[Tidak, Lugalgin Alhold! Kamu lah yang harusnya diam saja!]
"Hah?"
Aku tidak salah dengar? Inanna membentakku? Inanna?
"Agh!"
Gara-gara Inanna, perhatianku sempat teralihkan. Hal ini mengakibatkan aku terlambat menghindar, melempar dan memaksaku melepas kedua pistol di tangan.
Sial! Luka di tubuhku semakin banyak dan parah. Aku pun kehilangan darah dengan sangat cepat. Darah? Darahku mengalir? Tidak! Kalau begini, orang yang melihat bisa tahu kalau darah inkompeten mampu menghilangkan pengendalian! Kalau ini, terjadi, usahaku selama ini akan sia-sia!
Ketika aku fokus dengan darah yang mengalir, suara logam berdenting terdengar di udara. Aku mengangkat kepala, melihat Ninlil yang membuat perisai dan melindungi diri dari hujan peluru.
[Aku hanya menggunakan peluru kecil dan aku memastikan tidak ada satu pun peluru yang akan mendarat di tubuh Ninlil. Namun, Ninlil tidak tahu hal ini jadi dia memasang perisai. Maksudku, orang mana yang tidak panik ketika dihujani peluru? Dan tenang, hanya aku dan Emir yang akan berpartisipasi langsung. Aku sudah memberi perintah pada Agade dan agen schneider untuk tidak bergerak.]
Serangan Inanna tidak berhenti ketika peluru yang dikirimnya menghantam perisai Ninlil. Setelah peluru itu terpental atau berbelok, peluru itu akan kembali ke arah Ninlil.
Ninlil pun terpaksa memasang perisai mengitari tubuhnya. Karena berada di balik perisai, dia tidak memperhatikan kalau sebenarnya peluru yang datang tidak menerjang lurus, tapi agak berbelok, melintang. Jadi, seperti ucapan Inanna, tidak ada satu pun peluru yang akan mendarat di tubuh Ninlil.
Sebuah suara ledakan menggelegar di kejauhan. Aku menoleh ke belakang, melihat bola api bermunculan di udara, di kejauhan. Selain di udara, beberapa ledakan juga muncul di sekitar, membuat dinding api yang memisahkan kami dari dunia luar.
Akhirnya, Inanna dan Emir berdiri di sampingku. Sementara Inanna menghadap depan, ke Ninlil, Emir menghadap belakang dengan 8 turret tank yang terus melepas tembakan.
"Inanna, Emir, aku...."
"Sudah kubilang kamu diam saja!"
Aku langsung meluruskan punggung ketika mendengar Inanna membentak lagi. Namun, posisiku tidak bisa bertahan lama. Tepat saat itu juga aku merasa gravitasi menarik sekuat tenaga. Pandanganku masih utuh, tapi aku bisa merasakan seluruh tubuhku terjatuh. Tubuh ini seolah menolak perintahku untuk bergerak.
Tubuh ini terjatuh, tapi tidak pernah menyentuh tanah. Inanna menangkap dan menahan tubuhku. Perlahan, dia merendahkan tubuh dan membiarkanku menyandar di dadanya. Inanna merengkuh erat, membenamkan wajahku di dadanya yang lembut dan kenyal.
"Inanna, aku, tidak bisa, bernafas."
Sekuat tenaga, aku berusaha mengangkat kedua tangan, berusaha mendorong Inanna. Namun, Inanna tidak melepasku begitu saja. Dia terus memelukku erat.
Setelah beberapa saat, akhirnya Inanna melepas pelukannya.
Akhirnya, aku bisa bernafas.
Saat ini, aku menatap tepat ke mata Inanna. Karena lemas, saat ini, posisiku wajahku di bawah Inanna.
"Lugalgin Alhold, apa yang kamu pikirkan? Bukankah kamu sendiri yang mengatakan kalau menyerang tanpa persiapan, maka nyawamu akan melayang? Apa kamu berencana mati?"
".....mungkin?"
Inanna mendekatkan wajahnya dengan cepat. Bahkan, dia hampir membenturkan dahinya denganku.
"Dan apa yang membuatmu berpikir kalau kamu memiliki hak untuk mati? Kamu belum menikahi kami! Kamu belum membebaskan ibuku dan Ninshubur dari belenggu Kerajaan Mariander! Kamu belum membersihkan Keluarga Alhold, belum menstabilkan intelijen Kerajaan ini, belum menyelamatkan Ninlil, be–"
"Ah, Inanna," Emir menyela, tapi tidak dengan nada keras atau membentak. Dia menyela Inanna dengan nada pelan, tenang, lembek.
Tampaknya, bukan hanya aku yang takut dengan Inanna mode marah.
Emir melanjutkan. "Bagaimana kalau marahi Lugalgin nanti setelah misi ini selesai? Kalau sekarang, kita tidak akan bisa memarahinya habis-habisan."
Inanna memisahkan wajahnya dariku sejenak, melihat ke Emir.
"Baiklah, akan kupersingkat." Inanna kembali menatapku. "Kalau kamu lupa, biar aku ingatkan lagi ucapanku. Aku dan Emir akan mengulur waktu hingga kamu siap. Kamu tidak sendiri. Jadi, sekarang, kamu diam saja dan tunggu, ya?"
Di saat ini, sebuah kenangan menyeruak, muncul ke permukaan. Aku teringat ketika beberapa bulan lalu menggendong Inanna setelah tes penerimaan Agade. Yah, dia mengucapkan kata yang sama. Padahal, kejadian itu baru berlangsung beberapa bulan yang lalu. Entah kenapa, terasa begitu lama bahkan sampai aku hampir melupakannya.
Namun, kalimat ini kembali terucap dengan intonasi yang berbeda. Kalau dulu Inanna mengatakan dengan lemah lembut, kali ini dengan nada menekan, penuh ancaman.