang aneh dengan Ukin. Kapan terakhir kali aku bertemu dengannya? Tiga tahun? Mungkin.
Dulu, dia tidak akan pernah berbicara atau bernegosiasi denganku seperti ini. Bahkan, kalau dulu, dia akan langsung menyerang entah dari mana. Memaksaku bertarung.
"Apa aku bisa mempercayaimu? Kamu baru saja bertemu dengan Enlil, kan?"
"Yah, awalnya aku mengira Enlil sepertimu, berkepala dingin. Kalau Enlil juga berkepala dingin, dia bisa menjadi senjata ampuh untuk mengalahkanmu. Namun, sayangnya, dia temperamental. Sebentar, mungkin temperamental tidak cocok. Lebih tepatnya, dia terobsesi untuk menyingkirkanmu. Memangnya apa yang sudah kamu lakukan sehingga membuatnya seperti itu?"
"Lahir?"
Keadaan menjadi sunyi.
Sementara Ukin memberi penjelasan panjang lebar sebelum pertanyaan, aku hanya memberi satu jawaban singkat. Kalau dulu, dia pasti sudah marah. Dia akan menganggap sama saja aku sudah merendahkannya. Kali ini, apa yang akan dia lakukan?"
"Kukuku....ahahahaha."
Kesunyian malam pasca pertarungan dipecahkan oleh tawa Ukin. Tawanya bukanlah tawa yang sinis. Aku bisa melihat dia memegangi perutnya yang terus bergerak. Selain itu, dia juga sedikit menitikkan air mata karena tertawa terlalu kencang.
"Ahahaha. Maaf. Maaf. Aku sama sekali tidak mengira kalau lahir saja bisa membuatmu dibenci seperti itu."
"Oh, percayalah. Di mata keluarga Alhold, itu adalah dosa pertama sekaligus terbesar yang pernah kulakukan."
Kalau dulu, dia sama sekali tidak sudi menatap wajahku. Namun, sekarang, dia bahkan merespon jawabanku dengan tawa. Sejak pertama bertemu dengan Ukin, ini adalah pertama kalinya aku bisa melangsungkan perbincangan seperti ini. Yah, meski aku tidak bisa benar-benar bilang ini perbincangan sih, mengingat jarak kami adalah dua rumah. Kami bahkan berbicara dengan berteriak.
Entah kenapa, setelah itu, kami melanjutkan perbincangan. Mayoritas mengenai Lacuna. Namun, tidak ada yang penting. Hanya perbincangan kecil.
"Jadi, Gin, apa kamu melakukannya dengan Lacuna?"
Aku terdiam sejenak. Meski sudah berubah, aku tidak yakin kali ini dia bisa menerimanya dengan tenang, mengingat Ukin sangat mengagumi Lacuna. Namun, aku juga tidak melihat keuntungan kalau berbohong. Hal ini tidak akan mengubah fakta kalau dia adalah musuh.
"Ya, aku melakukannya dengan Lacuna."
[Kamu melakukannya dengan gurumu?]
Ah, sial! Aku lupa kalau headset masih terpasang!
Yang berteriak di telingaku bukan hanya satu orang. Aku tidak yakin berapa banyak, mereka berteriak hampir bersamaan. Ditambah lagi ada delay suara telepon, jadi, aku tidak tahu siapa saja yang berteriak. Bahkan, rasanya, aku mendengar suara laki-laki.
Aku lengah gara-gara perubahan atmosfer yang begitu drastis. Kalau mereka ada di dekatku, mungkin aku bisa siaga. Namun, aku tidak bisa merasakan kehadiran orang melalui telepon.
"Hey, Gin," Ukin memanggil. "Sebenarnya aku tidak ada niatan untuk menyerangmu malam ini. Namun, aku tidak bisa diam saja mendengar kamu sudah melakukannya dengan Lacuna. Jadi, apa kamu bersedia melayaniku sebentar? Ini tidak ada urusan dengan intelijen atau Agade, hanya pelampiasan emosi."
Meskipun aku menolak, kamu pasti akan tetap menyerang. Jadi, baiklah.
"Aku tidak keberatan. Sebentar ya," Aku berbicara ke headset. "Pertarungan ini adalah urusan personal. Jangan ikut campur!"
Aku membiarkan headset terpasang di telinga.