"Ninlil, menyerahlah. Kalau kamu menyerah, aku akan mengabaikan semua ini."
"Tidak akan! Aku tidak akan pernah menyerah pada kalian! KALIAN AKAN MATI!""
Aku berteriak, mengerahkan semua tenaga untuk mengendalikan kabel-kabel yang tergelak di sekitar.
"AHH!"
"KYA!"
"AGH!"
Aku mengubah kabel-kabel yang tergeletak menjadi tombak, menusuk ke atas. Aku tidak memfokuskan pengendalian pada beberapa atau sedikit kabel, tapi semuanya. Begitu orang-orang di sekitar tertusuk, dua orang yang menahan gerakanku terkejut. Aku bangkit dan melepaskan diri dari dua paman itu. Dua orang yang menahanku pun tewas oleh tombak lain.
Meski ada beberapa orang tewas oleh tombak, sayangnya, masih banyak yang bertahan hidup. Dan, tentu saja, ayah adalah salah satu orang yang masih hidup. Mereka yang masih bertahan langsung memegang dan mengambil alih pengendalian semua aluminium di sini.
Maafkan aku, kakak, aku masih belum bisa mengaplikasikan pelajaran yang kakak beri. Aku masih terlalu bergantung pada pengendalian.
"Kenapa kamu tidak mau menyerah juga?"
"Kenapa aku harus menyerah padamu, pengkhianat?"
Hanya ayah yang berbicara, tidak ada orang lain yang berbicara.
Kenapa? Apa karena mereka terkena tekanan pengendalian ayah? Namun, seharusnya, pengendalianku lebih kuat dari ayah. Seharusnya, berdasarkan diskusi dengan Kak Inanna, ayah dan semua orang di sini akan menurut padaku.
"Apa kau berpikir semua orang akan menurut hanya karena pengendalianmu lebih kuat? Hahaha, dasar anak kemarin sore."
Suara ini adalah suara paling menjengkelkan dalam hidupku. Dari dalam rumah, dia muncul, berdiri, Enlil. Begitu Enlil muncul, semua orang terdiam, memberi jalan untuknya.
"Jangan lupa, pengendalianku lebih kuat darimu. Sebelum kamu membuat mereka tunduk, kamu harus membunuhku dulu."
Begitu ya. Ya, itu masuk akal.
"Namun, itu tidak cukup. Masih ada ini,"
Tiba-tiba udara terasa begitu berat. Nafasku pun menjadi pendek. Aku bisa merasakan keringat dingin mengalir dari sekujur tubuh. Ya, perasaan ini mirip seperti ketika kakak memancarkan aura haus darah atau niat membunuh.
Teror yang saat ini tidak separah seperti yang dipancarkan oleh kakak. Namun, tetap saja, aku merasakan tubuhku menjadi sangat sulit bergerak. Belum lagi fakta kalau pengendalianku lebih lemah dari Enlil. Sekarang aku paham kenapa ayah menurut pada Enlil.
Namun, aku tidak akan menerima ini begitu saja.
Klang klang
Beberapa lempeng aluminium dilemparkan ke depanku.
"Aku akan memberimu kesempatan. Kalau kau bisa mendaratkan satu serangan saja padaku, maka aku akan membiarkanmu pergi. Kalau tidak, aku akan memaksamu menuruti semua ucapanku."
Kalau keadaan normal, aku akan marah karena dia meremehkanku. Namun, kali ini, aku cukup sadar kalau kemampuan dan pengendalianku tidak sebanding dengan Enlil. Aku benci mengakuinya, tapi, kemungkinan untukku bisa keluar dari keadaan ini adalah nol.
Namun, hal itu tidak akan membuatku menyerah begitu saja.
"SIAALLL!!!!!"
Aku berteriak! Mengeluarkan seluruh udara yang ada di paru-paru ini. Meski akan kalah, aku tidak akan menyerah tanpa perlawanan.
Aku mengambil beberapa lempeng aluminium yang tergeletak dan mengubahnya menjadi satu tombak. Enlil bersiap dengan sarung tangan zirah. Suara logam berdenting terdengar berkali-kali. Aku bergerak ke kanan dan ke kiri, melancarkan serangan tebasan dan tusukan berkali-kali. Namun, semua seranganku berhasil dihindari atau dihalau oleh Enlil dengan sarung tangan zirahnya.
Kalau Enlil mau, dia bisa saja mengambil alih pengendalian tombak ini ketika bersentuhan dengan sarung tangan zirahnya. Namun, dia tidak melakukannya. Senyumnya menandakan dia hanya menganggap ini sebagai permainan, tidak lebih dan tidak kurang. Namun, aku tidak memungkirinya.
Daripada memaksakan diri untuk memenangkan pertarungan yang pasti kalah ini, aku memiliki pikiran lain. Aku mengubah tombak ini menjadi beberapa paku kecil dan meluncurkannya ke semua arah. Seranganku berhasil menewaskan beberapa orang lagi. Setidaknya, dengan ini, rintangan kakak akan sedikit berkurang. Namun, ayah dan dua saudaranya tidak terkena seranganku.
Akhirnya, Enlil melepaskan tinju tepat ke perutku, membuat tubuhku terpelanting hingga beberapa meter.
Selama bertarung, Enlil masih terus memancarkan aura haus darah dan niat membunuh. Kalau tahu akan menghadapi aura haus darah dan niat membunuh seperti ini, aku akan meminta kakak melatihku dengan pancaran itu. Namun, percuma saja menyesali semuanya.
Kakak, aku akan menanti pertolonganmu. Namun, kalau Enlil berhasil mencuci otak dan menjadikanku musuh, aku tidak keberatan tewas di tanganmu, kakak.
***
"Ah, Kak Lugalgin,"
"Hai, Corba. Mau kemana?"